Masalah tentang hubungan antara rasio dan wahyu adalah suatu masalah
yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat
hendak menyaingi wahyu, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi
saling curiga mencurigai, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan
pencarian akan kebenaran itu sendiri.
Pengertian
a. Filsafat; Kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar
katanya, dari mana kata ini datang. Kata "filsafat" berasal dari
bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos
pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya
"cinta akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang
berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya
kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti
hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian
arti filsafat pada mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum.
Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu vak biasa, yang
berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh
kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk
berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang
mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu
kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau
khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat,
"Ilmu tentang hakikat". Di sinilah kita memahami perbedaan mendasar
antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu membatasi
wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam
empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan
"apa sebabnya". Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai
makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar
(keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu
empiris. Philosophy: Inquiry into the nature of things based on
logical reasoning rather than empirical methods (The Grolier Int.
Dict.). Filsafat meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan
"ke mana". Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat
dari suatu masalah, seperti yang diselidiki ilmu, melainkan orang
mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu,
dari mana terjadinya dan ke mana tujuannya. Maka, jika para filsuf
ditanyai, "Mengapa A percaya akan Allah", mereka tidak akan menjawab,
"Karena A telah dikondisikan oleh pendidikan di sekolahnya untuk
percaya kepada Allah," atau "Karena A kebetulan sedang gelisah, dan
ide tentang suatu figur bapak membuatnya tenteram." Dalam hal ini,
para filsuf tidak berurusan dengan sebab-sebab, melainkan dengan
dasar-dasar yang mendukung atau menyangkal pendapat tentang keberadaan
Allah. Tugas filsafat menurut Sokrates (470-399 S.M.) bukan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupan, melainkan
mempersoalkan jawaban yang diberikan.
b. Teologi; Asal kata Teologi (Yunani: "Theos": Allah dan "Logos":
Ilmu, akal, kata, dan penalaran. Jadi Teologi adalah sains yang
mempelajari tentang pribadi dan karya Allah dalam hubungannya dengan
alam semesta, termasuk manusia, alam, dll, sebagaimana yang dinyatakan
Alkitab. Istilah teologi itu sendiri mengimplikasikan suatu sains
tentang Allah. kata "logi" mengindikasikan adanya penalaran, pemikiran
yang mempunyai sistimnya sendiri, dimana setiap sistim mengandung
metodologi yang didalamnya ada asumsi keilmuannya sendiri.
i. Hubungan teologi dengan disiplin ilmu-ilmu lain; teologi disebut
ilmu integral karena meliputi semua ilmu khusus yang bersifat
sebagian-sebagian, karena membatasi diri pada bidang dan taraf
kehidupan tertentu. Misalnya ilmu kedokteran, biologi, dll.
ii. Hubungannya dengan Filsafat; zaman Skolastik akhir filsafat
dinyatakan sebagai Ratunya ilmu pengetahuan atau "Queen of Science",
sedangkan sebelumnya teologi dikatakan ratunya ilmu pengetahuan,
karena cakupan ilmunya yang berdasarkan Alkitab meliputi seluruh
seluruh yang ada di alam ini (wahyu umum dan wahyu khusus). Teologi
berusaha merefleksikan kehidupan manusia sekelilingnya berdasarkan
wahyu serta berpusat pada karya dan pribadi Kristus yang
menyelamatkan. Namun secara umum hubungan filsafat dengan teologi
sangat dekat, yaitu menjadi penghubung teologi dengan ilmu-ilmu
khusus. Filsafat menjadi kerangka refleksi bagi teologi, hal ini
dimungkinkan karena kedua-duannya adalah ilmu integral.
Ketegangan-ketegangan antara Teologi dan Filsafat
a. Zaman Bapak gereja da rasuli kecenderungan teologi di atas rasio (filsafat).
b. Zaman pertengahan awal Wahyu masih berada di atas akan.
c. Zaman renasan (pertengahan abad ke dua) rasio diangkat ke atas
hampir, bahkan sejajar dengan wahyu dalam kedudukan dan fungsi,
disinilah awal terbukanya jalan pada abad berikutnya untuk
mengunggulkan rasio di atas wahyu atau filsafat di atas teologi.
d. Zaman reformasi mengembalikan pada fungsinya amsing-masing secara
proporsional, dimana keduannya berasal dari Allah yang satu harus
dipakai secara proporsional dan tidak saling mendominasi.
e. Zaman rasionalisme dimana rasio mengunguli wahyu dan sampai
membuang wahyu dari kehidupan manusia. Hanya berdasarkan akal.
f. Zaman pencerahan, prinsip hanya akal saja yang berkembang, namun
tidak membawa makna yang baik bagi kehidupan karena wahyu telah
dibuang dari kehidupan manusia.
g. Pasca pencerahan, akalpun mengalami nasib yang sama dibuang dari
arena pemikiran Kristen. Tidak ada akal sedangkan wahyu yang telah
dibuang pada zaman sebelumnya tidak diambil lagi, yang tersisa hanya
perasaan dan pengalaman agamawi saja. Agama kehilangan isi objektif
dan orang Kristen kehilangan makna intelektual dari iman tersebut,
kemudian melahirkan teologi liberal.
h. Pada abad 20 ternyata perasaanpun tidak memuaskan dan tidak membawa
hal-hal yang objektif dan bertanggungjawab dalam kehidupan manusia.
Pada abad ini kaum protestan konservatif mengambil kembali wahyu dan
iman ortodoks berdasarkan wahyunya dengan mempertimbangkan juga akal
dan perasaan secara benar berdasarkan wahyu Allah dalam teologinya.
Telah dibahas di atas bahwa dari masa kemasa filsafat dan teologi
selalu mengalami ketegangan-ketegangan. Tetapi harus disadari bahwa
keduanya mencari kebenaran, filsafat mencari kebenaran berdasarkan
akal. Teologi mencari kebenaran berdasarkan iman. Kebenaran dalam
filsafat adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut Teologi
adalah "kebenaran wahyu" (Alkitab). Kita tidak akan berusaha mencari
mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita
akan melihat apakah keduanya dapat dihubungkan.
Kedudukan Filsafat dalam Teologi
Apakah keduanya dapat bekerjasama satu sama lain. Meskipun filsafat
mencari kebenaran dengan akal. Filsafat membantu dalam memastikan arti
objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran
untuk teologi. Selain itu filsafat adalah fungsi kritis dalam
berteologi, dimana filsafat berfungsi memeriksa dan menguji kembali
asumsi-asumsi dasar suatu kepercayaan secara sistematis-logis. Dengan
demikian filsafat akan mengguncangkan kembali asumsi kepercayaan kita,
dan berharap akan tiba pada kepercayaan yang sama sehingga kita
semakin kuat dalam kepercayaan. Secara spesifik filsafat berfungsi
konstruktif juga bagi teologi dengan memakainya sebagai kerangka
berpikir filosofis untuk mencari penyelesaian pada masalah-masalah
etis, moral, kejahatan, dan penderitaan manusia. Misalnya,
mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi
tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab
Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal
ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa
sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip
moralitasnya sendiri.
Jika demikian, apakah teologi harus sesuai dengan akal? Boleh
dikatakan ya, dalam hal ini teologi harus sesuai dengan logika yang
tegas berdasarkan kriteria yang benar, yaitu Kitab Suci yang
memberikan inspirasi.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka
antara filsafat dan teologi dapat terjalin hubungan yang harmonis dan
saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali
pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang
sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang
dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu, filsafat maupun
teologi. Keduanya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan
yang timbul dalam kehidupan.
Kesimpulan
1) Secara umum dapat dikatakan bahwa filsafat tidak pernah dapat
membawa manusia kepada kebenaran, dalam artikata kebenaran "mutlak".
Kebenaran relatip dan subjektip mungkin ada, tetapi kebenaran objektip
dan mutlak? Tidak ada filsuf yang berani claim bahwa ia telah mendapat
kebenaran mutlak dan objektip.
2) Teologi seseorang sesungguhnya adalah tafsiran orang itu akan
Alkitab. Teologi atau tafsiran Alkitab manusia manapun tidak pernah
dapat dibuktikan benar. Teologi manusia manapun dibiaskan oleh
asumsi-asumsi mulanya, oleh prasangka-prasangkanya, intuisi, perasaan
dan pengalaman-pengalamannya, oleh teori-teori, filsafat-filsafat yang
dibacanya. Yang mutlak benar hanyalah Allah. Kebenaran Allah adalah
mutlak dan tak terbatas. Alkitab adalah Firman Allah, tetapi ditulis,
diteruskan, dikutip, diterjemahkan, dicetak dan dibaca oleh manusia
yang serba terbatas. Manusia yang terbatas berusaha mengerti Allah
yang tak terbatas. Allah tidak dapat salah, tetapi manusia dapat
salah.
3) Seorang pemikir Kristen (filsuf, ilmuwan teolog) tidak dapat
menghindarkan diri dari pengaruh para filsuf lain dari zaman Yunani
sampai sekarang. Tetapi terutama bagi seorang teolog hendaknyalah ia
menaruh Alkitab jauh diatas filsafat-filsafat, teori-teori serta
spekulasi-spekulasi manusia.
4) Ketika filsafat dinaikkan menjadi "Queen of Science" harus tetap
diingat bahwa teologi tetap sebagai "King" yang harus dilayani juga
sebagai tuan. Dan ketika filsafat fungsinya tidak pada tempatnya maka
akan membingungkan, karena filsafat hanya bisa bertanya dan teologi
menjawabnya. Teologi berfungsi sebagai pembuat keputusan dan
kesimpulan yang didasarkan pada Firman Allah.
yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat
hendak menyaingi wahyu, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi
saling curiga mencurigai, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan
pencarian akan kebenaran itu sendiri.
Pengertian
a. Filsafat; Kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar
katanya, dari mana kata ini datang. Kata "filsafat" berasal dari
bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos
pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya
"cinta akan kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang
berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya
kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti
hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian
arti filsafat pada mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum.
Filsafat adalah suatu ilmu, meskipun bukan ilmu vak biasa, yang
berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh
kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk
berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang
mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang membawa usahanya itu
kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau
khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat,
"Ilmu tentang hakikat". Di sinilah kita memahami perbedaan mendasar
antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu membatasi
wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam
empiris. Ilmu menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan
"apa sebabnya". Filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai
makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar
(keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu
empiris. Philosophy: Inquiry into the nature of things based on
logical reasoning rather than empirical methods (The Grolier Int.
Dict.). Filsafat meninjau dengan pertanyaan "apa itu", "dari mana" dan
"ke mana". Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat
dari suatu masalah, seperti yang diselidiki ilmu, melainkan orang
mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu,
dari mana terjadinya dan ke mana tujuannya. Maka, jika para filsuf
ditanyai, "Mengapa A percaya akan Allah", mereka tidak akan menjawab,
"Karena A telah dikondisikan oleh pendidikan di sekolahnya untuk
percaya kepada Allah," atau "Karena A kebetulan sedang gelisah, dan
ide tentang suatu figur bapak membuatnya tenteram." Dalam hal ini,
para filsuf tidak berurusan dengan sebab-sebab, melainkan dengan
dasar-dasar yang mendukung atau menyangkal pendapat tentang keberadaan
Allah. Tugas filsafat menurut Sokrates (470-399 S.M.) bukan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupan, melainkan
mempersoalkan jawaban yang diberikan.
b. Teologi; Asal kata Teologi (Yunani: "Theos": Allah dan "Logos":
Ilmu, akal, kata, dan penalaran. Jadi Teologi adalah sains yang
mempelajari tentang pribadi dan karya Allah dalam hubungannya dengan
alam semesta, termasuk manusia, alam, dll, sebagaimana yang dinyatakan
Alkitab. Istilah teologi itu sendiri mengimplikasikan suatu sains
tentang Allah. kata "logi" mengindikasikan adanya penalaran, pemikiran
yang mempunyai sistimnya sendiri, dimana setiap sistim mengandung
metodologi yang didalamnya ada asumsi keilmuannya sendiri.
i. Hubungan teologi dengan disiplin ilmu-ilmu lain; teologi disebut
ilmu integral karena meliputi semua ilmu khusus yang bersifat
sebagian-sebagian, karena membatasi diri pada bidang dan taraf
kehidupan tertentu. Misalnya ilmu kedokteran, biologi, dll.
ii. Hubungannya dengan Filsafat; zaman Skolastik akhir filsafat
dinyatakan sebagai Ratunya ilmu pengetahuan atau "Queen of Science",
sedangkan sebelumnya teologi dikatakan ratunya ilmu pengetahuan,
karena cakupan ilmunya yang berdasarkan Alkitab meliputi seluruh
seluruh yang ada di alam ini (wahyu umum dan wahyu khusus). Teologi
berusaha merefleksikan kehidupan manusia sekelilingnya berdasarkan
wahyu serta berpusat pada karya dan pribadi Kristus yang
menyelamatkan. Namun secara umum hubungan filsafat dengan teologi
sangat dekat, yaitu menjadi penghubung teologi dengan ilmu-ilmu
khusus. Filsafat menjadi kerangka refleksi bagi teologi, hal ini
dimungkinkan karena kedua-duannya adalah ilmu integral.
Ketegangan-ketegangan antara Teologi dan Filsafat
a. Zaman Bapak gereja da rasuli kecenderungan teologi di atas rasio (filsafat).
b. Zaman pertengahan awal Wahyu masih berada di atas akan.
c. Zaman renasan (pertengahan abad ke dua) rasio diangkat ke atas
hampir, bahkan sejajar dengan wahyu dalam kedudukan dan fungsi,
disinilah awal terbukanya jalan pada abad berikutnya untuk
mengunggulkan rasio di atas wahyu atau filsafat di atas teologi.
d. Zaman reformasi mengembalikan pada fungsinya amsing-masing secara
proporsional, dimana keduannya berasal dari Allah yang satu harus
dipakai secara proporsional dan tidak saling mendominasi.
e. Zaman rasionalisme dimana rasio mengunguli wahyu dan sampai
membuang wahyu dari kehidupan manusia. Hanya berdasarkan akal.
f. Zaman pencerahan, prinsip hanya akal saja yang berkembang, namun
tidak membawa makna yang baik bagi kehidupan karena wahyu telah
dibuang dari kehidupan manusia.
g. Pasca pencerahan, akalpun mengalami nasib yang sama dibuang dari
arena pemikiran Kristen. Tidak ada akal sedangkan wahyu yang telah
dibuang pada zaman sebelumnya tidak diambil lagi, yang tersisa hanya
perasaan dan pengalaman agamawi saja. Agama kehilangan isi objektif
dan orang Kristen kehilangan makna intelektual dari iman tersebut,
kemudian melahirkan teologi liberal.
h. Pada abad 20 ternyata perasaanpun tidak memuaskan dan tidak membawa
hal-hal yang objektif dan bertanggungjawab dalam kehidupan manusia.
Pada abad ini kaum protestan konservatif mengambil kembali wahyu dan
iman ortodoks berdasarkan wahyunya dengan mempertimbangkan juga akal
dan perasaan secara benar berdasarkan wahyu Allah dalam teologinya.
Telah dibahas di atas bahwa dari masa kemasa filsafat dan teologi
selalu mengalami ketegangan-ketegangan. Tetapi harus disadari bahwa
keduanya mencari kebenaran, filsafat mencari kebenaran berdasarkan
akal. Teologi mencari kebenaran berdasarkan iman. Kebenaran dalam
filsafat adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut Teologi
adalah "kebenaran wahyu" (Alkitab). Kita tidak akan berusaha mencari
mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita
akan melihat apakah keduanya dapat dihubungkan.
Kedudukan Filsafat dalam Teologi
Apakah keduanya dapat bekerjasama satu sama lain. Meskipun filsafat
mencari kebenaran dengan akal. Filsafat membantu dalam memastikan arti
objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran
untuk teologi. Selain itu filsafat adalah fungsi kritis dalam
berteologi, dimana filsafat berfungsi memeriksa dan menguji kembali
asumsi-asumsi dasar suatu kepercayaan secara sistematis-logis. Dengan
demikian filsafat akan mengguncangkan kembali asumsi kepercayaan kita,
dan berharap akan tiba pada kepercayaan yang sama sehingga kita
semakin kuat dalam kepercayaan. Secara spesifik filsafat berfungsi
konstruktif juga bagi teologi dengan memakainya sebagai kerangka
berpikir filosofis untuk mencari penyelesaian pada masalah-masalah
etis, moral, kejahatan, dan penderitaan manusia. Misalnya,
mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi
tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab
Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal
ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa
sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip
moralitasnya sendiri.
Jika demikian, apakah teologi harus sesuai dengan akal? Boleh
dikatakan ya, dalam hal ini teologi harus sesuai dengan logika yang
tegas berdasarkan kriteria yang benar, yaitu Kitab Suci yang
memberikan inspirasi.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka
antara filsafat dan teologi dapat terjalin hubungan yang harmonis dan
saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali
pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang
sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang
dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu, filsafat maupun
teologi. Keduanya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan
yang timbul dalam kehidupan.
Kesimpulan
1) Secara umum dapat dikatakan bahwa filsafat tidak pernah dapat
membawa manusia kepada kebenaran, dalam artikata kebenaran "mutlak".
Kebenaran relatip dan subjektip mungkin ada, tetapi kebenaran objektip
dan mutlak? Tidak ada filsuf yang berani claim bahwa ia telah mendapat
kebenaran mutlak dan objektip.
2) Teologi seseorang sesungguhnya adalah tafsiran orang itu akan
Alkitab. Teologi atau tafsiran Alkitab manusia manapun tidak pernah
dapat dibuktikan benar. Teologi manusia manapun dibiaskan oleh
asumsi-asumsi mulanya, oleh prasangka-prasangkanya, intuisi, perasaan
dan pengalaman-pengalamannya, oleh teori-teori, filsafat-filsafat yang
dibacanya. Yang mutlak benar hanyalah Allah. Kebenaran Allah adalah
mutlak dan tak terbatas. Alkitab adalah Firman Allah, tetapi ditulis,
diteruskan, dikutip, diterjemahkan, dicetak dan dibaca oleh manusia
yang serba terbatas. Manusia yang terbatas berusaha mengerti Allah
yang tak terbatas. Allah tidak dapat salah, tetapi manusia dapat
salah.
3) Seorang pemikir Kristen (filsuf, ilmuwan teolog) tidak dapat
menghindarkan diri dari pengaruh para filsuf lain dari zaman Yunani
sampai sekarang. Tetapi terutama bagi seorang teolog hendaknyalah ia
menaruh Alkitab jauh diatas filsafat-filsafat, teori-teori serta
spekulasi-spekulasi manusia.
4) Ketika filsafat dinaikkan menjadi "Queen of Science" harus tetap
diingat bahwa teologi tetap sebagai "King" yang harus dilayani juga
sebagai tuan. Dan ketika filsafat fungsinya tidak pada tempatnya maka
akan membingungkan, karena filsafat hanya bisa bertanya dan teologi
menjawabnya. Teologi berfungsi sebagai pembuat keputusan dan
kesimpulan yang didasarkan pada Firman Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar