Karl Barth dilahirkan di Eropa daratan (Basel, 1886; meninggal 1968),
dia dibesarkan di dalam gereja Reformed dan berada di sayap liberal.
Barth belajar dibawah guru liberal yang cukup penting pada zamannya.
Semasa hidupnya Barth telah menulis lebih dari 500 buku, artikel dan
makalah-makalah. Tetapi karyanya yang terbesar di sepanjang hidupnya
adalah Chruch Dogmatics. Karya ini terdiri dari 4 jilid utama, yang
masing-masing terbagi lagi menjadi 4 bagian, karya ini membicarkan
tentang Firman Allah, Allah pencipta dan pendamaian.
Sejak tahun 1859 iman Kristen sudah menghadapi gempuran yang berat.
Terbitnya "The Origin of Species" dari Charles Darwin telah mengubah
konsep dan sikap manusia terhadap agama dan hal-hal yang metaphysical.
Evolusi bukan hanya dimengerti dalam hubungan dengan kontinuitas
antara manusia dengan makhluk-makhluk lain. Evolusi bahkan menjadi
pusat dari proses perkembangan kebudayaan manusia. Dari manusia yang
immature, yang hidupnya beroritentasi pada agama, kepada manusia yang
dewasa dengan orientasi lain (science) dan ilmu pengetahuan. Dengan
kata lain, agama tidak lagi merupakan kebutuhan manusia zaman sain dan
teknologi ini. Mulai sejak itu umat Kristen kehilangan keberanian
untuk membela agama mereka. Umat Kristen dipaksa untuk membela iman
(bukan agama) dengan penjelasan-penjelasan yang ilmiah. Akibatnya
unsur metaphysical disingkirkan dari iman Kristen dan lahirlah iman
Kristen tanpa Allah yang supranatural.
Keadaan ini sangat tidak menyenangkan. Karl Barth melihat bahwa
kematian agama Kristen sudah di ambang pintu. Sebagai pendeta Reformed
ia sangat peka dengan apa yang sedang terjadi. Tahun 1918 ia
menerbitkan "The Epistle to the Romans," suatu usaha untuk membela
iman Kristen di tengah dunia yang sinis terhadap hal-hal yang
metaphysical dan transendental. Ia menekankan bahwa agama tidak sama
dengan iman. Agama (termasuk agama Kristen) adalah manifestasi dari
natur manusia "homo religiousus." Dalam agama tak ada ruang untuk
Allah yang hidup atau sesuatu yang supranatural dan transendental.
Agama hanyalah usaha manusia untuk membenarkan dirinya sendiri. Lain
halnya dengan iman Kristen yang sejati. Iman adalah pengalaman
"encountering" dengan Allah yang tak mungkin dapat diterangkan dengan
bahasa apapun juga. Sesuatu yang hanya dapat diimani dan diamini.
Suatu penjelasan yang seolah-olah benar. Tetapi tanpa sadar natur iman
Kristen sudah bergeser. Allah yang sudah menyatakan diri di dalam
Anak-Nya Yesus Kristus sekarang kembali menjadi Allah yang "tidak
dikenal." Alkitab sebagai wahyu Allah kehilangan otoritasnya sebagai
kebenaran Allah yang objective. Apa yang tertulis tidak begitu saja
dapat dipercaya sebagai kebenaran firman Allah. Alkitab "hanya"
menjadi firman Allah kalau, pada saat membaca, manusia mengalami
"encountering" dengan Roh Allah. Umat Kristen tidak lagi menyebut
Alkitab sebagai firman Allah. Alkitab hanyalah buku yang "berisi
firman Allah." Lalu siapakah yang mempunyai otoritas menentukan bahwa
pengalaman tertentu adalah pengalaman encountering dengan Allah?
Usaha dari Barth untuk membela iman Kristen pada akhirnya justru
memasukkan iman Kristen dalam jerat "pengalaman existencial" tiap
pribadi. Judgement dari tiap individulah yang pada akhirnya menjadi
otoritas tertinggi. Karl Barth, yang juga berasal dari tradisi
liberal, mengkritik pandangan liberal mengenai manusia, khususnya
kedangkalannya dalam mengerti dosa manusia dan optimisme yang palsu
mengenai sejarah manusia.
Dalam pandangannya yang lain, Barth melihat Allah sebagai yang sama
sekali transenden. Ia sama sekali tidak boleh diidentifikasikan
langsung dengan apapun yang ada di dunia ini, bahkan dengan firman
dalam Alkitab.
Teologi Barth adalah teologi firman. Firman Allahlah, penyataan Allah
yang menjadi pokok persoalan Teologi. Barth sangat menitikberatkan
penyataan Allah dan Alkitab. Bagi Barth, Firman Allah lebih dilihat
dalam kerangka dinamis daripada statis. Firman Allah adalah peristiwa
Allah yang berbicara kepada manusia dalam Yesus Kristus, ialah
penyataan pribadi Allah kepada kita. Menurut Barth Ortodoksi yang
lama telah khilaf karena membuat firman menjadi benda yang statis.
Yang bisa dianalisis dan dibedah seperti tubuh orang mati.
Bagi Barth teologi harus didasarkan atas firman Allah saja, bukan atas
filsafat manusia. Bart menolak semua teologi alamiah yaitu teologi
yang berdasarkan ciptaan atau akal manusia, lepas dari pernyataan
Kristiani. Barth menandaskan bahwa hanya firman Allah yang harus
menjadi satu-satunya dasar teologi. Penolakan Bart terhadap semua
pengetahuan alamiah mengenai Allah berarti bahwa Allah agama Kristen
sama sekali tidak dikenal di luar Yesus Kristus.
Menurut Karl Barth, Alkitab adalah firman Allah sejauh Allah berbicara
melaluinya. Alkitab dengan demikian menjadi Firman Allah di dalam
peristiwa ini. Sebelum Alkitab berbicara secara pribadi, sebelum nyata
dan terpancar di dalam kehidupan, maka Alkitab bukanlah firman Allah,
melainkan sebuah catatan penyataan Allah pada masa lalu sekaligus
menjadi janji untuk penyataan masa mendatang. Jadi Kitab Suci adalah
Firman Allah secara subyektif, bukan secara obyektif.
Satu rumusan yang dipakai Karl Barth tentang Firman Allah, ialah
konsepnya bahwa Firman Allah mempunyai bentuk rangkap-tiga.
Bentuk-primer Firman Allah ialah Yesus Kristus sendiri, Sang Firman
yang dinyatakan. Bentuk-sekunder Firman Allah adalah skriptura dalam
bentuk tertulisnya. Sedangkan bentuk ketiga ialah Firman yang berupa
kerygma gereja, firman dalam bentuk khotbah. Ketiga bentuk tersebut
adalah berhubungan-erat satu sama lain. Sang Firman, Yesus Kristus,
hanya berbicara bilamana Ia disaksikan oleh skriptura dan diberitakan
dengan iman oleh gereja. Alkitab merupakan Firman Allah hanya sebagai
kesaksian tentang Allah yang menyatakan Diri dalam Yesus Kristus itu.
Bahkan Alkitab hanya merupakan Firman Allah, bilamana diterima dengan
penuh iman dan diberitakan dalam gereja dan oleh gereja. Di pihak
lain, pemberitaan gereja hanyalah merupakan Firman Allah bilamana
pemberitaannya itu sungguh-sungguh mengabdi kepada Firman Allah di
dalam Yesus Kristus, dan mendasarkan diri pada Alkitab yang
menyaksikan (memberi kesaksian tentang) Yesus Kristus itu.
Suatu konsep lain yang sering muncul dalam hubungan dengan ide-ide
Karl Barth, ialah konsep bahwa skriptura tidak "merupakan" Firman
Allah melainkan "menjadi" Firman Allah. Dengan perkataan lain, Alkitab
tidak merupakan suatu eksistensi yang statis, yang identik dengan
Firman Allah, melainkan sesuatu yang dapat menjadi dinamis, yang dapat
menjadi hidup, dan oleh karena itu menjadi Firman Allah. Rumusan yang
demikian memberikan gambaran yang lebih bersifat eksistensialis, yaitu
bahwa Alkitab memang bersatu dengan Firman Allah, namun tidak identik
dengan Firman Allah itu.
Meskipun konsep Karl Barth ternyata mengandung kelemahan dan
kekurangan, namun patut kita sadari juga bahwa pada periode tertentu
konsep itu mempunyai pengaruh yang positif sekali. Bahkan masih banyak
orang Kristen yang belum berhadapan dengan konsep "Firman Allah,"
seperti yang diuraikan dalam teologia Karl Barth. Kita akan merasakan
manfaatnya, serta mengalami pembebasan melaluinya/dengannya, kalau
kita sungguh-sungguh menggumulinya. Dapat dikatakan bahwa teologia
neo-orthodox, seperti teologia Karl Barth, akhirnya nampak lebih
konservatif. Justru karena itu, teologia neo-orthodox telah berhasil
membentuk jembatan, yang membantu menyeberang golongan-golongan
Kristen yang sangat konservatif, sampai mereka dapat mengejar cara
berpikir dan berteologia yang sudah menjadi lazim di gereja Protestan
modern.
dia dibesarkan di dalam gereja Reformed dan berada di sayap liberal.
Barth belajar dibawah guru liberal yang cukup penting pada zamannya.
Semasa hidupnya Barth telah menulis lebih dari 500 buku, artikel dan
makalah-makalah. Tetapi karyanya yang terbesar di sepanjang hidupnya
adalah Chruch Dogmatics. Karya ini terdiri dari 4 jilid utama, yang
masing-masing terbagi lagi menjadi 4 bagian, karya ini membicarkan
tentang Firman Allah, Allah pencipta dan pendamaian.
Sejak tahun 1859 iman Kristen sudah menghadapi gempuran yang berat.
Terbitnya "The Origin of Species" dari Charles Darwin telah mengubah
konsep dan sikap manusia terhadap agama dan hal-hal yang metaphysical.
Evolusi bukan hanya dimengerti dalam hubungan dengan kontinuitas
antara manusia dengan makhluk-makhluk lain. Evolusi bahkan menjadi
pusat dari proses perkembangan kebudayaan manusia. Dari manusia yang
immature, yang hidupnya beroritentasi pada agama, kepada manusia yang
dewasa dengan orientasi lain (science) dan ilmu pengetahuan. Dengan
kata lain, agama tidak lagi merupakan kebutuhan manusia zaman sain dan
teknologi ini. Mulai sejak itu umat Kristen kehilangan keberanian
untuk membela agama mereka. Umat Kristen dipaksa untuk membela iman
(bukan agama) dengan penjelasan-penjelasan yang ilmiah. Akibatnya
unsur metaphysical disingkirkan dari iman Kristen dan lahirlah iman
Kristen tanpa Allah yang supranatural.
Keadaan ini sangat tidak menyenangkan. Karl Barth melihat bahwa
kematian agama Kristen sudah di ambang pintu. Sebagai pendeta Reformed
ia sangat peka dengan apa yang sedang terjadi. Tahun 1918 ia
menerbitkan "The Epistle to the Romans," suatu usaha untuk membela
iman Kristen di tengah dunia yang sinis terhadap hal-hal yang
metaphysical dan transendental. Ia menekankan bahwa agama tidak sama
dengan iman. Agama (termasuk agama Kristen) adalah manifestasi dari
natur manusia "homo religiousus." Dalam agama tak ada ruang untuk
Allah yang hidup atau sesuatu yang supranatural dan transendental.
Agama hanyalah usaha manusia untuk membenarkan dirinya sendiri. Lain
halnya dengan iman Kristen yang sejati. Iman adalah pengalaman
"encountering" dengan Allah yang tak mungkin dapat diterangkan dengan
bahasa apapun juga. Sesuatu yang hanya dapat diimani dan diamini.
Suatu penjelasan yang seolah-olah benar. Tetapi tanpa sadar natur iman
Kristen sudah bergeser. Allah yang sudah menyatakan diri di dalam
Anak-Nya Yesus Kristus sekarang kembali menjadi Allah yang "tidak
dikenal." Alkitab sebagai wahyu Allah kehilangan otoritasnya sebagai
kebenaran Allah yang objective. Apa yang tertulis tidak begitu saja
dapat dipercaya sebagai kebenaran firman Allah. Alkitab "hanya"
menjadi firman Allah kalau, pada saat membaca, manusia mengalami
"encountering" dengan Roh Allah. Umat Kristen tidak lagi menyebut
Alkitab sebagai firman Allah. Alkitab hanyalah buku yang "berisi
firman Allah." Lalu siapakah yang mempunyai otoritas menentukan bahwa
pengalaman tertentu adalah pengalaman encountering dengan Allah?
Usaha dari Barth untuk membela iman Kristen pada akhirnya justru
memasukkan iman Kristen dalam jerat "pengalaman existencial" tiap
pribadi. Judgement dari tiap individulah yang pada akhirnya menjadi
otoritas tertinggi. Karl Barth, yang juga berasal dari tradisi
liberal, mengkritik pandangan liberal mengenai manusia, khususnya
kedangkalannya dalam mengerti dosa manusia dan optimisme yang palsu
mengenai sejarah manusia.
Dalam pandangannya yang lain, Barth melihat Allah sebagai yang sama
sekali transenden. Ia sama sekali tidak boleh diidentifikasikan
langsung dengan apapun yang ada di dunia ini, bahkan dengan firman
dalam Alkitab.
Teologi Barth adalah teologi firman. Firman Allahlah, penyataan Allah
yang menjadi pokok persoalan Teologi. Barth sangat menitikberatkan
penyataan Allah dan Alkitab. Bagi Barth, Firman Allah lebih dilihat
dalam kerangka dinamis daripada statis. Firman Allah adalah peristiwa
Allah yang berbicara kepada manusia dalam Yesus Kristus, ialah
penyataan pribadi Allah kepada kita. Menurut Barth Ortodoksi yang
lama telah khilaf karena membuat firman menjadi benda yang statis.
Yang bisa dianalisis dan dibedah seperti tubuh orang mati.
Bagi Barth teologi harus didasarkan atas firman Allah saja, bukan atas
filsafat manusia. Bart menolak semua teologi alamiah yaitu teologi
yang berdasarkan ciptaan atau akal manusia, lepas dari pernyataan
Kristiani. Barth menandaskan bahwa hanya firman Allah yang harus
menjadi satu-satunya dasar teologi. Penolakan Bart terhadap semua
pengetahuan alamiah mengenai Allah berarti bahwa Allah agama Kristen
sama sekali tidak dikenal di luar Yesus Kristus.
Menurut Karl Barth, Alkitab adalah firman Allah sejauh Allah berbicara
melaluinya. Alkitab dengan demikian menjadi Firman Allah di dalam
peristiwa ini. Sebelum Alkitab berbicara secara pribadi, sebelum nyata
dan terpancar di dalam kehidupan, maka Alkitab bukanlah firman Allah,
melainkan sebuah catatan penyataan Allah pada masa lalu sekaligus
menjadi janji untuk penyataan masa mendatang. Jadi Kitab Suci adalah
Firman Allah secara subyektif, bukan secara obyektif.
Satu rumusan yang dipakai Karl Barth tentang Firman Allah, ialah
konsepnya bahwa Firman Allah mempunyai bentuk rangkap-tiga.
Bentuk-primer Firman Allah ialah Yesus Kristus sendiri, Sang Firman
yang dinyatakan. Bentuk-sekunder Firman Allah adalah skriptura dalam
bentuk tertulisnya. Sedangkan bentuk ketiga ialah Firman yang berupa
kerygma gereja, firman dalam bentuk khotbah. Ketiga bentuk tersebut
adalah berhubungan-erat satu sama lain. Sang Firman, Yesus Kristus,
hanya berbicara bilamana Ia disaksikan oleh skriptura dan diberitakan
dengan iman oleh gereja. Alkitab merupakan Firman Allah hanya sebagai
kesaksian tentang Allah yang menyatakan Diri dalam Yesus Kristus itu.
Bahkan Alkitab hanya merupakan Firman Allah, bilamana diterima dengan
penuh iman dan diberitakan dalam gereja dan oleh gereja. Di pihak
lain, pemberitaan gereja hanyalah merupakan Firman Allah bilamana
pemberitaannya itu sungguh-sungguh mengabdi kepada Firman Allah di
dalam Yesus Kristus, dan mendasarkan diri pada Alkitab yang
menyaksikan (memberi kesaksian tentang) Yesus Kristus itu.
Suatu konsep lain yang sering muncul dalam hubungan dengan ide-ide
Karl Barth, ialah konsep bahwa skriptura tidak "merupakan" Firman
Allah melainkan "menjadi" Firman Allah. Dengan perkataan lain, Alkitab
tidak merupakan suatu eksistensi yang statis, yang identik dengan
Firman Allah, melainkan sesuatu yang dapat menjadi dinamis, yang dapat
menjadi hidup, dan oleh karena itu menjadi Firman Allah. Rumusan yang
demikian memberikan gambaran yang lebih bersifat eksistensialis, yaitu
bahwa Alkitab memang bersatu dengan Firman Allah, namun tidak identik
dengan Firman Allah itu.
Meskipun konsep Karl Barth ternyata mengandung kelemahan dan
kekurangan, namun patut kita sadari juga bahwa pada periode tertentu
konsep itu mempunyai pengaruh yang positif sekali. Bahkan masih banyak
orang Kristen yang belum berhadapan dengan konsep "Firman Allah,"
seperti yang diuraikan dalam teologia Karl Barth. Kita akan merasakan
manfaatnya, serta mengalami pembebasan melaluinya/dengannya, kalau
kita sungguh-sungguh menggumulinya. Dapat dikatakan bahwa teologia
neo-orthodox, seperti teologia Karl Barth, akhirnya nampak lebih
konservatif. Justru karena itu, teologia neo-orthodox telah berhasil
membentuk jembatan, yang membantu menyeberang golongan-golongan
Kristen yang sangat konservatif, sampai mereka dapat mengejar cara
berpikir dan berteologia yang sudah menjadi lazim di gereja Protestan
modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar