26 September 2012

Pengantar Filsafat

A. PENGANTAR
Apakah orang Kristen perlu belajar Filsafat?
Tiga sikap orang Kristen terhadap Filsafat:
1. Bersikap Antipati
2. Sangat Positif
3. Terbuka namun Kristis

Pertama, Sikap antipati terhadap filsafat! Kelompok ini menganggap
filsafat adalah hikmat dunia dan Alkitab adalah hikmat Tuhan. Orang
yang mau hidup dalam Tuhan harus menjauhkan diri bahkan memusuhi
filsafat. Ayat yang sering dikutip adalah Kolose 2:8, "Hati-hatilah,
supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan
palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak
menurut Kristus.
Kelompok ini percaya bahwa belajar filsafat berarti menuju kesesatan
dan hikmat dunia. Mereka berpandangan bahwa belajar filsafat adalah
sesuatu sesat. Hal ini bisa dimaklumi karena mereka telah menyaksikan
beberapa orang yang belajar filsafat akhirnya meninggalkan Tuhan atau
menjadi sangat kritis terhadap Alkitab. Jika ada orang yang belajar
filsafat maka kelompok ini segera mengingatkan, "hati-hati nanti kamu
berubah menjadi sinkretis dan tidak biblikal."
Sikap seperti ini muncul akibat adanya rasa takut bahwa jemaat akan
sesat jika belajar filsafat. Hal ini bisa terjadi karena pendidikan
teologi dari sang pendeta/pengkhotbah ketika ia berada di seminari
atau mengikuti kursus Alkitab tidak memuat pelajaran filsafat.
Beberapa bahkan tidak pernah sekolah teologi sama sekali. Jadi wajar
kalau mereka tidak melihat pentingnya belajar filsafat. Mereka lebih
melihat dampak buruk dari filsafat, yaitu kemungkinan orang tersesat
karenanya. Jika hamba Tuhan memiliki pandangan seperti ini, maka tidak
mengherankan jika jemaatnya juga memiliki sikap demikian.

Orang yang memiliki pandangan seperti ini berpotensi menemui beberapa masalah:
1. Pertama, jika mereka harus melayani orang yang memiliki pengetahuan
tentang filsafat, maka dalam dialog dapat terjadi kebuntuan. Penganut
pandangan anti filsafat biasanya tidak mau belajar filsafat dan
akibatnya tidak mampu berinteraksi dan meyakinkan orang tersebut bahwa
Kekristenan sendiri adalah sebuah filsafat hidup yang terbaik
dibandingkan dengan filsafat lain. Namun demikian, dari sisi orang
yang dilayani, mereka akan merasa bahwa orang Kristen yang tidak
bersedia belajar filsafat tersebut akan dianggap "tidak tahu apa-apa"
atau "fanatik" dan kadang-kadang kelompok intelektual tertentu tidak
mau berdiskusi atau mendengarkan orang Kristen yang demikian. Hal ini
tentu berpotensi menjadi sebuah hambatan dalam penginjilan khususnya
kepada kaum intelektual yang menyukai filsafat.
2. Masalah kedua dapat muncul ketika orang Kristen yang anti filsafat
tiba-tiba karena situasi tertentu belajar filsafat dan "terhipnotis"
olehnya. Misalnya, seorang Kristen yang "steril" dan tidak pernah
belajar filsafat tiba-tiba mendapat kesempatan studi ke luar negeri di
mana dosennya menggempur dia dengan berbagai filsafat anti Kristen.
Bisa saja terjadi kegoncangan iman yang besar karena orang Kristen
tersebut baru menyadari bahwa filsafat itu menarik. Atau ketika
seorang Kristen yang dahulunya anti filsafat lalu menenggelamkan
dirinya dalam karya-karya filsafat anti Kristen, walaupun ia sendiri
belum memiliki fondasi yang cukup memadai tentang Kekristenan.
Akibatnya, mudah ditebak, ia mudah berbalik pandangan dan menentang
Alkitab. Hal seperti ini adalah kisah yang cukup umum di sekitar kita,
khususnya di kalangan kaum terpelajar.

Sikap kedua adalah sikap sangat positif terhadap filsafat,
orang-orang ini secara tulus kagum kepada pemikiran para filsuf kuno
maupun modern. Mereka benar-benar merasa semakin berhikmat setelah
belajar filsafat. Filsafat menolong mereka untuk berpikir kritis,
progresif dan satu lagi, terlepas dari subyektifitas alias obyektif,
demikianlah keyakinan mereka.
Bagi kelompok yang sangat positif terhadap filsafat ini juga muncul
bahaya bahwa kecintaan membaca Alkitab berpotensi digeser oleh
kecintaan membaca buku filsafat. Hal ini tentu merupakan sebuah tanda
bahaya. Secara tak sadar, orang Kristen yang berada dalam kelompok ini
dapat meninggalkan wawasan dunia yang alkitabiah (biblical worldview)
dan atau mencampurnya dengan wawasan dunia lain.
Semua penafsiran penulis berdasarkan Alkitab tidak dibahas namun sang
lawan bicara terus mengutip nama-nama filsuf seolah-olah acuan
tertinggi dalam kebenaran adalah pandangan filsuf dan bukan Alkitab.
Fakta bahwa seorang pendeta lebih senang mendiskusikan sebuah topik
dari perspektif filsafat dan tidak berniat menafsirkannya dari kaca
mata Alkitab adalah sesuatu yang mengherankan dan disesalkan.

Sikap ketiga terhadap filsafat adalah sikap selektif atau "terbuka
namun kritis". Sikap ini dikembangkan misalnya oleh Agustinus, bapa
gereja Barat yang dihormati oleh Gereja Katolik, Protestan dan
Ortodoks Timur. Agustinus percaya bahwa orang Kristen tidak perlu anti
terhadap semua filsafat. Agustinus berkata bahwa filsafat dunia "tidak
semuanya berisi pengajaran yang salah dan tidak masuk akal…ini juga
berisi beberapa ajaran yang sangat baik, cocok digunakan sebagai
kebenaran, dan nilai-nilai moralitas yang sangat baik." Pandangan
Agustinus yang kemudian juga dipercaya oleh Aquinas, theolog abad
pertengahan ini dikenal dalam kalimat populer "segala kebenaran adalah
kebenaran Allah." Kebenaran apa pun termasuk dalam filsafat non
Kristen adalah milik Allah yang patut dihargai.
Dalam Perjanjian Baru sendiri terdapat fakta menarik bahwa Paulus
mengutip dari penulis kafir dalam tulisannya. Sebagai contoh,
nasehatnya yang terkenal "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk
merusakkan kebiasaan yang baik." (1Kor.15:33) dipercaya sebagai sebuah
kutipan dari seorang bernama Menander yang berasal dari abad ke-4
sebelum Masehi.Fakta bahwa Paulus dapat mengutip tulisan kafir dan
memakainya dalam konteks argumen untuk kebangkitan Yesus tentu
menunjukkan bahwa belajar hikmat dunia termasuk filsafat adalah sah
dan dapat digunakan untuk kepentingan Kristen.
Sikap antipati terhadap filsafat tampaknya bukan merupakan pilihan
yang bijaksana. Sebaliknya, sikap sangat positif terhadap filsafat
juga berbahaya mengingat fakta bahwa filsafat non Kristen tidak
dibangun di atas dasar netralitas. Sikap terbuka tapi kritis tampaknya
adalah yang terbaik walaupun masih menyimpan potensi untuk secara tak
sadar membuat iman Kristen menjadi tercampur dengan filsafat non
Kristen. Dalam sikap ketiga ini, kita tetap menguji segala filsafat
dalam terang Alkitab, namun bersedia mengakui hal-hal yang positif
dalam filsafat. Filsafat dapat dipergunakan sebagai alat dalam teologi
dan pelayanan seperti yang dicontohkan oleh Paulus sendiri. Dengan
demikian belajar filsafat adalah sesuatu yang bernilai untuk dilakukan
oleh orang Kristen.

B. PENGERTIAN FILSAFAT
Secara bahasa (etimologi):
filsafat adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni
philosophia (philosophos). Philo berarti cinta, sedang sophia atau
sophos berarti pengetahuan atau kebijaksanaan (K. Bartens). Maka arti
filsafat adalah cinta pengetahuan dan kebijaksanaan. Dengan demikian,
seorang filsuf adalah pencinta atau pencari kebijaksanaan. Kata
filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM), kemudian
diperjelas dan dipopulerkan oleh Socrates dan Plato serta para filsuf
lainnya.

Secara terminologi
Secara terminologi adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat.
Karena batasan dari filsafat itu banyak maka sebagai gambaran maka
perlu diperkenalkan beberapa batasan:
a. Plato: plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang
mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli.
b. Aristoteles: menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu
(pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan
estetika (filsafat keindahan).
c. Rene Descartes: berpendapat bahwa filsafat adalah kumpulan semua
pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok
penyelidikan.
d. Immanuel Kant: berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan)
yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang didalamnya tercakup
masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan
apa yang dapat kita ketahui.
filsafat tidak berarti berfikir serampangan tetapi filsafat memiliki
ciri khas tersendiri, yakni: rasional, mendasar, sistematis, radikal,
universal (Prof. Dr. H. Sirajuddin, MA.), spekulatif (Jujun
S.Suriasumantri), juga deduktif. Deduktif di sini berarti berlawanan
dengan induktif yang merupakan ciri khas dari science modern. Sedang
objek bahasan filsafat adalah meliputi: ontologi, epistemologi dan
aksiology. Tentu dengan karakter yang demikian, filsafat adalah
sebentuk disiplin pengetahuan yang khas dan spesifik.
Dalam bukunya Elements of Philosophy, Kattsoff (1963) berpendapat bahwa:
• Filsafat adalah berpikir secara kritis.
• Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
• Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
• Filsafat adalah berpikir secara rasional.
• Filsafat harus bersifat komprehensif.

Filsafat merupakan latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur
bobot dari segala macam pandangan yang ditawarkan kepada kita dari
pelbagai penjuru.

C. FAKTOR PENDORONG LAHIRNYA FILSAFAT
Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk "berfilsafat", sebagai berikut:
a. Keheranan
Banyak filsuf menunjukkan rasa heran (dalam bahasa Yunani Thaumasia)
sebagai asal filsafat. Plato misalnya mengatakan: "mata kita memberi
pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini
memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari penyelidikan ini berasal
filsafat.
b. Kesangsian
Filsuf-filsuf lainnya seperti Agustinus (254-430 SM) dan Rene
Descartes (1596-1650 SM) menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama
pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia
tidak ditipu oleh panca indranya kalau ia heran? Apakah kita tidak
hanya melihat yag ingin kita lihat? Di mana dapat ditemukan kepastian?
Karena dunia ini penuh dengan berbagai pendapat, keyakinan, dan
interpretasi.
c. Kesadaran akan keterbatasan
Manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya itu sangat
kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam sekitarnya.
Manusia merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada
waktu mengalami penderitaan atau kegagalan. Dengan kesadaran akan
keterbatasan dirinya ini manusia mulai berfilsafat. Ia mulai
memikirkan bahwa di luar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang
tidak terbatas.

Dalam kajian sejarahnya, filsafat terutama filsafat Barat muncul di
Yunani sejak ± abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang mulai
berpikir-pikir dan berdiskusi tentang keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada
agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Filsafat pada masa ini lebih menyiratkan sebagai filsafat kealaman,
yakni filsafat yang berpusat pada soal-soal alam (kosmosentris).

Orang Yunani pertama yang diberi gelar filosof adalah Thales dari
Mileta, pesisir barat Turki. Akan tetapi, para filosof Yunani terbesar
tentu saja Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru dari
Plato, dan Aristoteles adalah murid dari Plato.

D. FUNGSI DAN KEGUNAAN FILSAFAT
Tiga peranan/fungsi utama filsafat dalam sejarah pemikiran manusia,
sebagai berikut:
a. Pendobrak
Berabad-abad lamanya intelektualitas manusia tertawan dalam penjara
tradisi dan kebiasaan. Manusia terpenjara dalam alam mistik yang penuh
dengan hal-hal yang serba rahasia yang terungkap lewat berbagai mitos
dan mite. Manusia menerima begitu saja segala peratuan dongeng dan
takhayul tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Mereka berpendapat bahwa
segala dongeng dan tahayul merupakan bagian yang hakiki dari warisan
tradisi nenek moyang, sedangkan tradisi itu benar dan tidak dapat
diganggu gugat, maka dongeng dan tahayul itu pasti benar dan tidak
boleh diganggu gugat.
Orang-orang Yunani juga pernah percaya kepada dewa-dewi. Mereka
percaya kepada dewa-dewi yang saling menipu satu sama lain, licik,
sering memberontak dan kadang kala seperti anak-anak nakal. Keadaan
tersebut berlangsung cukup lama. Kehadiran filsafat telah mendobrak
pintu dan tembok-tembok tradisi yang begitu sakral yang selama ini
tidak boleh diganggu gugat. Walaupun pendobrakan itu memakan waktu
yang cukup panjang. Sejarah telah membuktikan bahwa filsafat
benar-benar telah berperan sebagai pendobrak.

b. Pembebas
Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohannya.
Filsafat membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir mistis dan
mitis. Filsafat telah, sedang, dan akan terus berupaya membebaskan
manusia dari kurangnya pengetahuan yang menyebabkan manusia menjadi
picik dan dangkal. Filsafat pun membebaskan manusia dari cara berpikir
yang tidak teratur dan tidak jernih. Filsafat juga membebaskan manusia
dari cara berpikir tidak kritis yang membuat manusia mudah menerima
kebenaran semu yang menyesatkan. Secara ringkas filsafat membebaskan
manusia dari segala jenis "penjara" yang mempersempit ruang gerak akal
budi manusia.

c. Pembimbing
Dalam membebaskan manusia dari "penjara", sebenarnya filsafat hanya
berfungsi atau melakukan perannya sebagai pembimbing. Filsafat
membebaskan manusia dari cara berpikir yang mistis dan mitis dengan
membimbing manusia untuk berpikir secara rasional. Filsafat
membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dengan
membimbing manusia untuk berpikir secara luas dan lebih mendalam,
yakni berpikir secara universal sambil berupaya mencapai radix
(mendalam) dan menemukan esensi suatu permasalahan. Filsafat
membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak
jernih dengan membimbing manusia untuk berpikir secara sistematis dan
logis. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak utuh
dan begitu fragmentaris dengan membimbing manusia untuk bepikir secara
integral dan koheren.

Kegunaan lain Filsafat:
Dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam
wewenang metode-metode ilmu khusus. Filsafat membantu untuk mendalami
pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan ruang lingkupnya.
Kegunaan filsafat dapat dibagi menjadi dua yaitu kegunaan secara umum
dan secara khusus.
1. Kegunaan secara umum dimaksudkan manfaat yang dapat diambil oleh
orang yang belajar filsafat dengan mendalam sehingga mampu memecahkan
masalah-masalah secara kritis tentang segala sesuatu.
2. Kegunaan secara khusus dimaksudkan manfaat khusus yang dapat
diambil untuk memecahkan khususnya suatu objek di Indonesia. Jadi,
khusus diartikan terikat oleh ruang dan waktu, sedangkan umum tidak
terikat ruang dan waktu.

E. SISTEMATIKA FILSAFAT
1. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada.
Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang
objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta
bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa
berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu
perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal,
yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi
segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan
suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara
benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan
individu-individu. Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan
yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu
adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir
dari yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme)
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa
hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide
yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat
bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari
dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap
skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin
pula tidak.

2. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu
datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang
lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu
tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan
moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral
menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori
moral. Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), di mana pengetahuan manusia
diperoleh dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan
manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang
kerja akal. Jadi akal berada di atas pengalaman inderawi dan
menekankan pada metode deduktif.
3. Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil
titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen,
yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas
pengetahuan.
4. Intuisionisme.
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi
pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang
dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.

3. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan
kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori
nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut
etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan
atau estetika.
1. Etik
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal
dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata
mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia
istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika
adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika
adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat
lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang
sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal
itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu
perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah
Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan
kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa
baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri,
dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai
norma-norma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik
jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung dari pada ruginya, di
mana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia.
Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme
(utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 –
1832), yang kemudian diperbaiki oleh John Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of
beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani)
yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan
indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis
terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indah atau tidak indah.

Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul
persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu,
keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan,
peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan
dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik
terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan,
kepatutan, dan hukum.

Berdasarkan persoalan filsafat yang utama yaitu persoalan tentang
keberadaan, persoalan tentang pengetahuan, persoalan tentang
nilai-nilai, maka cabang filsafat adalah sebagai berikut:
1. Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Persoalan
keberadaan atau eksistensi bersangkutan dengan cabang filsafat, yaitu
metafisika.
2. Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth).
Pengetahuan ditinjau dari segi isinya bersangkutan dengan cabang
filsafat, yaitu epistemologi. Adapun kebenaran ditinjau dari segi
bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat, yaitu logika.
3. Persoalan nilai-nilai (value). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua,
nilai kebaikan tingkah laku dan nilai keindahan. Nilai kebaikan
tingkah laku bersangkutan dengan cabang filsafat yaitu etika. Nilai
keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat, yaitu estetika.
Selengkapnya download di sini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seseorang di segani dan di hormati bukan karena apa yang di perolehnya, Melainkan apa yang telah di berikannya. Tak berhasil bukan karena gagal tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan hanya orang gagal yang merasa dirinya selalu berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan

BERITA TERKINI

« »
« »
« »
Get this widget

My Blog List

Komentar