15 Oktober 2012

Kisah Penginjilan di Afrika

Pada tahun 1921, dua pasang suami istri dari Stockholm ( Swedia ),
menjawab panggilan Allah untuk melayani misi penginjilan di Afrika.
Kedua pasang suami istri ini menyerahkan hidupnya untuk mengabarkan
Injil dalam suatu kebaktian pengutusan Injil. Mereka terbeban untuk
melayani negara Belgian Kongo, yang sekarang bernama Zaire. Mereka
adalah David & Svea Flood, serta Joel & Bertha Erickson.
Setelah tiba di Zaire, mereka melapor ke kantor Misi setempat. Lalu
dengan menggunakan parang, mereka membuka jalan melalui hutan
pedalaman yang dipenuhi nyamuk malaria. David dan Svea membawa anaknya
David Jr. yang masih berumur 2 tahun. Dalam perjalanan, David Jr.
terkena penyakit malaria. Namun mereka pantang menyerah dan rela mati
untuk Pekerjaan Injil. Tiba di tengah hutan, mereka menemukan sebuah
desa di pedalaman. Namun penduduk desa ini tidak mengijinkan mereka
memasuki desanya. "Tak boleh ada orang kulit putih yang boleh masuk ke
desa. Dewa-dewa kami akan marah," demikian kata penduduk desa itu.
Karena tidak menemukan desa lain, mereka akhirnya terpaksa tinggal di
hutan dekat desa tersebut. Setelah beberapa bulan tinggal di tempat
itu, mereka menderita kesepian dan kekurangan gizi. Selain itu, mereka
juga jarang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan penduduk
desa. Setelah enam bulan berlalu, keluarga Erickson memutuskan untuk
kembali ke kantor misi. Namun keluarga Flood memilih untuk tetap
tinggal, apalagi karena saat itu Svea baru hamil dan sedang menderita
malaria yang cukup buruk. Di samping itu David juga menginginkan agar
anaknya lahir di Afrika dan ia sudah bertekad untuk memberikan
hidupnya untuk melayani di tempat tersebut.
Selama beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang
emakin memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih
menyediakan waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang
anak kecil penduduk asli dari desa tersebut. Dapat dikatakan anak
kecil itu adalah satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui keluarga
Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak kecil ini hanya tersenyum
kepadanya. Penyakit malaria yang diderita Svea semakin memburuk sampai
ia hanya bisa berbaring saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya
berhasil lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa. Namun Svea tidak
mampu bertahan. Seminggu kemudian keadaannya sangat buruk dan
menjelang kepergiannya, ia berbisik kepada David, "Berikan nama Aina
pada anak kita," lalu ia meninggal.
David amat sangat terpukul dengan kematian istrinya. Ia membuat peti
mati buat Svea, lalu menguburkannya. Saat dia berdiri di samping
kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya sambil mendengar tangis
bayi perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat dari lumpur. Timbul
kekecewaan yang sangat dalam di hatinya. Dengan emosi yang tidak
terkontrol David berseru, "Tuhan, mengapa Kau ijinkan hal ini terjadi
? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami dan melayani
Engkau ?! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah tiada. Anak
sulungku kini baru berumur 3 tahun dan nyaris tidak terurus, apalagi
si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami ada di hutan ini dan kami
hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum cukup
memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku,
Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku !"
Kemudian David kembali ke kantor misi Afrika. Saat itu David bertemu
lagi dengan keluarga Erickson. David berteriak dengan penuh
kejengkelan, "Saya akan kembali ke Swedia ! Saya tidak mampu lagi
mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu."
Kemudian David memberikan Aina kepada keluarga Erickson untuk
dibesarkan. Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di
atas dek kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Allah. Ia menceritakan
kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya, bahwa ia telah
mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin
bahwa ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara
tidak mempedulikannya.
Setelah tiba di Stockholm, David Flood memutuskan untuk memulai usaha
di bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk tidak menyebut
nama Tuhan di depannya. Jika mereka melakukan itu, segera ia naik
pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada kebiasaan minum-minuman
keras.
Tidak lama setelah David Flood meninggalkan Afrika, pasangan
suami-istri Erickson yang merawat Aina meninggal karena diracun oleh
kepala suku dari daerah dimana mereka layani. Selanjutnya si kecil
Aina diasuh oleh Arthur & Anna Berg. Keluarga ini membawa Aina ke
sebuah desa yang bernama Masisi, Utara Kongo. Di sana Aina dipanggil
"Aggie". Si kecil Aggie segera belajar bahasa Swahili dan bermain
dengan anak-anak Kongo. Pada saat-saat sendirian si Aggie sering
bermain dengan khayalan. Ia sering membayangkan bahwa ia memiliki
empat saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, dan ia memberi
nama kepada masing-masing saudara khayalannya. Kadang-kadang ia
menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara khayalannya.
Dalam khayalannya, ia melihat bahwa saudara perempuannya selalu
memandang dirinya.
Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis.
Setelah dewasa, Aggie berusaha mencari ayahnya tapi sia-sia. Aggie
menikah dengan Dewey Hurst, yang kemudian menjadi presiden dari
sekolah Alkitab Northwest Bible College. Sampai saat itu Aggie tidak
mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi dengan adik Svea, yang
tidak mengasihi Allah dan telah mempunyai anak lima, empat putra dan
satu putri Tepat seperti khayalan Aggie ).
Suatu ketika Sekolah Alkitab memberikan tiket kepada Aggie dan
suaminya untuk pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie
untuk mencari ayahnya. Saat tiba di London, Aggie dan suaminya
berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall. Di tengah jalan mereka
melihat ada suatu pertemuan penginjilan. Lalu mereka masuk dan
mendengarkan seorang pengkotbah kulit hitam yang sedang bersaksi bahwa
Tuhan sedang melakukan perkara besar di Zaire. Hati Aggie terperanjat.
Setelah selesai acara, ia mendekati pengkotbah itu dan bertanya,
"Pernahkah anda mengetahui pasangan penginjil yang bernama David dan
Svea Flood ?" Pengkotbah kulit hitam ini menjawab, "Ya, Svea adalah
orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak.
Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya tidak tahu bagaimana
keadaannya sekarang." Aggie segera berseru, "Sayalah bayi perempuan
itu ! Saya adalah Aggie – Aina !"
Mendengar seruan itu si Pengkotbah segera menggenggam tangan Aggie dan
memeluk sambil menangis dengan sukacita. Aggie tidak percaya bahwa
orang ini adalah bocah yang dilayani ibunya. Ia bertumbuh menjadi
seorang penginjil yang melayani bangsanya dan pekerjaan Tuhan
berkembang pesat dengan 110.000 orang Kristen, 32 Pos penginjilan,
beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat
tidur.
Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan ke Stockholm dan berita telah
tersebar luas bahwa mereka akan datang. Setibanya di hotel, ketiga
saudaranya telah menunggu mereka di sana dan akhirnya Aggie mengetahui
bahwa ia benar-benar memiliki saudara lima orang. Ia bertanya kepada
mereka, "Dimana David kakakku ?" Mereka menunjuk seorang laki-laki
yang duduk sendirian di lobi.
David Jr. adalah pria yang nampak kering, lesu dan berambut putih.
Seperti ayahnya, iapun dipenuhi oleh kekecewaan, kepahitan dan hidup
yang berantakan karena alkohol. Ketika Aggie bertanya tentang kabar
ayahnya, David Jr. menjadi marah. Ternyata semua saudaranya membenci
ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. Lalu
Aggie bertanya, "Bagaimana dengan saudaraku perempuan ?" Tak lama
kemudian saudara perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie
dan berkata, "Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku
membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di
atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu
kemana-mana." Saudara perempuannya itu juga telah menjauhi ayahnya,
tetapi ia berjanji untuk membantu Aggie mencari ayahnya.
Lalu mereka memasuki sebuah bangunan tidak terawat. Setelah mengetuk
pintu, datanglah seorang wanita dan mempersilakan mereka masuk. Di
dalam ruangan itu penuh dengan botol minuman, tapi di sudut ruangan
nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yang dulunya
seorang penginjil. Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes, stroke
dan katarak yang menutupi kedua matanya. Aggie jatuh di sisinya dan
menangis, "Ayah, aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika."
Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi
matanya, lalu ia menjawab, "Aku tak pernah bermaksud membuangmu, aku
hanya tidak mampu untuk mengasuhnya lagi." Aggie menjawab, "Tidak
apa-apa, Ayah. Tuhan telah memelihara aku."
Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap, "Tuhan tidak memeliharamu !"
Ia mengamuk. "Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita ! Ia
membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada satupun hasil
di sana. Semuanya sia-sia belaka !" Aggie kemudian menceritakan
pertemuannya dengan seorang pengkotbah kulit hitam dan bagaimana
perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak kecil yang
dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. "Sekarang semua orang
mengenal anak kecil, si pengkotbah itu. Dan kisahnya telah dimuat di
semua surat kabar." Saat itu Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia
sadar dan tidak sanggup menahan air mata lalu bertobat.
Tak lama setelah pertemuan itu, David Flood meninggal, tetapi Allah
telah memulihkan semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.

1 komentar:

Seseorang di segani dan di hormati bukan karena apa yang di perolehnya, Melainkan apa yang telah di berikannya. Tak berhasil bukan karena gagal tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan hanya orang gagal yang merasa dirinya selalu berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan

BERITA TERKINI

« »
« »
« »
Get this widget

My Blog List

Komentar