Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etis, dan keduanya itu
harus dibedakan dengan saksama. Relativisme etis berbicara tentang
pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam
pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya
berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan
prinsip tersebut, dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan
pengalaman seseorang.
Relativisme budaya mengizinkan anggota masyarakat untuk mengalami
hal-hal yang mutlak dan mengetahui makna hidup mereka sesungguhnya.
Masalah pencurian di Amerika Tengah yang multibudaya, misalnya,
setiap orang di sana mengerti suatu hal yang mutlak, "Tidak boleh
mencuri." Setiap orang di sana mengerti, mengiyakan, dan
mempraktikkan hal-hal yang mutlak dalam aturan dan norma masyarakat,
memenuhi tanggung jawabnya sebagai individu maupun anggota
masyarakat. Tak seorang pun melanggar apa yang sudah mutlak dalam
menyesuaikan diri dan hidup berdampingan dengan orang lain. Dengan
sendirinya, konflik norma terselesaikan dengan mudah melalui saling
pengertian. Penyelesaian konflik pun dijaga melalui pengadaptasian
yang arif oleh masyarakat. Kekacauan justru timbul dalam masyarakat
berbudaya tunggal karena adanya keterhubungan antara relativisme
budaya dan relativisme etis.
Kekacauan juga timbul akibat penggabungan absolutisme alkitabiah
dan absolutisme budaya. Banyak orang yang memiliki niat baik dalam
ranah budaya tunggal yang menganggap bahwa cara mereka bertindak
bukan hanya cara yang Tuhan kehendaki untuk mereka lakukan, tapi
juga untuk orang-orang dari budaya lain lakukan. Mereka merasa
tindakan mereka menyenangkan hati Tuhan. Jika tindakan mereka
ternyata tidak menyenangkan-Nya, mereka akan mengubahnya sehingga
apa yang mereka lakukan menyenangkan Tuhan. Jika pada faktanya ada
hal-hal alkitabiah yang mutlak, hal-hal itu harus diwujudkan dalam
pikiran, perkataan, dan tindakan orang Kristen. Oleh karena itu,
dalam pikiran mereka, absolutisme membentang dari kemutlakan Tuhan
sampai ekspresi manusia atas kemutlakan tersebut dalam ranah
budaya. Variasi lain dari pola pemikiran tersebut dalam nuansa
sosial budaya akan berujung pada pengabaian hal-hal yang mutlak.
Jadi absolutisme alkitabiah bercampur selamanya dengan absolutisme
budaya. Orang yang tidak mendukung absolutisme seperti itu pasti
dianggap sebagai relativis dan tidak percaya terhadap hal-hal yang
mutlak dalam hal apa pun.
Ada empat kombinasi dari kedua istilah itu. Alkitabiah/budaya dan
absolutisme/relativisme menghasilkan keempat kombinasi berikut:
1. Absolutisme alkitabiah dan absolutisme budaya.
2. Absolutisme alkitabiah dan relativisme budaya.
3. Relativisme alkitabiah dan absolutisme budaya.
4. Relativisme alkitabiah dan relativisme budaya.
Dilihat dari sejarah, kombinasi nomor tiga bukanlah kombinasi yang
diperhatikan oleh gereja. Jika seseorang tidak mengiyakan kombinasi
nomor satu, maka secara otomatis dapat diasumsikan bahwa ia
meninggalkan semua kemutlakan dan mendukung relativisme alkitabiah
dan relativisme budaya. Para profesional berpegang pada kombinasi
nomor empat, namun kesalahan itu bukan dikarenakan profesi mereka,
melainkan dikarenakan keprofesionalitasan mereka. Seorang
profesional yang tidak nyaman dengan relativisme alkitabiah dan
budaya tidak perlu berpegang pada kombinasi yang merupakan gabungan
dari relativisme. Dia bisa memilih kombinasi nomor dua dan membantu
anggota masyarakat suatu budaya mengenal Allah seutuhnya sebagai
anggota budaya tersebut tanpa harus menjadi misionaris.
Absolutisme Alkitabiah dan Relativisme Budaya
Pendekatan absolutisme alkitabiah dan relativisme budaya menegaskan
adanya gangguan supernatural yang melibatkan tindakan dan ajaran.
Bahkan seperti Kristus, melalui inkarnasi, menjadi daging dan
tinggal di antara kita, demikian juga ajaran atau kebenaran menjadi
terwujud dalam budaya. Bagaimana pun, seperti halnya firman membuat
daging tidak kehilangan keilahian-Nya, demikian juga ajaran tidak
kehilangan kebenarannya melalui perwujudannya dalam bentuk sosial
budaya manusia. Ajaran itu selalu menyeluruh dan utuh sebagai
kebenaran. Selama ekspresi sosial budaya didekati secara lintas
budaya, maka hal itu dapat dikatakan sebagai kebenaran juga. Saat
kebenaran dikawinkan dengan satu perwujudan budaya, potensi adanya
"kepalsuan" sangat besar. Yang lebih serius lagi, potensi adanya
kepalsuan dalam budaya yang memakukan kebenaran pada satu perwujudan
budaya, lebih besar, jika budaya tersebut sedang mengalami proses
perubahan.
Sekali lagi, tentang masalah pencurian dalam ranah lintas budaya,
perintah "tidak boleh mencuri" sebagai suatu moral yang mutlak dan
kebenaran yang dikomunikasikan dalam budaya, diwujudkan di Amerika
Utara. Perwujudan itu ada dalam budaya Suku Pocomchi Maya yang
diberlakukan sama-sama menyeluruh dan utuh dalam hal properti
pribadi dan umum.
Empat pertanyaan untuk memastikan keabsahan dari masyarakat yang
berbeda-beda.
Pertanyaan yang biasanya muncul adalah norma atau cara hidup mana
yang benar. Masalah itu diselesaikan dengan lebih dulu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lintas budaya seperti berikut ini.
1. Apakah norma itu?
2. Apakah norma tersebut dipatuhi?
3. Apakah norma itu memerlukan perubahan?
4. Siapakah yang bertanggung jawab untuk mengubah norma itu?
Rata-rata orang yang menjalani hidupnya berdasarkan normanya
sendiri, mendekati orang lain dari sudut pandang norma yang
dianutnya. Biasanya ia akan mengawali empat pertanyaan tersebut
dengan pertanyaan nomor tiga. Karena norma-norma yang dianut orang
lain dilihat dari sudut pandangnya sendiri, maka norma orang lain
perlu untuk berubah. Bila norma yang dianut orang lain tampaknya
perlu diubah, maka orang yang memutuskan perlunya ada perubahan itu
adalah orang yang bertanggung jawab untuk mengubahnya. Hal ini
mungkin terjadi dalam relasi orang tua dengan anaknya, seseorang
dengan pasangannya, seorang misionaris dengan negara tertentu, dan
seorang pendeta dengan jemaat. Proses perubahan norma orang lain
tersebut tergantung sepenuhnya kepada orang yang memutuskan bahwa
norma itu perlu berubah. Keterlibatan orang lain dalam keputusan
akhir, tidak diperlukan. Jadi orang tua mengambil keputusan untuk
anaknya, seorang pasangan mengambil keputusan untuk pasangannya,
dewan misionaris yang mengambil keputusan untuk negara, fakultas
yang mengambil keputusan untuk mahasiswa, pendeta yang mengambil
keputusan untuk jemaatnya. Dalam konteks Kristen, bila seseorang
yang membuat keputusan memerlukan dukungan, dia hanya boleh mencari
dukungan dari figur yang dengannya ia telah mengonsultasikan masalah
yang ada -- Roh Kudus. Dengan demikian, tak seorang pun dapat
mempertanyakan keputusan akhirnya.
Orang yang mendekati tindakan, pikiran, atau keyakinan orang lain
dari sudut pandang lintas budaya atau dwibudaya, akan memulainya
dengan pertanyaan nomor satu. Dia akan benar-benar berusaha memahami
sistem di mana tindakan, keyakinan, atau pikiran itu didasarkan dan
kemudian bertanya apakah masyarakat yang ada memenuhi norma yang
telah ditetapkan secara bertanggung jawab; artinya, dia akan
menanyakan pertanyaan nomor dua setelah memahami benar sistem norma
yang ada. Dia akan menyelidiki arti dari menjalani hidup berdasar
motivasi. Dia akan memerhatikan apakah yang menjadi hal paling
penting bagi seseorang -- tindakan yang bertanggung jawab atau
tindakan yang tak bertanggung jawab. Kemudian dia akan menuju pada
pertanyaan nomor tiga. Saat agen perubahan (orang yang mengubah)
menanyakan pertanyaan ini, dia akan melakukannya, bukan dalam bentuk
normanya sendiri, namun dalam bentuk norma orang lain. Hal ini
dengan serta merta akan melibatkan orang lain dalam proses
perubahan. Namun yang lebih penting, pendekatan yang seperti ini
akan membuka kemungkinan untuk norma sang agen perubahan juga turut
berubah. Saat norma dari kedua belah pihak berpeluang untuk berubah,
besar kemungkinan Roh Allah akan masuk dan menuntun salah satu atau
kedua pihak dalam proses perubahan. Dalam cara yang dinamis, tiga
oknum ini bertanggung jawab atas perubahan norma; Roh Allah, orang
yang normanya perlu berubah karena digerakkan oleh Roh, dan orang
yang mendukung. Jadi, hubungan timbal balik yang sejati berkembang,
membuka salah satu atau kedua-duanya kepada perubahan norma yang
efektif.
Saat agen perubahan yang telah terbuka untuk normanya sendiri atau
norma orang lain untuk berubah, terus melangkah, dia menemui adanya
kebutuhan baru untuk dipenuhi. Dia sekarang memerlukan sesuatu yang
lain dari hanya sekadar perubahan perilaku. Dia merasakan perlu
adanya beberapa tujuan, standar eksternal.
Injil-injil, dalam bentuk Alkitab, memberikan standar ini. Orang
pertama, juga dengan orang lain, yakni orang yang normanya
memerlukan perubahan dan yang mendukung perubahan itu, bekerja
bersama Injil dalam bahasa yang mereka berdua bisa pahami dan
meresponinya sebagai "firman Allah". Bagi orang-orang tertentu di
Amerika Utara, mereka hanya dan akan selalu meresponi Alkitab versi
King James. Bagi masyarakat Amerika Utara lainnya, mereka hanya dan
akan selalu meresponi Alkitab dalam versi beberapa bahasa
kontemporer, tergantung pada dialek bahasa Inggris mereka. Bagi
mereka yang beretnik dan berlatar belakang yang berbeda, Alkitab
yang mereka pakai adalah produk dari program terjemahan yang
dipimpin oleh perorangan, suatu masyarakat Alkitab, atau oleh
beberapa organisasi lain, seperti program penerjemahan Wycliffe
Bible Translators dan Tyndale Living Bible.
Dalam proses yang dinamis ini, tuntutan perubahan dari tantangan
lintas budaya dan dalam suatu masyarakat dalam suatu masa, dapat
teratasi dengan efektif.
Namun suatu masalah baru mungkin harus dihadapi oleh agen perubahan
saat proses itu dimulai dan saat proses perubahan yang kooperatif
dan timbal balik itu berlangsung. Bagaimana jika norma kedua belah
pihak tidak perlu berubah? Bagaimana jika sebuah norma berubah
perlahan dalam jangka waktu yang lama? Bagaimana jika norma dari
orang pertama berubah, namun norma pihak yang lain yang perlu
berubah, malah tetap? Mungkin ini adalah tantangan terbesar yang
dihadapi oleh para misionaris atau agen perubahan. Dia datang ke
suatu komunitas dengan asumsi bahwa norma akan berubah dengan
masuknya Injil. Namun demikian, bukankah mereka kafir? Hal-hal
tertentu akan berubah hanya tuntutan kontak lintas budaya, namun
mungkin ada daerah-daerah yang sulit untuk berubah.
Banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Ada kemungkinan misionaris
tidak memerhatikan pimpinan Roh Kudus. Terjemahan Alkitab yang
digunakan untuk menjangkau mereka mungkin tidak mencukupi. Ada
kemungkinan misionaris telah salah mengartikan latar belakang sosial
budaya atau Alkitab. Ada kemungkinan pula norma yang dianut
misionaris harus berubah sebelum tercipta fondasi yang akan
memunculkan perubahan pada orang lain. Ada kemungkinan juga bahwa
perubahan sedang terjadi, tetapi dalam tempo yang lambat, jauh lebih
lambat dari yang diharapkan agen perubahan, atau jauh lebih lambat
dari apa yang sebenarnya bermanfaat bagi orang-orang yang terlibat.
Atau bahkan mungkin juga Injil bisa masuk dalam suatu kehidupan
tanpa diperlukan adanya perubahan -- terlepas dari perubahan rohani.
Beberapa usaha untuk mengubah suatu norma supaya menjadi sama dengan
norma lain akan menyebabkan orang yang normanya menjadi pusat
perhatian, terlempar dalam konflik -- suatu keadaan yang tidak
kondusif bagi pertumbuhan rohani. Seseorang harus berhati-hati untuk
tidak menimbulkan konflik sosial yang tidak ada gunanya supaya ia
tidak bingung pada konflik rohani yang biasanya terjadi dengan
masuknya berita kebenaran alkitabiah, yakni Injil. Perhatian ekstra
harus diberikan sehingga setiap kemajuan dalam perubahan, tetap
sejalan dengan sistem sosial budaya yang berlaku untuk memastikan
keunikan budaya yang diperlukan dalam pertumbuhan rohani. Akhirnya,
pendukung yang bekerja sama dengan orang lain bisa maju melalui
suatu gaya pelayanan yang efektif untuk mendorong kreativitas dalam
pengalaman hidup masyarakat Kristen. (t/Dian dan Ratri)
Diterjemahkan dari:
Judul buku: Christianity Confronts Culture
Judul asli artikel: Absolutism and Relativism
Penulis: Marvin K. Mayers
Penerbit: Zondervan Publishing House, Michigan 1974
Halaman: 231 -- 237
harus dibedakan dengan saksama. Relativisme etis berbicara tentang
pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam
pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya
berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan
prinsip tersebut, dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan
pengalaman seseorang.
Relativisme budaya mengizinkan anggota masyarakat untuk mengalami
hal-hal yang mutlak dan mengetahui makna hidup mereka sesungguhnya.
Masalah pencurian di Amerika Tengah yang multibudaya, misalnya,
setiap orang di sana mengerti suatu hal yang mutlak, "Tidak boleh
mencuri." Setiap orang di sana mengerti, mengiyakan, dan
mempraktikkan hal-hal yang mutlak dalam aturan dan norma masyarakat,
memenuhi tanggung jawabnya sebagai individu maupun anggota
masyarakat. Tak seorang pun melanggar apa yang sudah mutlak dalam
menyesuaikan diri dan hidup berdampingan dengan orang lain. Dengan
sendirinya, konflik norma terselesaikan dengan mudah melalui saling
pengertian. Penyelesaian konflik pun dijaga melalui pengadaptasian
yang arif oleh masyarakat. Kekacauan justru timbul dalam masyarakat
berbudaya tunggal karena adanya keterhubungan antara relativisme
budaya dan relativisme etis.
Kekacauan juga timbul akibat penggabungan absolutisme alkitabiah
dan absolutisme budaya. Banyak orang yang memiliki niat baik dalam
ranah budaya tunggal yang menganggap bahwa cara mereka bertindak
bukan hanya cara yang Tuhan kehendaki untuk mereka lakukan, tapi
juga untuk orang-orang dari budaya lain lakukan. Mereka merasa
tindakan mereka menyenangkan hati Tuhan. Jika tindakan mereka
ternyata tidak menyenangkan-Nya, mereka akan mengubahnya sehingga
apa yang mereka lakukan menyenangkan Tuhan. Jika pada faktanya ada
hal-hal alkitabiah yang mutlak, hal-hal itu harus diwujudkan dalam
pikiran, perkataan, dan tindakan orang Kristen. Oleh karena itu,
dalam pikiran mereka, absolutisme membentang dari kemutlakan Tuhan
sampai ekspresi manusia atas kemutlakan tersebut dalam ranah
budaya. Variasi lain dari pola pemikiran tersebut dalam nuansa
sosial budaya akan berujung pada pengabaian hal-hal yang mutlak.
Jadi absolutisme alkitabiah bercampur selamanya dengan absolutisme
budaya. Orang yang tidak mendukung absolutisme seperti itu pasti
dianggap sebagai relativis dan tidak percaya terhadap hal-hal yang
mutlak dalam hal apa pun.
Ada empat kombinasi dari kedua istilah itu. Alkitabiah/budaya dan
absolutisme/relativisme menghasilkan keempat kombinasi berikut:
1. Absolutisme alkitabiah dan absolutisme budaya.
2. Absolutisme alkitabiah dan relativisme budaya.
3. Relativisme alkitabiah dan absolutisme budaya.
4. Relativisme alkitabiah dan relativisme budaya.
Dilihat dari sejarah, kombinasi nomor tiga bukanlah kombinasi yang
diperhatikan oleh gereja. Jika seseorang tidak mengiyakan kombinasi
nomor satu, maka secara otomatis dapat diasumsikan bahwa ia
meninggalkan semua kemutlakan dan mendukung relativisme alkitabiah
dan relativisme budaya. Para profesional berpegang pada kombinasi
nomor empat, namun kesalahan itu bukan dikarenakan profesi mereka,
melainkan dikarenakan keprofesionalitasan mereka. Seorang
profesional yang tidak nyaman dengan relativisme alkitabiah dan
budaya tidak perlu berpegang pada kombinasi yang merupakan gabungan
dari relativisme. Dia bisa memilih kombinasi nomor dua dan membantu
anggota masyarakat suatu budaya mengenal Allah seutuhnya sebagai
anggota budaya tersebut tanpa harus menjadi misionaris.
Absolutisme Alkitabiah dan Relativisme Budaya
Pendekatan absolutisme alkitabiah dan relativisme budaya menegaskan
adanya gangguan supernatural yang melibatkan tindakan dan ajaran.
Bahkan seperti Kristus, melalui inkarnasi, menjadi daging dan
tinggal di antara kita, demikian juga ajaran atau kebenaran menjadi
terwujud dalam budaya. Bagaimana pun, seperti halnya firman membuat
daging tidak kehilangan keilahian-Nya, demikian juga ajaran tidak
kehilangan kebenarannya melalui perwujudannya dalam bentuk sosial
budaya manusia. Ajaran itu selalu menyeluruh dan utuh sebagai
kebenaran. Selama ekspresi sosial budaya didekati secara lintas
budaya, maka hal itu dapat dikatakan sebagai kebenaran juga. Saat
kebenaran dikawinkan dengan satu perwujudan budaya, potensi adanya
"kepalsuan" sangat besar. Yang lebih serius lagi, potensi adanya
kepalsuan dalam budaya yang memakukan kebenaran pada satu perwujudan
budaya, lebih besar, jika budaya tersebut sedang mengalami proses
perubahan.
Sekali lagi, tentang masalah pencurian dalam ranah lintas budaya,
perintah "tidak boleh mencuri" sebagai suatu moral yang mutlak dan
kebenaran yang dikomunikasikan dalam budaya, diwujudkan di Amerika
Utara. Perwujudan itu ada dalam budaya Suku Pocomchi Maya yang
diberlakukan sama-sama menyeluruh dan utuh dalam hal properti
pribadi dan umum.
Empat pertanyaan untuk memastikan keabsahan dari masyarakat yang
berbeda-beda.
Pertanyaan yang biasanya muncul adalah norma atau cara hidup mana
yang benar. Masalah itu diselesaikan dengan lebih dulu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lintas budaya seperti berikut ini.
1. Apakah norma itu?
2. Apakah norma tersebut dipatuhi?
3. Apakah norma itu memerlukan perubahan?
4. Siapakah yang bertanggung jawab untuk mengubah norma itu?
Rata-rata orang yang menjalani hidupnya berdasarkan normanya
sendiri, mendekati orang lain dari sudut pandang norma yang
dianutnya. Biasanya ia akan mengawali empat pertanyaan tersebut
dengan pertanyaan nomor tiga. Karena norma-norma yang dianut orang
lain dilihat dari sudut pandangnya sendiri, maka norma orang lain
perlu untuk berubah. Bila norma yang dianut orang lain tampaknya
perlu diubah, maka orang yang memutuskan perlunya ada perubahan itu
adalah orang yang bertanggung jawab untuk mengubahnya. Hal ini
mungkin terjadi dalam relasi orang tua dengan anaknya, seseorang
dengan pasangannya, seorang misionaris dengan negara tertentu, dan
seorang pendeta dengan jemaat. Proses perubahan norma orang lain
tersebut tergantung sepenuhnya kepada orang yang memutuskan bahwa
norma itu perlu berubah. Keterlibatan orang lain dalam keputusan
akhir, tidak diperlukan. Jadi orang tua mengambil keputusan untuk
anaknya, seorang pasangan mengambil keputusan untuk pasangannya,
dewan misionaris yang mengambil keputusan untuk negara, fakultas
yang mengambil keputusan untuk mahasiswa, pendeta yang mengambil
keputusan untuk jemaatnya. Dalam konteks Kristen, bila seseorang
yang membuat keputusan memerlukan dukungan, dia hanya boleh mencari
dukungan dari figur yang dengannya ia telah mengonsultasikan masalah
yang ada -- Roh Kudus. Dengan demikian, tak seorang pun dapat
mempertanyakan keputusan akhirnya.
Orang yang mendekati tindakan, pikiran, atau keyakinan orang lain
dari sudut pandang lintas budaya atau dwibudaya, akan memulainya
dengan pertanyaan nomor satu. Dia akan benar-benar berusaha memahami
sistem di mana tindakan, keyakinan, atau pikiran itu didasarkan dan
kemudian bertanya apakah masyarakat yang ada memenuhi norma yang
telah ditetapkan secara bertanggung jawab; artinya, dia akan
menanyakan pertanyaan nomor dua setelah memahami benar sistem norma
yang ada. Dia akan menyelidiki arti dari menjalani hidup berdasar
motivasi. Dia akan memerhatikan apakah yang menjadi hal paling
penting bagi seseorang -- tindakan yang bertanggung jawab atau
tindakan yang tak bertanggung jawab. Kemudian dia akan menuju pada
pertanyaan nomor tiga. Saat agen perubahan (orang yang mengubah)
menanyakan pertanyaan ini, dia akan melakukannya, bukan dalam bentuk
normanya sendiri, namun dalam bentuk norma orang lain. Hal ini
dengan serta merta akan melibatkan orang lain dalam proses
perubahan. Namun yang lebih penting, pendekatan yang seperti ini
akan membuka kemungkinan untuk norma sang agen perubahan juga turut
berubah. Saat norma dari kedua belah pihak berpeluang untuk berubah,
besar kemungkinan Roh Allah akan masuk dan menuntun salah satu atau
kedua pihak dalam proses perubahan. Dalam cara yang dinamis, tiga
oknum ini bertanggung jawab atas perubahan norma; Roh Allah, orang
yang normanya perlu berubah karena digerakkan oleh Roh, dan orang
yang mendukung. Jadi, hubungan timbal balik yang sejati berkembang,
membuka salah satu atau kedua-duanya kepada perubahan norma yang
efektif.
Saat agen perubahan yang telah terbuka untuk normanya sendiri atau
norma orang lain untuk berubah, terus melangkah, dia menemui adanya
kebutuhan baru untuk dipenuhi. Dia sekarang memerlukan sesuatu yang
lain dari hanya sekadar perubahan perilaku. Dia merasakan perlu
adanya beberapa tujuan, standar eksternal.
Injil-injil, dalam bentuk Alkitab, memberikan standar ini. Orang
pertama, juga dengan orang lain, yakni orang yang normanya
memerlukan perubahan dan yang mendukung perubahan itu, bekerja
bersama Injil dalam bahasa yang mereka berdua bisa pahami dan
meresponinya sebagai "firman Allah". Bagi orang-orang tertentu di
Amerika Utara, mereka hanya dan akan selalu meresponi Alkitab versi
King James. Bagi masyarakat Amerika Utara lainnya, mereka hanya dan
akan selalu meresponi Alkitab dalam versi beberapa bahasa
kontemporer, tergantung pada dialek bahasa Inggris mereka. Bagi
mereka yang beretnik dan berlatar belakang yang berbeda, Alkitab
yang mereka pakai adalah produk dari program terjemahan yang
dipimpin oleh perorangan, suatu masyarakat Alkitab, atau oleh
beberapa organisasi lain, seperti program penerjemahan Wycliffe
Bible Translators dan Tyndale Living Bible.
Dalam proses yang dinamis ini, tuntutan perubahan dari tantangan
lintas budaya dan dalam suatu masyarakat dalam suatu masa, dapat
teratasi dengan efektif.
Namun suatu masalah baru mungkin harus dihadapi oleh agen perubahan
saat proses itu dimulai dan saat proses perubahan yang kooperatif
dan timbal balik itu berlangsung. Bagaimana jika norma kedua belah
pihak tidak perlu berubah? Bagaimana jika sebuah norma berubah
perlahan dalam jangka waktu yang lama? Bagaimana jika norma dari
orang pertama berubah, namun norma pihak yang lain yang perlu
berubah, malah tetap? Mungkin ini adalah tantangan terbesar yang
dihadapi oleh para misionaris atau agen perubahan. Dia datang ke
suatu komunitas dengan asumsi bahwa norma akan berubah dengan
masuknya Injil. Namun demikian, bukankah mereka kafir? Hal-hal
tertentu akan berubah hanya tuntutan kontak lintas budaya, namun
mungkin ada daerah-daerah yang sulit untuk berubah.
Banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Ada kemungkinan misionaris
tidak memerhatikan pimpinan Roh Kudus. Terjemahan Alkitab yang
digunakan untuk menjangkau mereka mungkin tidak mencukupi. Ada
kemungkinan misionaris telah salah mengartikan latar belakang sosial
budaya atau Alkitab. Ada kemungkinan pula norma yang dianut
misionaris harus berubah sebelum tercipta fondasi yang akan
memunculkan perubahan pada orang lain. Ada kemungkinan juga bahwa
perubahan sedang terjadi, tetapi dalam tempo yang lambat, jauh lebih
lambat dari yang diharapkan agen perubahan, atau jauh lebih lambat
dari apa yang sebenarnya bermanfaat bagi orang-orang yang terlibat.
Atau bahkan mungkin juga Injil bisa masuk dalam suatu kehidupan
tanpa diperlukan adanya perubahan -- terlepas dari perubahan rohani.
Beberapa usaha untuk mengubah suatu norma supaya menjadi sama dengan
norma lain akan menyebabkan orang yang normanya menjadi pusat
perhatian, terlempar dalam konflik -- suatu keadaan yang tidak
kondusif bagi pertumbuhan rohani. Seseorang harus berhati-hati untuk
tidak menimbulkan konflik sosial yang tidak ada gunanya supaya ia
tidak bingung pada konflik rohani yang biasanya terjadi dengan
masuknya berita kebenaran alkitabiah, yakni Injil. Perhatian ekstra
harus diberikan sehingga setiap kemajuan dalam perubahan, tetap
sejalan dengan sistem sosial budaya yang berlaku untuk memastikan
keunikan budaya yang diperlukan dalam pertumbuhan rohani. Akhirnya,
pendukung yang bekerja sama dengan orang lain bisa maju melalui
suatu gaya pelayanan yang efektif untuk mendorong kreativitas dalam
pengalaman hidup masyarakat Kristen. (t/Dian dan Ratri)
Diterjemahkan dari:
Judul buku: Christianity Confronts Culture
Judul asli artikel: Absolutism and Relativism
Penulis: Marvin K. Mayers
Penerbit: Zondervan Publishing House, Michigan 1974
Halaman: 231 -- 237
Tidak ada komentar:
Posting Komentar