Cara kita memikirkan tugas sangatlah memengaruhi cara yang kita
gunakan untuk menyelesaikannya. Dalam bukunya, "Planning Strategies
for World Evangelization", Edward R. Dayton dan David A. Fraser
menulis sepuluh langkah yang dapat dijadikan pedoman dalam
melaksanakan perencanaan strategi penginjilan. Kesepuluh langkah itu
ialah: (1) tentukan misi yang akan dilakukan; (2) tentukan
orang-orang yang akan dijadikan sasaran; (3) tentukan tenaga yang
akan dipakai untuk penginjilan; (4) telitilah sarana dan metode
penginjilan yang akan digunakan; (5) tetapkan pendekatan yang akan
dipakai; (6) perhitungkan hasil-hasil yang diharapkan; (7) lakukan
pembagian tugas; (8) buatlah rencana; (9) bertindaklah; dan (10)
adakan evaluasi.
Perhatikan, langkah pertama adalah menentukan misi yang akan
dilakukan. Di antara para penginjil dan misionaris maupun pekerja
Kristen, terdapat banyak orang yang aktif. Mereka ingin langsung
menggunakan langkah Dayton dan Fraser yang ke-9. Sikap seperti ini
patut dihargai. Tanpa para aktivis yang bersemangat dan kurang sabar
seperti mereka itu, pekerjaan Tuhan tidak akan pernah terselesaikan.
Tetapi segala sesuatu yang kita kerjakan haruslah kita pikirkan
terlebih dahulu, berpikir dan bekerja merupakan dua hal yang tidak
boleh dipisah-pisahkan.
Bahkan para pemain sepakbola yang sangat aktif pun memikirkan lebih
dahulu strategi yang akan mereka pakai sebelum mereka terjun ke
lapangan untuk bertanding. Membuat rencana permainan terlebih dahulu
tidak akan mengurangi semangat dan kegiatan mereka dalam
pertandingan, tetapi menjadikannya lebih terkontrol. Prinsip yang
sama juga berlaku untuk perkembangan gereja. Karena itulah kita
perlu benar-benar memahami maksud dari misi yang akan kita lakukan.
Hal itu merupakan bagian yang penting dari perencanaan strategi
perkembangan gereja.
Kerajaan Allah dan Misi
Seperti halnya dengan orang-orang injili lainnya, kita harus
memercayai bahwa Kerajaan Allah merupakan suatu janji yang akan
digenapi di masa yang akan datang bersamaan dengan kedatangan Tuhan
untuk kedua kalinya. Akan tetapi, selama 20 tahun belakangan ini,
sudah terjadi perubahan dalam pandangan orang-orang injili. Berbeda
dengan masa-masa yang lalu, kini Kerajaan Allah itu tidak saja
dipandang sebagai suatu janji untuk masa yang akan datang, melainkan
juga sebagai suatu realitas di masa sekarang ini. Pandangan ini
sudah semakin menonjol.
Yesus mengajarkan bahwa konsep waktu dapat dibagi menjadi "waktu di
dunia ini" dan "waktu di dunia yang akan datang" (Matius 12:32).
Rasul Paulus menyatakan bahwa Yesus jauh lebih tinggi dari segala
pemerintah dan penguasa "bukan hanya di dunia ini saja, melainkan
juga di dunia yang akan datang" (Efesus 1:21). Kedua masa itu
dipisahkan oleh kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Pada saat Yesus
datang kembali dan mengantar dunia masuk ke masa yang akan datang,
pada saat itulah Kerajaan Allah datang dalam kesempurnaannya. Langit
akan lenyap, unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi
dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2 Petrus 3:10).
Yerusalem Baru akan didirikan, Allah akan memerintah dengan
berkuasa, dan semua orang yang ada di Yerusalem Baru akan
mengakui-Nya sebagai Raja dan akan mematuhi-Nya. Inilah realitas
yang akan datang dari Kerajaan Allah itu.
Tetapi kita tidak perlu menunggu sampai kedatangan Kristus yang
kedua kalinya untuk dapat merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah dinyatakan dalam dunia ini ketika Yesus datang untuk
pertama kalinya. Yohanes Pembaptis telah memberitakan di Padang
Gurun Yudea, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat" (Matius
3:2). Dengan pemberitaannya itu, Yohanes Pembaptis sedang menyiapkan
jalan untuk Tuhan. Juga ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, berita
yang disampaikannya adalah: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah
dekat" (Matius 4:17). Ketika Yesus mengutus dua belas rasul dan
kemudian tujuh puluh orang murid-Nya, Ia menyuruh mereka untuk
memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Kitab Kisah Para
Rasul menjelaskan bagaimana para rasul memberitakan Kerajaan Allah
tersebut. Beberapa surat kiriman menyebutkan tentang Kerajaan Allah.
Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Kolose bahwa Allah "telah
melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam
Kerajaan Anak-Nya yang kekasih" (Kolose 1:13).
Tidak seperti di Yerusalem Baru, di masa sekarang ini "kuasa
kegelapan" -- demikian Paulus menyebutnya -- dan Kerajaan Allah
sama-sama ada di dunia. Hal inilah yang menyebabkan misi itu
diperlukan. Allah mengutus kita untuk melakukan misi kristiani ini.
Ia mengutus kita sebagai duta-duta Kerajaan-Nya pada dunia yang
masih berada di bawah kuasa si jahat. Sebagai akibatnya, terjadi
pertentangan antara Iblis dan semua pasukannya melawan Allah dan
segala pasukan-Nya. Ini merupakan ciri penentu dari misi. Yesus
berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah,
maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Matius
12:28). George Ladd mengatakan bahwa hal ini merupakan "teologi
pokok Kerajaan Allah".
Pada jalan yang menuju ke Damsyik, Rasul Paulus dipanggil Yesus
untuk melayani orang-orang bukan Yahudi. Pekerjaan yang akan
dilakukannya setelah menerima panggilan itu digambarkan sebagai
suatu serangan terhadap kerajaan yang dikuasai oleh Iblis. Rasul
Paulus diutus "untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik
dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah"
(Kisah Para Rasul 26:18). Iblis adalah "ilah zaman ini" (2 Korintus
4:4). Kekuasaannya ditunjukkan pada saat Yesus menghadapi pencobaan.
Iblis memperlihatkan semua kerajaan dunia kepada Yesus dan berkata
kepada-Nya, "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud
menyembah aku" (Matius 4:9). Iblis hanya dapat melakukan hal itu
jika semua kerajaan dunia itu adalah miliknya. Iblis sendiri
mengatakan bahwa semuanya itu adalah miliknya, "Semuanya itu telah
diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang
kukehendaki" (Lukas 4:6). Rasul Yohanes juga menguatkan hal ini
dengan mengatakan bahwa "seluruh dunia berada di bawah kuasa si
jahat" (1 Yohanes 5:19).
Inti Amanat Agung Yesus adalah untuk menjadikan semua bangsa
murid-Nya. Dipandang dari pengertian tentang Kerajaan Allah, semakin
bertambahnya orang-orang yang menjadi murid Yesus Kristus, berarti
semakin berkurangnya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan
setan. Karena itulah Iblis, musuh jiwa kita, dengan keras berusaha
menentang usaha-usaha penjangkauan jiwa, penginjilan, maupun
perkembangan gereja. Rasul Paulus mengatakan bahwa penolakan
terhadap Injil itu disebabkan secara langsung oleh ulah Iblis, "Jika
Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup
untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak
percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini,
sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan
Kristus, yang adalah gambaran Allah" (2 Korintus 4:3-4). Dalam
konteks Kerajaan Allah, misi merupakan suatu usaha yang penuh risiko
dalam peperangan rohani.
Misi Memerlukan Pelayanan yang Holistik
Yesus mengajarkan kita untuk berdoa, "Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah
kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Matius 6:10). Hal ini berarti
kita sebagai wakil-wakil Tuhan di dunia, harus mencerminkan
nilai-nilai kerajaan-Nya dalam kehidupan maupun dalam pelayanan
kita. Hal ini tidaklah berarti bahwa kita sendiri yang akan
mendatangkan Kerajaan yang akan datang atau Yerusalem Baru ke dunia
melalui usaha kita. Hanya Allah yang dapat melakukannya melalui
intervensi adikodrati. Yerusalem Baru hanya akan datang setelah
Iblis dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang untuk
selama-lamanya (Wahyu 20:10). Sementara itu, kita yang benar-benar
menjadi warga negara Kerajaan Allah, masih harus tinggal di dalam
dunia yang dikuasai oleh si jahat.
Ada beberapa sifat dari Kerajaan Allah yang akan datang, yang harus
nampak dalam kehidupan kita maupun gereja-gereja sekarang ini.
Antara lain, tak seorang pun di Yerusalem Baru itu yang terhilang,
"Mereka akan menjadi umat-Nya" (Wahyu 21:3). Selanjutnya, "Ia akan
menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada
lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis atau
dukacita" (Wahyu 21:4). Kejahatan yang kita lihat di dunia ini, yang
dinyatakan dalam sakit penyakit, kemiskinan, penindasan, pemerasan,
kerasukan setan, perbuatan dursila, maupun pembunuhan, akan
diperangi secara gigih di dalam nama Yesus.
Ketika Yesus mengutus kedua belas murid-Nya, Ia menyuruh mereka
mengerjakan hal-hal yang telah dilakukan-Nya. "Pergilah dan
beritakanlah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Sembuhkanlah orang
sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah
setan-setan" (Matius 10:7-8). Inilah yang dimaksudkan dengan
pelayanan yang holistik. Pelayanan ini bertujuan untuk mendatangkan
kebaikan bagi manusia seutuhnya. Pelayanan ini tidak hanya berusaha
menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai
merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka
sekarang ini, karena kita diutus Allah untuk melakukan hal-hal
tersebut, maka inilah maksud misi yang sebenarnya.
Dua Amanat
Jika kita meneliti misi holistik itu dengan lebih saksama, akan
nampaklah bahwa pelayanan ini terdiri dari dua amanat: amanat budaya
dan amanat penginjilan. (Kedua istilah ini diperkenalkan oleh Arthur
Glasser.)
Amanat Budaya
Amanat budaya dalam pelayanan, yang oleh sebagian orang disebut
sebagai tanggung jawab sosial orang Kristen, bermula di Taman Eden.
Setelah Allah menciptakan Adam dan Hawa, Ia berfirman kepada mereka,
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di
bumi" (Kejadian 1:28). Sebagai umat manusia yang diciptakan menurut
gambar Allah, kita bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
kesejahteraan ciptaan Allah.
Dalam Perjanjian Baru dijelaskan bahwa kita harus mengasihi sesama
manusia seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pengertian tentang
sesama manusia, seperti yang diajarkan dalam perumpamaan tentang
orang Samaria yang baik hati, tidak terbatas hanya pada orang-orang
sesuku atau sekelompok budaya atau pun seagama, melainkan semua
orang. Berbuat baik kepada orang lain, baik kepada seseorang atau
pun kepada masyarakat secara keseluruhan, adalah suatu kewajiban
yang sesuai dengan ajaran Alkitab dan merupakan amanat budaya yang
diberikan Allah kepada kita.
Amanat Penginjilan
Amanat penginjilan juga bermula di Taman Eden. Selama beberapa
waktu, setiap kali Allah pergi ke Taman Eden, Adam dan Hawa telah
menunggu kedatangan-Nya, dan mereka memunyai persekutuan yang indah
dengan Tuhan. Tetapi dosa telah merusak keadaan itu. Di Taman Eden
inilah Iblis memperoleh kemenangannya yang cukup berarti untuk
pertama kalinya. Kali berikutnya Allah pergi ke taman itu, Ia tidak
lagi menjumpai Adam dan Hawa. Persekutuan itu telah putus. Dosa
telah memisahkan umat manusia dari Allah. Menghadapi keadaan itu,
Allah menampakkan sifat-Nya melalui kata-kata-Nya kepada Adam yang
berupa sebuah pertanyaan, "Di manakah engkau?" (Kejadian 3:9). Ia
segera mulai mencari Adam.
Amanat penginjilan itu menampakkan keinginan Allah untuk bersekutu
dengan manusia. Itu berisi suatu perintah untuk mencari dan
mendapatkan kembali orang-orang yang terhilang, yang dipisahkan dari
Allah oleh dosa. Roma 10 menjelaskan kepada kita bahwa barangsiapa
yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan. Tetapi mereka
tidak akan dapat berseru kepada-Nya jika mereka tidak percaya
kepada-Nya dan mereka tidak dapat percaya kepada-Nya jika mereka
tidak pernah mendengar tentang Dia. Dan mereka tidak dapat mendengar
tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan-Nya. "Betapa indahnya
kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" (Roma 10:15). Membawa
berita Injil yang dapat memindahkan orang-orang dari kegelapan
kepada terang berarti telah melaksanakan amanat penginjilan itu.
Inilah yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengutus murid-murid-Nya
untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya" (Matius 28:19). Inilah
Amanat Agung.
Satu Misi, Dua Bagian
Baik pelayanan sosial Kristen maupun pemberita Injil merupakan
bagian-bagian yang penting dari misi alkitabiah. Istilah "amanat"
menunjukkan bahwa kedua hal itu merupakan perintah-perintah yang
harus dilakukan. Di kalangan injili telah tumbuh suatu kesepakatan
bersama mengenai hal ini.
Timbulnya kesepakatan ini belum lama. Sebelum dasawarsa 1960-an,
sebagian besar dari aliran injili menyamakan misi dengan amanat
penginjilan. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan sosial atau material. Mereka selalu berusaha
untuk memenuhi kebutuhan sosial orang-orang yang mereka layani. Akan
tetapi, meskipun kegiatan ini dianggap sebagai suatu sarana dalam
melakukan penginjilan atau sebagai buah keselamatan, ia tidak
dianggap sebagai bagian dari misi itu sendiri.
Pada Kongres Internasional di Berlin tentang Perkabaran Injil
(Berlin World Congress on Evangelism) yang diadakan pada tahun 1966
dan disponsori oleh Asosiasi Penginjilan Billy Graham (Billy Graham
Evangelistic Association) dan majalah Christianity Today, amanat
budaya itu tidak disebut-sebut sama sekali. Dalam kongres itu, John
R.W. Stott -- yang dikenal luas sebagai jurubicara utama dari
kalangan injili -- mengatakan, "Tugas gereja bukanlah untuk
memperbaiki masyarakat, melainkan untuk memberitakan Injil." Dalam
analisanya tentang kecenderungan-kecenderungan yang ada, Arthur
Johnson menyimpulkan bahwa Kongres Berlin itu "berpegang teguh pada
keyakinan bahwa misi gereja adalah pemberitaan Injil".
Seorang tokoh injili yang pertama-tama menekankan pentingnya amanat
budaya di hadapan umum adalah Horace Fenton dari "Latin America
Mission". Pada Kongres Wheaton tentang Misi Gereja di Seluruh Dunia
yang juga diadakan pada tahun 1966, Horace Fenton -- dalam
ceramahnya yang berjudul "Misi dan Permasalahan Sosial" berpendapat
bahwa dalam mendefinisikan misi gereja, pemisahan kedua amanat itu
tidaklah sesuai dengan Alkitab. (Catatan: Fenton sendiri sebenarnya
tidak menggunakan istilah amanat budaya dan amanat penginjilan.)
Fenton termasuk di antara orang-orang pertama yang menyadari bahwa
amanat budaya itu merupakan bagian yang tak terpisahkan -- dari misi
itu sendiri. Tetapi kemudian para penginjil lainnya mulai mengikuti
jejaknya ketika diadakan Kongres Internasional tentang Penginjilan
Dunia yang berlangsung tahun 1974 di Lausanne, Swiss. Dalam Kongres
Lausanne tersebut, amanat budaya itu memperoleh cukup banyak
perhatian dalam sidang-sidang pleno. Pada saat itu John Stott
sendiri telah mengubah pandangannya, serta mengetahui bahwa dalam
misi terkandung amanat penginjilan maupun amanat budaya. Kongres
Lausanne itu menghasilkan Ikrar Lausanne yang memuat suatu
pernyataan yang tegas tentang amanat budaya dalam pasalnya yang
ke-5, dan tentang amanat penginjilan dalam pasalnya yang ke-4 dan
ke-6.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Strategi Perkembangan Gereja
Judul asli buku: Strategies for Church Growth
Penulis: C. Peter Wagner
Penerjemah: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang 1996
Halaman: 81 -- 87
gunakan untuk menyelesaikannya. Dalam bukunya, "Planning Strategies
for World Evangelization", Edward R. Dayton dan David A. Fraser
menulis sepuluh langkah yang dapat dijadikan pedoman dalam
melaksanakan perencanaan strategi penginjilan. Kesepuluh langkah itu
ialah: (1) tentukan misi yang akan dilakukan; (2) tentukan
orang-orang yang akan dijadikan sasaran; (3) tentukan tenaga yang
akan dipakai untuk penginjilan; (4) telitilah sarana dan metode
penginjilan yang akan digunakan; (5) tetapkan pendekatan yang akan
dipakai; (6) perhitungkan hasil-hasil yang diharapkan; (7) lakukan
pembagian tugas; (8) buatlah rencana; (9) bertindaklah; dan (10)
adakan evaluasi.
Perhatikan, langkah pertama adalah menentukan misi yang akan
dilakukan. Di antara para penginjil dan misionaris maupun pekerja
Kristen, terdapat banyak orang yang aktif. Mereka ingin langsung
menggunakan langkah Dayton dan Fraser yang ke-9. Sikap seperti ini
patut dihargai. Tanpa para aktivis yang bersemangat dan kurang sabar
seperti mereka itu, pekerjaan Tuhan tidak akan pernah terselesaikan.
Tetapi segala sesuatu yang kita kerjakan haruslah kita pikirkan
terlebih dahulu, berpikir dan bekerja merupakan dua hal yang tidak
boleh dipisah-pisahkan.
Bahkan para pemain sepakbola yang sangat aktif pun memikirkan lebih
dahulu strategi yang akan mereka pakai sebelum mereka terjun ke
lapangan untuk bertanding. Membuat rencana permainan terlebih dahulu
tidak akan mengurangi semangat dan kegiatan mereka dalam
pertandingan, tetapi menjadikannya lebih terkontrol. Prinsip yang
sama juga berlaku untuk perkembangan gereja. Karena itulah kita
perlu benar-benar memahami maksud dari misi yang akan kita lakukan.
Hal itu merupakan bagian yang penting dari perencanaan strategi
perkembangan gereja.
Kerajaan Allah dan Misi
Seperti halnya dengan orang-orang injili lainnya, kita harus
memercayai bahwa Kerajaan Allah merupakan suatu janji yang akan
digenapi di masa yang akan datang bersamaan dengan kedatangan Tuhan
untuk kedua kalinya. Akan tetapi, selama 20 tahun belakangan ini,
sudah terjadi perubahan dalam pandangan orang-orang injili. Berbeda
dengan masa-masa yang lalu, kini Kerajaan Allah itu tidak saja
dipandang sebagai suatu janji untuk masa yang akan datang, melainkan
juga sebagai suatu realitas di masa sekarang ini. Pandangan ini
sudah semakin menonjol.
Yesus mengajarkan bahwa konsep waktu dapat dibagi menjadi "waktu di
dunia ini" dan "waktu di dunia yang akan datang" (Matius 12:32).
Rasul Paulus menyatakan bahwa Yesus jauh lebih tinggi dari segala
pemerintah dan penguasa "bukan hanya di dunia ini saja, melainkan
juga di dunia yang akan datang" (Efesus 1:21). Kedua masa itu
dipisahkan oleh kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Pada saat Yesus
datang kembali dan mengantar dunia masuk ke masa yang akan datang,
pada saat itulah Kerajaan Allah datang dalam kesempurnaannya. Langit
akan lenyap, unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi
dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2 Petrus 3:10).
Yerusalem Baru akan didirikan, Allah akan memerintah dengan
berkuasa, dan semua orang yang ada di Yerusalem Baru akan
mengakui-Nya sebagai Raja dan akan mematuhi-Nya. Inilah realitas
yang akan datang dari Kerajaan Allah itu.
Tetapi kita tidak perlu menunggu sampai kedatangan Kristus yang
kedua kalinya untuk dapat merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah dinyatakan dalam dunia ini ketika Yesus datang untuk
pertama kalinya. Yohanes Pembaptis telah memberitakan di Padang
Gurun Yudea, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat" (Matius
3:2). Dengan pemberitaannya itu, Yohanes Pembaptis sedang menyiapkan
jalan untuk Tuhan. Juga ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, berita
yang disampaikannya adalah: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah
dekat" (Matius 4:17). Ketika Yesus mengutus dua belas rasul dan
kemudian tujuh puluh orang murid-Nya, Ia menyuruh mereka untuk
memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Kitab Kisah Para
Rasul menjelaskan bagaimana para rasul memberitakan Kerajaan Allah
tersebut. Beberapa surat kiriman menyebutkan tentang Kerajaan Allah.
Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Kolose bahwa Allah "telah
melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam
Kerajaan Anak-Nya yang kekasih" (Kolose 1:13).
Tidak seperti di Yerusalem Baru, di masa sekarang ini "kuasa
kegelapan" -- demikian Paulus menyebutnya -- dan Kerajaan Allah
sama-sama ada di dunia. Hal inilah yang menyebabkan misi itu
diperlukan. Allah mengutus kita untuk melakukan misi kristiani ini.
Ia mengutus kita sebagai duta-duta Kerajaan-Nya pada dunia yang
masih berada di bawah kuasa si jahat. Sebagai akibatnya, terjadi
pertentangan antara Iblis dan semua pasukannya melawan Allah dan
segala pasukan-Nya. Ini merupakan ciri penentu dari misi. Yesus
berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah,
maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Matius
12:28). George Ladd mengatakan bahwa hal ini merupakan "teologi
pokok Kerajaan Allah".
Pada jalan yang menuju ke Damsyik, Rasul Paulus dipanggil Yesus
untuk melayani orang-orang bukan Yahudi. Pekerjaan yang akan
dilakukannya setelah menerima panggilan itu digambarkan sebagai
suatu serangan terhadap kerajaan yang dikuasai oleh Iblis. Rasul
Paulus diutus "untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik
dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah"
(Kisah Para Rasul 26:18). Iblis adalah "ilah zaman ini" (2 Korintus
4:4). Kekuasaannya ditunjukkan pada saat Yesus menghadapi pencobaan.
Iblis memperlihatkan semua kerajaan dunia kepada Yesus dan berkata
kepada-Nya, "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud
menyembah aku" (Matius 4:9). Iblis hanya dapat melakukan hal itu
jika semua kerajaan dunia itu adalah miliknya. Iblis sendiri
mengatakan bahwa semuanya itu adalah miliknya, "Semuanya itu telah
diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang
kukehendaki" (Lukas 4:6). Rasul Yohanes juga menguatkan hal ini
dengan mengatakan bahwa "seluruh dunia berada di bawah kuasa si
jahat" (1 Yohanes 5:19).
Inti Amanat Agung Yesus adalah untuk menjadikan semua bangsa
murid-Nya. Dipandang dari pengertian tentang Kerajaan Allah, semakin
bertambahnya orang-orang yang menjadi murid Yesus Kristus, berarti
semakin berkurangnya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan
setan. Karena itulah Iblis, musuh jiwa kita, dengan keras berusaha
menentang usaha-usaha penjangkauan jiwa, penginjilan, maupun
perkembangan gereja. Rasul Paulus mengatakan bahwa penolakan
terhadap Injil itu disebabkan secara langsung oleh ulah Iblis, "Jika
Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup
untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak
percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini,
sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan
Kristus, yang adalah gambaran Allah" (2 Korintus 4:3-4). Dalam
konteks Kerajaan Allah, misi merupakan suatu usaha yang penuh risiko
dalam peperangan rohani.
Misi Memerlukan Pelayanan yang Holistik
Yesus mengajarkan kita untuk berdoa, "Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah
kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Matius 6:10). Hal ini berarti
kita sebagai wakil-wakil Tuhan di dunia, harus mencerminkan
nilai-nilai kerajaan-Nya dalam kehidupan maupun dalam pelayanan
kita. Hal ini tidaklah berarti bahwa kita sendiri yang akan
mendatangkan Kerajaan yang akan datang atau Yerusalem Baru ke dunia
melalui usaha kita. Hanya Allah yang dapat melakukannya melalui
intervensi adikodrati. Yerusalem Baru hanya akan datang setelah
Iblis dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang untuk
selama-lamanya (Wahyu 20:10). Sementara itu, kita yang benar-benar
menjadi warga negara Kerajaan Allah, masih harus tinggal di dalam
dunia yang dikuasai oleh si jahat.
Ada beberapa sifat dari Kerajaan Allah yang akan datang, yang harus
nampak dalam kehidupan kita maupun gereja-gereja sekarang ini.
Antara lain, tak seorang pun di Yerusalem Baru itu yang terhilang,
"Mereka akan menjadi umat-Nya" (Wahyu 21:3). Selanjutnya, "Ia akan
menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada
lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis atau
dukacita" (Wahyu 21:4). Kejahatan yang kita lihat di dunia ini, yang
dinyatakan dalam sakit penyakit, kemiskinan, penindasan, pemerasan,
kerasukan setan, perbuatan dursila, maupun pembunuhan, akan
diperangi secara gigih di dalam nama Yesus.
Ketika Yesus mengutus kedua belas murid-Nya, Ia menyuruh mereka
mengerjakan hal-hal yang telah dilakukan-Nya. "Pergilah dan
beritakanlah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Sembuhkanlah orang
sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah
setan-setan" (Matius 10:7-8). Inilah yang dimaksudkan dengan
pelayanan yang holistik. Pelayanan ini bertujuan untuk mendatangkan
kebaikan bagi manusia seutuhnya. Pelayanan ini tidak hanya berusaha
menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai
merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka
sekarang ini, karena kita diutus Allah untuk melakukan hal-hal
tersebut, maka inilah maksud misi yang sebenarnya.
Dua Amanat
Jika kita meneliti misi holistik itu dengan lebih saksama, akan
nampaklah bahwa pelayanan ini terdiri dari dua amanat: amanat budaya
dan amanat penginjilan. (Kedua istilah ini diperkenalkan oleh Arthur
Glasser.)
Amanat Budaya
Amanat budaya dalam pelayanan, yang oleh sebagian orang disebut
sebagai tanggung jawab sosial orang Kristen, bermula di Taman Eden.
Setelah Allah menciptakan Adam dan Hawa, Ia berfirman kepada mereka,
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di
bumi" (Kejadian 1:28). Sebagai umat manusia yang diciptakan menurut
gambar Allah, kita bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
kesejahteraan ciptaan Allah.
Dalam Perjanjian Baru dijelaskan bahwa kita harus mengasihi sesama
manusia seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pengertian tentang
sesama manusia, seperti yang diajarkan dalam perumpamaan tentang
orang Samaria yang baik hati, tidak terbatas hanya pada orang-orang
sesuku atau sekelompok budaya atau pun seagama, melainkan semua
orang. Berbuat baik kepada orang lain, baik kepada seseorang atau
pun kepada masyarakat secara keseluruhan, adalah suatu kewajiban
yang sesuai dengan ajaran Alkitab dan merupakan amanat budaya yang
diberikan Allah kepada kita.
Amanat Penginjilan
Amanat penginjilan juga bermula di Taman Eden. Selama beberapa
waktu, setiap kali Allah pergi ke Taman Eden, Adam dan Hawa telah
menunggu kedatangan-Nya, dan mereka memunyai persekutuan yang indah
dengan Tuhan. Tetapi dosa telah merusak keadaan itu. Di Taman Eden
inilah Iblis memperoleh kemenangannya yang cukup berarti untuk
pertama kalinya. Kali berikutnya Allah pergi ke taman itu, Ia tidak
lagi menjumpai Adam dan Hawa. Persekutuan itu telah putus. Dosa
telah memisahkan umat manusia dari Allah. Menghadapi keadaan itu,
Allah menampakkan sifat-Nya melalui kata-kata-Nya kepada Adam yang
berupa sebuah pertanyaan, "Di manakah engkau?" (Kejadian 3:9). Ia
segera mulai mencari Adam.
Amanat penginjilan itu menampakkan keinginan Allah untuk bersekutu
dengan manusia. Itu berisi suatu perintah untuk mencari dan
mendapatkan kembali orang-orang yang terhilang, yang dipisahkan dari
Allah oleh dosa. Roma 10 menjelaskan kepada kita bahwa barangsiapa
yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan. Tetapi mereka
tidak akan dapat berseru kepada-Nya jika mereka tidak percaya
kepada-Nya dan mereka tidak dapat percaya kepada-Nya jika mereka
tidak pernah mendengar tentang Dia. Dan mereka tidak dapat mendengar
tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan-Nya. "Betapa indahnya
kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" (Roma 10:15). Membawa
berita Injil yang dapat memindahkan orang-orang dari kegelapan
kepada terang berarti telah melaksanakan amanat penginjilan itu.
Inilah yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengutus murid-murid-Nya
untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya" (Matius 28:19). Inilah
Amanat Agung.
Satu Misi, Dua Bagian
Baik pelayanan sosial Kristen maupun pemberita Injil merupakan
bagian-bagian yang penting dari misi alkitabiah. Istilah "amanat"
menunjukkan bahwa kedua hal itu merupakan perintah-perintah yang
harus dilakukan. Di kalangan injili telah tumbuh suatu kesepakatan
bersama mengenai hal ini.
Timbulnya kesepakatan ini belum lama. Sebelum dasawarsa 1960-an,
sebagian besar dari aliran injili menyamakan misi dengan amanat
penginjilan. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan sosial atau material. Mereka selalu berusaha
untuk memenuhi kebutuhan sosial orang-orang yang mereka layani. Akan
tetapi, meskipun kegiatan ini dianggap sebagai suatu sarana dalam
melakukan penginjilan atau sebagai buah keselamatan, ia tidak
dianggap sebagai bagian dari misi itu sendiri.
Pada Kongres Internasional di Berlin tentang Perkabaran Injil
(Berlin World Congress on Evangelism) yang diadakan pada tahun 1966
dan disponsori oleh Asosiasi Penginjilan Billy Graham (Billy Graham
Evangelistic Association) dan majalah Christianity Today, amanat
budaya itu tidak disebut-sebut sama sekali. Dalam kongres itu, John
R.W. Stott -- yang dikenal luas sebagai jurubicara utama dari
kalangan injili -- mengatakan, "Tugas gereja bukanlah untuk
memperbaiki masyarakat, melainkan untuk memberitakan Injil." Dalam
analisanya tentang kecenderungan-kecenderungan yang ada, Arthur
Johnson menyimpulkan bahwa Kongres Berlin itu "berpegang teguh pada
keyakinan bahwa misi gereja adalah pemberitaan Injil".
Seorang tokoh injili yang pertama-tama menekankan pentingnya amanat
budaya di hadapan umum adalah Horace Fenton dari "Latin America
Mission". Pada Kongres Wheaton tentang Misi Gereja di Seluruh Dunia
yang juga diadakan pada tahun 1966, Horace Fenton -- dalam
ceramahnya yang berjudul "Misi dan Permasalahan Sosial" berpendapat
bahwa dalam mendefinisikan misi gereja, pemisahan kedua amanat itu
tidaklah sesuai dengan Alkitab. (Catatan: Fenton sendiri sebenarnya
tidak menggunakan istilah amanat budaya dan amanat penginjilan.)
Fenton termasuk di antara orang-orang pertama yang menyadari bahwa
amanat budaya itu merupakan bagian yang tak terpisahkan -- dari misi
itu sendiri. Tetapi kemudian para penginjil lainnya mulai mengikuti
jejaknya ketika diadakan Kongres Internasional tentang Penginjilan
Dunia yang berlangsung tahun 1974 di Lausanne, Swiss. Dalam Kongres
Lausanne tersebut, amanat budaya itu memperoleh cukup banyak
perhatian dalam sidang-sidang pleno. Pada saat itu John Stott
sendiri telah mengubah pandangannya, serta mengetahui bahwa dalam
misi terkandung amanat penginjilan maupun amanat budaya. Kongres
Lausanne itu menghasilkan Ikrar Lausanne yang memuat suatu
pernyataan yang tegas tentang amanat budaya dalam pasalnya yang
ke-5, dan tentang amanat penginjilan dalam pasalnya yang ke-4 dan
ke-6.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Strategi Perkembangan Gereja
Judul asli buku: Strategies for Church Growth
Penulis: C. Peter Wagner
Penerjemah: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang 1996
Halaman: 81 -- 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar