STUDY CLUB PURWAKARTA
Wilayah V Purwasuka
MATERI : "SOSIOLOGI"
NARASUMBER : Bpk Adrianus Pasasa
NAMA : Ferdynan Pinontoan
Tugas : ANALISA MASALAH YANG TERJADI PADA KEHIDUPAN GEREJA
ANALISA MASALAH YANG TERJADI PADA KEHIDUPAN GEREJA
Melalui pengamatan dan analisa dari hal kehidupan gereja dan dampak
yang dialami sekarang ini, adalah banyak factor-faktornya dan ada
penyebab yang secara langsung maupun tidak langsung. bukan hal baru,
bila umat seringkali berharap Gereja mengambil sikap tertentu di
hadapan persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar atau yang sedang
menjadi wacana publik, terutama yang berkaitan dengan persoalan
kemanusiaan. Haruskah Gereja terlibat dalam masalah
sosial?
"SIKAP GEREJA"
"Bagaimana dan apa sikap Gereja?"
Menjadi pertanyaan yang selalu dinanti-nanti jawabannya. Di balik
pertanyaan itu secara apriori ada keyakinan si penanya, bahwa sikap
yang bakal diambil Gereja pastilah menjadi cerminan kebenaran.
Alasannya, sudah lama, suara Gereja dianggap kritis, bersih dari
kepentingan-kepentingan pragmatis dan bebas dari intrik-intrik
tertentu.
Pilihan sikap Gereja dianggap selalu berangkat dari dan tertuju pada
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Dalam terminologi Kristiani,
nilai-nilai yang diperjuangkan Gereja terarah pada konkretisasi
Kerajaan Allah.
Namun pesoalannya, apakah Gereja kini masih selalu mau terlibat atau
minimal menyatakan sikap di hadapan sejumlah soal yang muncul di
tengah masyarakat.
Entah diakui atau tidak, kadang ada keengganan pihak Gereja untuk
mengambil sikap tertentu karena takut mengambil resiko yang kadang
memang harus dibayar mahal. Makanya, Gereja terkesan lamban mengambil
sikap. Kalaupun cepat, maka selalu penuh dengan kehati-hatian.
Karena itu pula, sebagian religius atau anggota hirarki yang dalam
arti tertentu boleh dianggap vokal, aktif, berani cenderung dianggap
tidak taat dan bergerak di luar jalur.
Kesan semacam itu mungkin bisa dibenarkan. Tapi, catatannya, jangan
sampai keengganan dalam mengambil sikap membuat kehadiran Gereja tak
lagi mendatangan dampak sosial bagi banyak orang. Jangan sampai Gereja
hanya berkutat pada urusan ritual, meski itu selalu penting.
Padahal, keterlibatan dalam persoalan konkret masyarakat tempat dimana
Gereja hadir perlu dilihat sebagai sebuah imperasi iman juga prasyarat
jika Gereja tidak mau kehilangan relevansi kehadirannya. Ini
mengandaikan juga adanya kemampuan dan kemauan Gereja sendiri untuk
membaca tanda-tanda zaman.
Desakan untuk terlibat juga lahir dari kenyataan, dunia kita makin
jauh dari tatatan ideal. Penyebabnya bermacam-macam. Sekedar menyebut
satu fenomena, globalisasi yang diagung-agungkan ternyata berwajah
ganda, mendatangkan berkah sekaligus kutuk.
Di satu pihak, globalisasi mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun, di pihak lain, globalisasi yang juga ditandai
perubahan cara berpikir menjauhkan kita dari tatanan hidup yang baik,
ketika dalam masyarakat terjadi pembalikan nilai.
Misalnya, cita-cita mencapai keadilan sosial gagal ketika yang terjadi
adalah ketidakadilan, ketika gerak ekonomi berada sepenuhnya di tangan
pemodal sedangkan masyarakat kecil terus dililit kemiskinan. Cita-cita
meciptakan perdamaian pun gagal ketika kita berhadapan dengan fakta
permusuhan yang menyebar dimana-mana.
Penghormatan terhadap lingkungan juga makin jauh dari kenyataan.
Sementara itu, pemerintah sebagai penentu kebijakan publik, de facto,
tidak memainkan perannya secara bertanggung jawab.
Kasus-kasus kejahatan datang silih berganti. Dan acapkali persoalan
yang satu belum selesai, lahir lagi persoalan berikut
Kondisi ini makin parah karena dalam tatanan hidup bersama tercipta
sebuah gejala darwinisme sosial, yaitu ideologi dan pola politik yang
menyingkirkan orang miskin dan lemah tanpa mengenal ampun.
Tampaknya prinsip survival of the fittest (yang kuatlah yang bisa
bertahan) sudah sedemikian merasuki ranah kehidupan sosial masyarakat.
Solidaritas luntur. Individualisme pun makin berkembang.
Ini sekilas gambaran situasi kehidupan bersama kita, di mana Gereja
juga adalah bagian yang sama sekali tidak terpisah dari fakta seperti
ini. Tentu saja, Gereja tidak bisa lagi lari dari dunia atau hanya
fokus pada urusan di sekitar altar. Gereja pun tidak bisa lagi
mengajarkan rekonsiliasi di mimbar tanpa komitmen jelas dan pemihakan
tegas pada perjuangan membela mereka yang ditindas, dipinggirkan dan
diperas.
Pembongkaran budaya represif tidak bisa lagi hanya terjadi lewat
khotbah-khotbah. Tetapi pembongkaran itu hanya mungkin berhasil di
tengah perjuangan pemerdekaan masyarakat yang menjadi korban.
Bentuknya, antara lain lewat upaya-upaya nyata yang memberdayakan,
entah karya sosial karitatif maupun advokasi bagi
masyarakat-masyarakat yang haknya dilanggar demi kepentingan
sekelompok orang.
Gereja perlu memadukan altar, tempat ia menimba kekuatan untuk
berkarya dan konteks tempat dimana Gereja mengalami perjumpaan
langsung dengan kehidupan masyarakat.
Tuntutan keterlibatan Gereja perlu diberi catatan berikut: dalam
melibatkan diri, bukan mentalitas proyek yang dibangun. Mentalitas
proyek bisa menggiring perjuangan pada cara-cara pragmatis.
Perjuangan perlu ditempatkan dalam kerangka aktualisasi pilihan untuk
menghadirkan kerajaan Allah. Artinya, keberhasilannya bukan
semata-mata berdasakan parameter kuntitatif, tetapi juga dan terutama
pada kesetiaan dengan komitmen untuk menjalankan peran profetis.
Gereja tidak akan berperan sebagai penggerak pembaruan tanpa terlibat
langsung. Hanya setelah terjun dan melibatkan diri Gereja bisa makin
menemukan arti penting kehadirannya.
Karena itu, tidak ada cara lain selain ia merefleksian dan mengambil
langkah nyata berhadapan dengan persoalan-persoalan konkret kini dan
di sini. Tanpa itu, Gereja akan terus didera oleh persoalan
insignifikansi internal dan irelevansi eksternal. Artinya, ke dalam ia
tak lagi membawa pembaruan dan ke luar pun ia sama sekali tidak
menyumbangkan apa-apa.
Jadi jawaban terhadap judul catatan ini, "Haruskah Gereja Terlibat
Dalam Masalah Sosial?", perlu tegas, "Ya!". Alasannya, itu merupakan
bagian dari peran profetis dan imperasi iman akan Allah yang juga
sudah memilih terlibat dan solider dengan kita sebagai manusia.
TANGGAPAN DAN PENILAIAN
Tentunya sebagaimana pembahasan diatas tentang bagaimana gereja harus
terlibat dalam masalah sosial perlu perkataan yang dibarengi dengan
tindakan perbuatan dengan hati yang tulus ikhlas menyelesaikan masalah
sosial dan Saya sangat setuju dengan komentar-komentar diatas yang
bernada keras dan tegas itu. Hal ini berarti unsur kepemimpinan Gereja
lemah, baik di tingkat hirarkis maupun di tingkat umat. Mereka tidak
mampu mengarahkan dirinya sesuai dengan harapan Sang Guru, kecuali
orang-orang seperti Bunda Teresa, Pater Karim Arbi, Romo Mangun atau
tokoh awam spt pak Kasimo. Padahal mengatasi kelemahan adalah tugas
dan tantangan seumur hidup dari setiap pribadi. Pimpinan Gereja sudah
mengeluarkan berbagai ajaran atau teori. Namun sudahkah setiap pribadi
menyadari peranan masing-masing? Sudahkah setiap umat menghormati
setiap imamnya, karena hanya melalui tangannya mampu menghadirkan
Kristus dalam rupa roti dan anggur? Sudahkah pula seorang imam
percaya akan kemandirian umatnya yang memunyai pangkat imam, raja dan
nabi yang sama oleh sakramen baptis? Menyatunya nilai-nilai dan atau
dalam pribadi seseorang patut kita pertanyakan terus-menerus, karena
saya imani bahwa kesempurnaan itu ada pada saat kematian tiba. Pada
saat itu Sang Hakim Abadi menyambut setiap kita yang dikasihiNya.
SOLUSI DAN PENYELESAIAN
Seperti yang telah dikatakan bahwa pesoalannya, apakah Gereja kini
masih selalu mau terlibat atau minimal menyatakan sikap di hadapan
sejumlah soal yang muncul di tengah masyarakat. entah diakui atau
tidak, kadang ada keengganan pihak Gereja untuk mengambil sikap
tertentu karena takut mengambil resiko yang kadang memang harus
dibayar mahal. Makanya, Gereja terkesan lamban mengambil sikap.
Kalaupun cepat, maka selalu penuh dengan kehati-hatian. karena itu
pula, sebagian religius atau anggota hirarki yang dalam arti tertentu
boleh dianggap vokal, aktif, berani cenderung dianggap tidak taat dan
bergerak di luar jalur. Sebabnya itu marilah kita sama-sama menjaga
keutuhan nilai-nilai saling menghormati satu diantara yang lain supaya
ada keseimbangan tidak saling merugikan dan jangan membuat prilaku
yang berlebihan dapat mendatangkan konflik tetapi buatlah prilaku
ditengah masyarakat yang memiliki keseimbangan saling membutuhkan dan
harus mengarah kepada sinergi untuk melengkapi.
Tuhan Yesus Memberkati.
UPU Round table on Remuneration (23 and 24 September 2024) and UPU Regional
strategy Conference (25 and 26 September 2024) for Asia-pasific
Region-Ulaanbaatar-Mongolia
-
Pada tanggal 21 September 2024 saya bersama Direktur Nasional Post and
Services ( Direcao Naccional Servicos Postais-DNSP) Juliana do Rego Ximenes
diberi k...
1 bulan yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar