22 September 2013

Gereja dan Sosiologi | HEIN MOKODASER | BANDUNG

PENDAHULUAN:
Perkembangan penduduk dan khususnya penduduk perkotaan yang melanda
dunia sesudah perang dunia kedua yang dampaknya juga terasa di
Indonesia telah mengubah banyak tatanan sosial termasuk tatanan
kehidupan berjemaat, khususnya jemaat perkotaan (urban parish). Di
tengah-tengah perubahan cepat demikian yang menimbulkan dampak luar
biasa, mau tidak mau gereja juga diperhadapkan dengan perubahan
strategi dan misi pelayanannya yang membutuhkan penyesuaian dan juga
antisipasi menghadapi hal itu.
Masalah perkotaan yang timbul belakangan ini seperti soal kejahatan
kerah putih (white collar crime) semacam kasus Bapindo, masalah jurang
kaya miskin di kota besar, Lingkungan Hidup, PHK,
demonstrasi-demonstrasi perburuhan, bahkan pengrusakan pabrik semacam
yang banyak terjadi di Tangerang dan Medan, telah menjadi topik
liputan utama surat-surat kabar dan majalah maupun mass media lainnya,
tetapi sayang sekali perhatian dan tanggapan gereja pada umumnya sepi
kalau tidak mau dibilang sebagai tidak ada sama sekali.
Apakah masalah itu bukan masalah gereja? Ataukah gereja yang belum
peka akan lingkungannya? Topik inilah yang menjadi salah satu bahasan
dalam "Minister Convention 1994" yang menantang para Hamba Tuhan
maupun Pengerja Kristen agar mulai menggumuli nisbah antara Gereja,
Teologi dan Masyarakat.
PERKEMBANGAN PERKOTAAN
Pada tahun 1990 PBB mengeluarkan laporan kegiatannya selama 45 tahun
(1945-1990), laporan mana menonjolkan masalah-masalah global yang
cukup serius yang menantang umat manusia. Di antaranya
tantangan-tantangan yang menonjol disebut masalah Urbanisasi sebagai
tantangan yang berjalan sama cepatnya dengan kemajuan Era Informasi di
akhir abad ke-20 ini, di mana disebutkan:
"Ledakan Perkotaan": Lebih dari 40 persen penduduk dunia bertempat
tinggal di kota-kota - sebelumnya tak pernah sebesar ini. Begitu
penduduk berduyun-duyun mengalir ke kota-kota untuk mencari pekerjaan,
tempat tinggal dan pelayanan sosial yang lebih baik, maka lingkungan
pedesaan dan perkotaan berubah secara drastis. Di akhir abad ini,
lebih separuh dari penduduk dunia berada di kota-kota. Sebagian besar
dari penduduk kota yang baru ini akan berada di negara-negara yang
sedang berkembang. Akibat urbanisasi yang berlangsung dengan cepat
sudah terasa dalam bentuk kota yang penuh sesak, persediaan air dan
sanitasi yang tidak memadai, pencemaran lingkungan, pengangguran,
kemiskinan yang endemis dan keputusasaan yang bertambah luas.
Ledakan penduduk perkotaan merupakan tantangan serius di seluruh dunia
baik di negara-negara maju dan terutama di negara-negara yang
berkembang, bahkan dalam laporan PBB berjudul "Prospect of World
Urbanization" (1987) disebutkan bahwa pada tahun 2000 akan terdapat 23
kota-kota Metropolis dengan penduduk di atas 10 juta orang di mana
Jakarta termasuk sebagai kota terpadat ke sebelas dengan penduduk 14
juta orang, dan di antaranya, 6 kota berada di atas 15 juta penduduk
di mana 4 kota di antaranya berada di negara-negara sedang berkembang!
Sekarang ini dunia menghadapi perkembangan kota-kota yang bukan lagi
jutaan penduduknya tetapi belasan juta bahkan puluhan juta
penduduknya!
Memang masalah perkotaan merupakan topik hangat di akhir abad ini,
bahkan dalam Kongres Metropolis Sedunia terakhir, dibahas 6 masalah
pokok yang dihadapi kota-kota besar dunia yang cukup memusingkan para
penata dan pengelola kota pada umumnya yaitu masalah-masalah berikut:
1. Masalah Pertumbuhan Penduduk Perkotaan yang tidak terkendali
2. Masalah Perumahan Rakyat dan Sarana Fisik dan Sosial yang makin tidak memadai
3. Masalah Lingkungan Hidup dan Kesehatan yang makin merosot
4. Masalah Lalu lintas dan Transportasi yang makin langka
5. Masalah Organisasi dan Manajemen Perkotaan yang makin tidak mampu
Masalah-masalah mana memang makin sulit diatasi dalam kehidupan
kota-kota modern karena pertumbuhan penyediaan prasarana dan sarana
lebih lambat dari tuntutan kebutuhan, hal mana mengakibatkan
dampak-dampak negatif perkotaan yang makin sulit ditanggulangi dan
akan berdampak berat bagi penduduk perkotaan.
Memang harus diakui bahwa kota-kota besar merupakan simbol kemajuan
ekonomi, tetapi harga apakah yang harus dibayar darinya? Asian
Business, dalam artikelnya menyebutkan bahwa:
"This is what Asian countries are learning as their major urban
centres suffer the symptons of their economics success: Traffic
congestion, air pollution, inadequate sanitation and infrastructure
that has been stretched to breaking point by rapid urban growth ...
Many of Asia's cities are degrading faster than the region's robust
economies are growing."
Sudah jelas bahwa gejala-gejala fisik itu berpengaruh pada perilaku
penghuninya seperti apa yang pernah diucapkan oleh Winston Churchill
bahwa, "We build our cities and it will build our way of life."
Mengenai kesan masyarakat kota terhadap kotanya, majalah Newsweek
dalam artikelnya mengemukakan hasil penelitiannya di kota-kota di
Amerika Serikat dan menghasilkan kesimpulan berikut:
Tiga puluh dua persen Amerika tinggal di kota-kota -- tetapi hanya 13
persen yang menganggap kota sebagai tempat hunian yang paling
diingini. Tiga puluh tujuh persen orang-orang Amerika menganggap
kota-kota besar di Amerika sebagai "sakit parah" atau "kritis" ...
Penduduk perkotaan menyalahkan situasi ekonomi dan birokrasi sama-sama
menjadi penyebab timbulnya masalah-masalah perkotaan.



MASALAH PERKOTAAN DI INDONESIA
Indonesia juga menghadapi masalah perkotaan yang cukup menekan
khususnya sejak Pemerintahan Orde Baru tahun 1970-an di mana keamanan
hidup di perkotaan makin meningkat dan pembangunan di kota-kota makin
menggebu-gebu, ini merangsang urbanisasi berjalan dengan pesat dan
tidak terkendali.
Dalam sensus tahun 1961 tercatat bahwa dari 97 juta penduduk
Indonesia, 14 juta tinggal di kota (=15 persen). Angka ini meningkat
dalam sensus tahun 1971 di mana terlihat bahwa dari 119 juta penduduk,
21 juta tinggal di kota (=18 persen), dan dalam sensus tahun 1980
tercatat dari 148 juta penduduk Indonesia, 33 juta tinggal di kota
(=22 persen). Dalam sensus terakhir tahun 1990 diketahui bahwa
penduduk Indonesia sudah mencapai 180 juta orang di mana 56 juta di
antaranya tinggal di kota-kota (=31 persen) dan diperkirakan pada
tahun 2000, 40 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota-kota.
Bayangkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (1961-1990)
kenaikan jumlah penduduk Indonesia hanya meningkat menjadi kurang dari
2 kali, tetapi kenaikan jumlah penduduk kotanya meningkat menjadi 4
kali lipat! Hal ini memang sesuai dengan hasil sensus 1990 di mana
ditemukan fakta bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia sekarang telah
bisa ditekan menjadi 1,9 persen pertahun tetapi angka urbanisasi
perkotaan pertahun mencapai 5,7 persen! Kota Bandung sebagai kota
terbesar di Jawa Barat sekarang dihuni lebih dari 2 juta penduduk dan
kota Jakarta sebagai Ibukota Negara telah berpenduduk 9 juta lebih.
Persentase penduduk kota yang meningkat itu menghasilkan kepadatan
bangunan dan hunian yang makin tinggi di kota-kota yang berdampak
serius terhadap penduduk perkotaan itu sendiri. Perumahan kelompok
berpenghasilan rendah di kampung-kampung kota makin tinggi
kepadatannya bahkan bisa mencapai 1000 orang per hektar tingkat
huniannya, kenyataan mana menimbulkan masalah kemerosotan lingkungan
perumahan menjadi kumuh, yang benar-benar makin tidak layak huni
karena kepadatan bangunan dan kepadatan hunian. Banyak rumah-rumah di
kampung-kampung kota dihuni lebih dari satu keluarga bahkan sering
pula dihuni beberapa keluarga.
Di Indonesia masalah perumahan makin sulit dijangkau oleh penduduk
berpenghasilan rendah. Gejala makin langkanya perumahan di kota
mengakibatkan makin banyaknya para gepeng (gelandangan pengemis) yang
berkeliaran di kota-kota termasuk anak-anak jalanan (street children).
Makin padatnya penduduk perkotaan makin menyulitkan penyediaan
prasarana dan sarana fisik dan sosial dan kondisi lingkungan hidup
makin merosot. Days dukung lingkungan bukan saja makin tidak memadai
tetapi rusak akibat adanya polusi yang sekarang mengotori
sungai-sungai di kota, dan udara kota penuh dengan polusi udara karena
asap pabrik dan kendaraan. Kenyataan ini mendatangkan kerawanan
kesehatan di kota-kota.
Masalah polusi pabrik bukan hanya soal kesehatan dan lingkungan hidup
saja, tetapi masalah moral mengenai ketidakadilan dan hak azasi
penduduk dalam menuntut kehidupan yang asri, demikian juga kotornya
sungai-sungai karena zat buangan pabrik-pabrik industri mematikan
banyak ikan dan tidak memberi kesempatan banyak orang bergantung dari
pengusahaan ikan sungai, bahkan penggunaan lain untuk air minum,
mandi, atau mencuci makin tidak mungkin.
Perkembangan kota dan industrinya memang menumbuhkan ekonomi kota, hal
ini terlihat dengan lajunya pembangunan fisik gedung-gedung
perkantoran, pusat-pusat pertokoan, dan pabrik-pabrik, tetapi sejalan
dengan ini masalah lowongan pekerjaan, PHK, dan pengangguran makin
menekan. Sekarang makin banyak kasus-kasus kita baca mengenai
pemogokan buruh industri karena upah buruh di bawah standar dan
perlakuan majikan yang tidak adil terhadap buruhnya, masalah PHK
karena rasionalisasi dan otomatisasi perusahaan menjadi peristiwa yang
makin sering terjadi di pabrik-pabrik dalam kota.
Tidak dapat disangkal bahwa pengangguran makin meningkat yang akan
berdampak luas terhadap kenaikan angka kejahatan atau kriminalitas.
Kasus-kasus demonstrasi dan pemogokan buruh sudah menjadi agenda rutin
di Tangerang dan bahkan di Medan belum lama ini telah menjurus kepada
SARA yang mendatangkan korban jiwa!
Jurang kaya miskin di kota antara mereka yang memperoleh kesempatan
dan yang tidak makin menganga, dan kesenjangan sosial antara
konglomerat dan yang melarat makin mustahil dijembatani. Di kota-kota
besar kita melihat makin banyak villa-villa eksklusif dengan taman dan
kolamnya yang lebar, tetapi kawasan kumuh tanpa air minum juga makin
meluas. Makin banyak penduduk kota naik mobil mewah bahkan di kawasan
elit satu rumah sering mempunyai mobil lebih dari dua, sedangkan
masyarakat umum makin berhimpit-himpitan di bis-bis kota.
Dibandingkan dengan situasi sosial di pedesaan (rural), kemelut sosial
di perkotaan makin menghantui masyarakat kota, sebab kriminalitas
menjadi berita sehari-hari pos kota, perkelahian antar pelajar makin
menjadi hobi anak-anak sekolah, penyalahgunaan alkohol dan narkotika
sudah menjadi masalah serius yang berdampak negatif terhadap masa
depan generasi muda, dari masalah anak-anak jalanan dan pelacuran yang
juga menimpa anak-anak makin menjadi isu sehari-hari di kota-kota yang
membutuhkan uluran tangan mendesak.
BAGAIMANA SIKAP GEREJA?
Secara psikis dan spiritual kita melihat bahwa masyarakat perkotaan
makin individualistis dan kepeduliannya kepada tetangga makin menipis,
rumah tangga banyak yang berantakan dan kurangnya ikatan kasih antar
orang tua dan anak menimbulkan banyak korban. Pelayanan rohani makin
kurang dirasakan menggigit karena tekanan karir menimbulkan kurangnya
perhatian manusia pada agama, tetapi stress karir dan kejenuhan hidup
modern cenderung menghasilkan masyarakat kota yang kosong rohani yang
menjadi sasaran empuk ibadat-ibadat emosional dan yang bersifat
eskapis tanpa dampak, berarti bagi kehidupan spiritual.
Di samping banyak "gereja", yang makin suam dan kosong, memang banyak
"persekutuan" menjamur di kota-kota besar termasuk di kantor-kantor,
restoran-restoran, dan gedung-gedung umum lainnya, dan banyak
pengusaha dan orang modern menghadirinya, tetapi apakah kegairahan
spiritual perkotaan itu menghasilkan kehidupan yang bertobat? Hal ini
perlu dipertanyakan, sebab sekalipun banyak orang hadir dalam
persekutuan-persekutuan demikian kelihatannya para pengusaha itu
umumnya tetap tidak menunjukkan perubahan dalam cara dagangnya
sekalipun ia mulai rajin memberikan persembahan atau persepuluhan.
Kasus-kasus PHK dan pemogokan masih banyak terjadi di perusahaan yang
manajernya aktif di "praise center" atau menjadi "majelis gereja",
bahkan banyak perusahaan masih menjalankan cara-cara dagang yang
"mengabdi mamon" padahal banyak eksekutifnya yang rajin menghadiri
pertemuan-pertemuan demikian. Banyak direktur bank dikatakan bertobat
melalui persekutuan-persekutuan doa, tetapi kenyataannya tidak ada
perubahan terjadi dalam praktik bank itu yang menunjukkan sifat
Kristianinya. Sistem hadiah undian bank yang tidak mendidik tidak juga
berubah sekalipun direkturnya dikatakan sebagai bertobat.
Banyak konglomerat sekarang dielu-elukan sebagai "orang yang diberkati
Tuhan" karena sumbangannya kepada gereja dan persekutuan tetapi orang
lupa bahwa pengusaha demikian perlu diajak bertobat dan mentaati
Firman Tuhan agar tidak dikritik masyarakat umum karena ulahnya yang
entah merusak hutan tropis, pabriknya mencemari lingkungan, atau
menjadi mafia tanah yang ikut mempersulit penduduk miskin di kota.
Moralitas kota makin merosot tajam, hukum rimba makin menjadi etika
kota dan etika bisnis makin menjadi nostalgia, dan manusia kota akan
makin menjadi alat produksi dan makin kehilangan identitas diri dan
sadar hukumnya lemah. Gejala demikian menunjukkan fakta spiritualitas
perkotaan yang semu di mana agama memang dicari dan bermanfaat secara
"emosional" tetapi tidak berdaya men"transformasi"kan manusia modern
di kota. Agama bertumbuh secara kuantitatif tetapi secara kualitatif
masih dipertanyakan.
Jim Rohwer dalam tulisannya berjudul "What's in a nationality?"
mengatakan mengenai gejala dunia di tahun 1993 antara lain sebagai
berikut:
The growing integration of the world economy is pushing human society
into a borderless future... capital first, then goods and at last
services will be ever inclined to flow to places where they earn the
best returns, not necessarilly where governments would like them to
go; the companies and people who provide all these things are
increasingly following suit... But not so fast. The attachments of
blood, race, religion and language will be lessened hardly a jot by
all these developments. Indeed, they mill continue to weigh more
heavily in the worlds emotional scaleshan economic cosmopolitanism
does; and they will be the root cause of most of 1993's rows.
Komentar di atas senafas dengan analisis John Naisbitt dalam bukunya
mengenai dilema "High Tech-High Touch" di mana kehidupan modern
dikatakan sering mengalami dua kecenderungan komplementer yang saling
bertentangan. Kenyataannya kecenderungan yang diamati para pakar
tersebut kelihatannya berlaku pula di kehidupan perkotaan dan dalam
kaitannya dengan agama.
Penduduk kota modern makin sekular, individualistis dan materialistis
tetapi mereka cenderung mencari kelompok-kelompok "primordial" semula
seperti SARA, itulah sebabnya di kota-kota besar kecenderungan untuk
berkelompok secara kesukuan atau sekampung menjadi lebih kuat sebagai
rem pengaman kecenderungan modernisasi yang makin menghilangkan
identitas diri manusia.
Dalam kehidupan kegerejaan kita melihat gejala yang sama di mana
banyak umat mencari kembali primodialisme agama dalam bentuk kehidupan
bergereja di samping mencari pelarian emosional sebagai kompensasi
kejenuhan kehidupan modern. Di satu segi kelihatannya gereja ada
manfaatnya untuk mengisi kehausan emosional dan kebutuhan
primordialisme, tetapi sebagai "Hamba Allah" jelas gereja demikian
tidak menjadi "berkat" bagi masyarakat bila ia tidak mempunyai
kepekaan lingkungan dan kepedulian sosial.


LALU BAGAIMANA?
Dapat di kata menghadapi tantangan permasalahan yang ditimbulkan
perkembangan kota-kota besar, gereja kelihatannya masih mandul dan
nyaris tidak berbuat apa-apa!
Melihat perkembangan pembangunan gereja-gereja di kota-kota besar,
sepintas lalu kita dapat melihat adanya pertambahan kuantitatif, baik
dalam jumlah gedung gereja baru yang dibangun maupun dalam biaya
pembangunan yang berlomba-lomba, tetapi di balik itu kita melihat
bahwa umumnya jemaat perkotaan lebih bersifat individualistis, di mana
sekalipun banyak gereja-gereja besar dibangun dengan mahal dan mewah,
ternyata kepedulian gereja-gereja besar kepada gereja-gereja miskin
boleh di kata hampir tidak ada. Harta gereja umumnya lebih
diprioritaskan untuk keperluan sendiri dalam bentuk gedung maupun
mobil, dan sangat sedikit diarahkan sebagai buah-buah kasih ke luar.
Di balik mercu-mercu gedung gereja yang bergemerlapan, kota-kota besar
juga menyimpan ribuan gedung-gedung gereja di kampung-kampung yang
miskin dan bahkan reyot. Di sini kita melihat bahwa dampak kepedulian
misi gereja-gereja kota kepada sesama gerejanya saja masih kecil,
lebih-lebih kepeduliannya kepada orang-orang di luar gereja. Kenyataan
ini dapat dilihat dari hasil penelitian STT Jakarta (1985), di mana
dijumpai fakta bahwa dari 226 gereja responden, hanya 15 gereja yang
mempunyai program pelayanan sosial yang bisa disebut sebagai
"pelayanan perkotaan" (urban ministry), ini jumlahnya hanya 6 persen
saja!
Dari hasil penelitian itu, termasuk penelitian yang dilakukan oleh
World Vision International bekerja sama dengan yayasan-yayasan Kristen
di Jakarta, Semarang dan Surabaya, juga ditemukan fakta bahwa
setidaknya ada tiga sikap gereja dalam kepeduliannya pada masyarakat
penyandang masalah di perkotaan, yaitu:
1. Sikap yang menganggap bahwa tugas gereja atau persekutuan hanya
untuk mengabarkan "Injil", sedang urusan sosial adalah tanggung jawab
pemerintah.
2. Sikap yang menganggap bahwa pelayanan diakonia hanya perlu
diberikan kepada anggota jemaat sendiri saja yang kebetulan
membutuhkan.
3. Sikap yang mulai menyadari bahwa pelayanan sosial termasuk tugas
gereja atau persekutuan Kristen dan menjadi bagian tak terpisahkan
dari pemberitaan Injil.
Dari gambaran di atas kita dapat melihat bahwa kesadaran Gereja atau
persekutuan Kristen di kota-kota besar masih bervariasi, sehingga
"misi" yang mereka lakukan juga diwarnai oleh konsep pengertian
tentang "Injil" yang belum seragam. Sebenarnya, apakah Injil yang
sebenarnya?
Tuhan Yesus pada waktu mengutus murid-muridnya yang ditulia Matius 28
mengatakan:
19 "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan
baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu."
Bukanlah kita cenderung hanya menyempitkan Injil sekedar menjadi tugas
Mat 28:19 dan mengabaikan Mat 28:20? Bukankah "kasih" yang vertikal
(kepada Allah) dan yang horisontal (kepada sesama manusia) merupakan
perintah Allah? Kasih kepada sesama yang diumpamakan dengan "orang
Samaria yang baik hati secara sosial?" Luk 10:25-37.
Ketika memulai pekerjaannya setelah berpuasa 40 hari lamanya, Yesus
meneguhkan kitab Yesaya dan mengatakan:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah
mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang
yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
Luk 4:18-19.
Dari ayat di atas kita dapat melihat bahwa Yesus sendiri mengabarkan
Injil yang mendatangkan Shalom bagi manusia, baik secara spiritual,
fisis, psikis, maupun sosial. Karena itu patut dipertanyakan sampai di
mana kesetiaan dan iman yang sudah ditunjukkan oleh gereja atau
persekutuan di kota-kota besar mengenai kepeduliannya menjalankan misi
kemasyarakatan yang disuruh Tuhan itu, bahkan pada saat kedatangannya
kelak, kelihatannya pelayanan sosial mendapat bobot yang besar pula:
Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang
telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar,
kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum;
ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku
telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat
Aku; ketika aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku... sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lalaikan untuk salah seorang dari
saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk
Aku. Mat 25:34-40.
Kelihatannya dari terang beberapa ayat-ayat di atas saja kita dapat
berintrospeksi sampai di manakah kita sudah "melakukan kehendak Allah"
dalam hidup kita?
Berbicara mengenai "Gereja, Teologi dan Masyarakat" kita harus sadar
bahwa gereja tidak terlepaskan dari teologi yang benar yang
alkitabiah, tetapi lebih lagi perlu disadari bahwa teologi yang
alkitabiah itu justru teologi yang mengakar ke bawah, yang
memasyarakat. Teologi bukanlah "obat bius" yang membuai kita pada
pemikiran-pemikiran yang melambung di angkasa berupa perdebatan
doktrin-doktrin rumit yang tidak mendarat, dan teologi juga bukan
ekstatisme "kompensasi keresahan jiwa", tetapi teologi sepatutnya
merupakan sesuatu yang hidup yang mengakar ke bawah sekaligus
memasyarakat.
MENYIAPKAN SDM KRISTEN
Penyiapan SDM yang peka akan lingkungan perkotaan dan punya kepedulian
sosial perlu dimulai sedini mungkin di sekolah-sekolah Teologia. Perlu
digali kembali teologia alkitabiah yang seutuhnya yang tidak hanya
bersifat vertikalis tetapi juga tidak hanya bersifat horisontalis,
tetapi yang sekaligus bersifat vertikalis dan horisontalis.
Mata kuliah-mata kuliah yang menunjang termasuk Sosiologi, Pelayanan
Perkotaan (Urban Ministry), maupun studi mengenai Yayasan-Yayasan
Sosial Kristen perlu dikembangkan dan dipelajari agar dapat ditemukan
pelayanan seutuhnya mencakup pelayanan sosial yang merupakan buah-buah
kasih Kristiani.
Mata kuliah Konseling Kristen selama ini hanya dibatasi pada konseling
dan bimbingan psikologi saja, padahal masalah manusia yang perlu
dibimbing, bukan sekedar bimbingan kejiwaan, tetapi termasuk juga
bimbingan sosial, ekonomi, bahkan hukum. Konseling Kristen perlu
dikembangkan mencakup apa yang disebut dengan "advocacy" termasuk
bantuan hukum. Bimbingan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga,
mencari pekerjaan, masalah PHK dan masalah pengadilan perlu
diantisipasi dalam pelayanan Konseling.
Pelayanan gereja perlu diperluas bukan hanya terbatas pada pelayanan
diakonia untuk lingkungan sendiri saja, tetapi perlu mencakup pelayan
kasih kepada sesama manusia, termasuk kepada non jemaat.
Pelayanan-pelayanan Kasih dapat berbentuk:
1. Pelayanan "karitatif", yang memberikan pertolongan pertama dan
darurat bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Berikan ikan pada
yang lapar.
2. Pelayanan "pengembangan", yang memberikan ketrampilan dan bekal
agar seseorang dibekali dengan kemampuan untuk memperoleh hasil.
Berikan kail agar ia dapat mengail ikan.
3. Pelayanan "pembebasan", yang membantu melepaskan seseorang dari
penindasan dan keterikatan yang berada di luar kemampuan mereka.
Seseorang bisa mempunyai kail tetapi tidak dapat mengail karena air
sungai sudah dikotori polusi pabrik industri.
Gereja-gereja dapat membuka klinik pelayanan, lembaga-lembaga bantuan
maupun yayasan-yayasan sosial Kristen sebagai perpanjangan gereja.
Dengan demikian gereja melayani bukan hanya dengan kata-kata tetapi
juga dengan perbuatan. Khotbah-khotbah harus berani membicarakan
secara terus terang isu-isu kontemporer yang dihadapi masyarakat
perkotaan secara umum dan anggota jemaat secara khusus, dengan
demikian isi khotbah tidak hanya melayang-layang di udara, tetapi
mendarat di bumi yang nyata. Ada kalanya masalah ekonomi sosial justru
ditimbulkan oleh pelaku yang adalah anggota gereja, dalam hal ini
gereja perlu berani ikut berbicara menegakkan kebenaran dan
mengingatkan yang salah.
Berita Injil perlu diterjemahkan dalam konteks kontemporer, sehingga
Injil bahkan merupakan "kabar baik" yang hanya bersifat puitis, tetapi
juga perlu bersifat "aksi". Dalam sidang Dewan Gereja Dunia di Upsala
(1968) ada demonstran membawa poster berbunyi "No Tracts but Tractor".
Traktat tanpa traktor itu ibarat roh tanpa tubuh, sedang traktor tanpa
traktat itu ibarat tubuh tanpa roh (Yak 2), tetapi manusia membutuhkan
baik traktat berisi kabar baik sekaligus traktor untuk mengisi
perutnya. Benar bahwa Yesus mengatakan bahwa "Manusia hidup bukan dari
roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah",Mat
4:4, tetapi ingat bahwa Yesus tidak mengatakan bahwa kita "tidak
membutuhkan roti", artinya roti juga dibutuhkan!
Sudah saatnya gereja tidak hanya membentuk "kerajaan dunia dengan
segala isinya" (gedung dan aset gereja, mobil, sekolah dan lain-lain),
tetapi perlu menyisihkan sebagian harta miliknya untuk pelayanan
kepada sesama kita, dan menyisihkan dana yang cukup untuk pengembangan
Sumber Daya Manusia.
(Sumber dari internet yang dilengkapi dengan pemikiran pribadi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seseorang di segani dan di hormati bukan karena apa yang di perolehnya, Melainkan apa yang telah di berikannya. Tak berhasil bukan karena gagal tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan hanya orang gagal yang merasa dirinya selalu berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan

BERITA TERKINI

« »
« »
« »
Get this widget

My Blog List

Komentar