28 November 2012

PAHAM ATEISME

Tugas Filsafat
Nama: Tirza Monu
STTC

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini pemahaman atau keterikatan mengenai ketuhanan sangat banyak
bermunculan apalagi masalah ketidakyakinan seseorang kepada sang Maha
Agung yakni Tuhan. Ini dikarenakan semakin majunya teknologi dan ilmu
pengetahuan. Di era moderen ini banyak individu yang sudah mulai
berpaling ke dalam kepercayaan yang diyakininya benar secara logika
dan mulai meragukan tentang keberadaan Tuhan. Bahkan ada sekelompok
orang yang secara terbuka benar-benar menolak paham tentang adanya
Allah. Paham sekelompok orang inilah yang dikenal dengan paham
Ateisme.
Negara yang tertinggi angka Ateismenya justru adalah negara-negara
modern. Menurut analisa para ahli hal ini disebabkan karena doktrin
agama menyebabkan orang menjadi tidak ingin berusaha dan selalu pasif
karena mengharapkan pertolongan Tuhan. Ateis berusaha mengubah doktrin
ini dengan cara berusaha menyelesaikan semua masalah kehidupan dengan
segala kemampuannya tanpa campur tangan Tuhan karena menganggap Tuhan
tidak ada.
A. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Ateisme?
2. Bagaimana pandangan Alkitab mengenai paham ini?

B. Tujun Penulisan
1. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan paham Ateisme.
2. Untuk menjelaskan bagaimana pandangan Alkitab mengenai paham Ateisme.



BAB 11
PANDANGAN UMUM TERHADAP ATEISME

A. Munculnya ateisme
Ateis berasal dari bahasa Yunani yakni Atheos. 'a' berarti tidak dan
'Theos' berarti Tuhan. Jadi secara etimologi Ateis berarti tanpa
Tuhan. Secara terminologi Ateisme adalah suatu aliran yang tidak
mengakui adanya Tuhan dan juga menolak agama sebagai jalan kehidupan.
Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan
aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan
tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa".
Ateisme bukanlah suatu keyakinan atau kepercayaan (Agama) melainkan
suatu sistem ketidakpercayaan atau ketidakyakinan. Ateisme bukanlah
sebuah agama yang memiliki ajaran secara resmi sebab tidak memiliki
ajaran ajaran resmi selayaknya agama pada umumnya.
Ateisme mulai muncul sebagai suatu sekitar abad ke-19 Masehi, yang
mana pada masa itu sekelompok orang telah dipengaruhi oleh alam,
keaktualan diri sendiri, percaya pada faktual nyata alam panca indra
sehinggah sesuatu yang diluar logika itu tidak ada.
Pengaruh eksistensialisme pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20 telah
mempengaruhi manusia. Dalam Filsafat eksistensialisme, mengajarkan
bahwa manusia yang sesungguhnya bereksistensi. Maksudnya adalah
manusia sama sekali bebas. Filsafat eksistensialisme inilah yang
sangat mempengaruhi manusia untuk tidak percaya kepada Tuhan dan
menjadi ateis.
Dari rujukan lain penulis mendapati bahwa istilah ateis juga
disebutkan pada akhir abad ke-18 di Eropa yang merunjuk pada
"kepercayaan tersendiri", utamanya merunjuk pada ketidakpercayaan pada
Tuhan monoteis. Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi
istilah ini untuk merujuk kepada "ketidakpercayaan kepada semua
dewa/tuhan", walaupun masih umum untuk merujuk Ateisme sebagai
ketidakpercayaan kepada Tuhan (monoteis).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya Ateisme ini yakni:
1. Perkembangan Teknologi dan Sains
Salah satu akibat buruk dari perkembangan teknologi dan sains adalah
munculnya Ateisme. Teori ilmu pengetahuan yang paling berdampak pada
lahirnya ateisme adalah tori evolusi. Pandangan evolusi merasuki
sejarah dan teologi atau agama. Evolusi menjadi penting bagi seseorang
hanya ketika ia yakin bahwa Allah tidak ada. Memang harus salah satu
yang benar: bumi dihasilkan secara supranatural (diciptakan oleh suatu
pribadi Ilahi), atau ia dihasilkan secara natural, terlepas dari
campur tangan semacam "allah". Melalui teori evolusi Ateisme tersebar
luas, terutama di antara kaum terpelajar di dunia. Doktrin evolusi,
kalau terus-menerus diterima memungkinkan orang untuk tidak
mempercayai Alkitab. Iswara Rintis dalam bukunya mengutip
pernyataan-pernyataan dari para penganut ateis antara lain:
- Clarion, seorang redaktur surat kabar Ateis, mengatakan: "Alkitab
mengatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi. Allah menjadikan
manusia serupa dengan Dia. Tetapi orang yang dengan sepenuh hati
menerima teori evolusi percaya bahwa pernyataan Alkitab adalah tidak
benar. Kepercayaan agama macam apa yang dapat didukung oleh teori
evolusi?"
- Charles Smith, salah seorang ketua perkumpulan Ateis di Amerika
mengatakan: "Evolusi adalah Ateisme."
- Woolsey Teller, wakil ketua perkumpulan Ateisme di Amerika
mengatakan: "Pengetahuan tentang evolusi tidak sejalan dengan gagasan
Allah."
- Newman Watts, seorang wartawan dari London, menulis bahwa, "Setiap
serangan terhadap kepercayaan Kristen yang dilancarkan dewasa ini
didasarkan pada doktrin evolusi."

2. Faham Sosial
Beberapa faham sosial menjadi pemicu berkembangnya Ateisme antara lain:
a. Faham Rasionalisme dan Naturalisme yang mempresuposisikan secara
negatif Allah dan hal-hal yang bersifat supranatural.
Rasionalisme dalam pengertian modern muncul pada abad ke-6, sebagai
reaksi 'akal' terhadap pengajaran-pengajaran agama yang dianggap
irasional pada abad ke-5 sampai abad ke-15 M. Inti rasionalisme adalah
anggapan bahwa sumber dan pembenaran keyakinan dapat ditemukan hanya
dalam nalar. Para penganut deisme, misalnya, sekalipun mengakui
eksistensi Allah, skeptis terhadap campur tangan supranatural-Nya atas
manusia dan dunia ini. Mereka menolak pemeliharaan Allah atas dunia
ini, kendali Allah atas jalannya sejarah dunia ini, inkarnasi pribadi
kedua dari Allah Tritunggal, kebangkitan dari antara orang mati dan
berbagai peristiwa supranatural lainnya. Singkatnya, mereka meletakkan
akal budi diatas penyataan.
Dengan menggunakan apa yang disebut 'nalar praktis', Imanuel Kant
telah meletakkan dasar bagi kecenderungan untuk menghilangkan unsur
adikodrati yang yang diyakini oleh agama. Menurutnya setiap individu
harus menilai semua penyataan yang diduga bersifar adikodrati dengan
memakai nalar praktis. Nalar mengharuskan setiap individu untuk
berhenti percaya pada hal-hal yang bersifat supranatural termasuk
keyakinan Kristiani tentang kebangkitan Kristus.
Benedict Spinoza juga mendukung pandangan rasionalisme adikodrati. Ia
menyimpulkan bahwa Musa bukanlah penulis lima kitab Perjanjian Lama,
dan bahwa Musa tidak menerima kitab-kitab itu melalui penyataan diri
Allah. Cerita-cerita kebangkitan dalam kitab-kitab Injil harus
ditolak. Spinoza menganggap tidak rasional untuk mempercayai
mukjizat-mukjizat yang tercatat dalam Alkitab.
Salah satu sebab mengapa orang memilih untuk menjadi ateis adalah
karena anggapan keliru mereka bahwa apa yang diajarkan dan diyakini
dalam teisme adalah irasional, tidak masuk akal, tidak logis. Bagi
penganut paham Ateisme dewa-dewa bangsa Yunani dan Tuhan dalam Alkitab
adalah sama, yaitu mitos dan dongeng yang tidak mungkin dipercayai
oleh orang-orang terpelajar yang berpikir secara ilmiah.
Bagaimana dengan naturalisme? Neturalisme jelas menggiring orang ke
arah ateisme. Penganut paham rasionalisme dan naturalisme menyerang
catatan sejarah Alkitab tentang peristiwa-peristiwa yang dianggap
tidak natural, tidak rasional dan tidak logis.
Dalam banyak hal naturalisme sama dengan materialisme, sebuah paham
yang boleh dikatakan paham tertua. Pada abad pertama dan sepanjang
abad-abad pertengahan materialisme sempat tidak mendapat perhatian,
namun muncul kembali pada zaman pencerahan dan mencapai puncaknya pada
abad ke-19. Materialisme jelas menjadi pemicu munculnya ateisme.
b. Humanisme yang menggantikan Allah dengan manusia
Sesungguhnya agak sulit untuk menentukan, apakah humanisme adalah
penyebab bagi munculnya ateisme atau sebaliknya, akibat yang muncul
karena ateis. Ateisme lebih cenderung mengukuhkan kedudukan manusia
daripada untuk mengingkari Allah. Tom Jacobs menyatakan bahwa " Yang
benar, (dalam humanisme) Allah sama sekali tidak memainkan peranan
dalam hidup. Allah tidak dibutuhkan. Allah tidak menolong untuk
menerangkan dan menjalankan hidup manusia." Secara historis, sekalipun
terminologinya baru muncul belakangan ini, fondasi humanisme telah
terbangun sejak zaman kuno. Berdasarkan argumentasi diatas lebih
dapat dipastikan bahwa humanisme adalah penyebab munculnya ateisme.
Pada dasarnya humanisme sekuler mengajarkan otonomi mutlak manusia.
Humanisme menghormati manusia seperti Allah; manusia hidup untuk
tujuan-tujuan sendiri dan bukan untuk melayani Allah atau
tujuan-tujuan transenden lainnya. Hidup yang paling mulia ialah
mengejar berbagai minat, pencapaian dan kebahagiaan kita sendiri. Akan
menjadi apa seseorang, itu bergantung pada kemampuan dan kreativitas
dirinya untuk mengelola dan mengembangkan potensi dirinya. Tidak ada
Allah yang dari pada-Nya manusia berasal, atau kepada-Nya manusia
perlu bergantung.
Menurut humanisme manusia merupakan bagian dari alam semesta dan ia
muncul sebagai akibat dari proses berkesinambungan. Tidak ada rencana
penyelamatan atau pemeliharaan Ilahi bagi manusia. Setiap orang
bertanggungjawab atas dan kepada dirinya sendiri serta harus
menyelamatkan dirinya sendiri. Di sinilah kemudian muncul paham
liberalisme.
Humanisme juga ditandai oleh pahamnya yang terlalu presentis (hanya
memperhatikan masalah-masalah manusia di sini dan saat ini). Bagi
humanisme, di satu sisi kejahatan adalah bukti dari tidak adanya
Allah, tetapi di sisi lain kejahatan juga muncul dari ketidakpedulian
manusia. Satu-satunya solusi bagi persoalan kejahatan adalah
'pendidikan'. Pendidikan berarti menciptakan 'surga' di bumi bagi
generasi selanjutnya.
3. Faktor moral
a. Tidak berfungsinya hati nurani manusia
Faktor penting lainnya yang menjadi penyebab munculnya ateisme
adalah sudah tidak berfungsinya hati nurani manusia karena dosa. Hati
nurani adalah salah satu wujud penyataan umum Allah. Hati nurani
adalah salah satu kelengkapan yang Allah tanamkan di dalam diri
setiap manusia yang Ia ciptakan. Hati nurani ini bersaksi kepada
pemiliknya bahwa Allah ada dan bahwa Allah-lah ia harus memberikan
pertanggungjawaban pribadi.
Hati nurani seakan-akan adalah hakim terakhir di dalam diri manusia
yang mengingatkan seseorang akan yang benar dan yang salah, yang baik
dan yang jahat, yang boleh dan yang tidak boleh. Suku Indian di
Amerika mengumpamakan hati nurani di dalam diri manusia sebagai sebuah
segitiga sama sisi dengan poros di tengahnya. Setiap kali seseorang
mau memikirkan atau melakukan sesuatu kejahatan, segitiga itu
berputar. Sudut-sudutnya yang tajam segera menggores daging di dalam
tubuh orang itu sehinggah akan terasa sakit. Rasa sakit menjadi
peringatan untuk tidak melanjutkan kegiatan tersebut. Tetapi karena
sifat manusia; ia berusaha melawan rasa sakit itu dengan terus-menerus
melakukan kejahatan. Karena terlalu sering berputar, sudut-sudut
segitiga itu paa khirnya menjadi tumpul. Akibatnya, sesering dan
sejahat apapun dosa yang dilakukannya dan sekencang apapun segitiga
itu berputar, tidak akan lagi berdampak. Segitiga itu telah kehilangan
fungsinya. Dosa adalah penyebab tumpulnya hati nurani manusia. Hati
nurani yang tumpul tidak akan bisa menyadari keberadaan Allah
sehinggah memicu semakin berkembangnya ateisme.
b. Kesaksian yang buruk dari kekristenan atau penganut agam-agama tertentu.
Harus diakui bahwa kekristenan dalam titik-titik periode sejarah
tertentu pernah diselewengkan begitu jauh oleh sebagian orang. Hal ini
menimbulkan sikap pesimis dan skeptis manusia akan eksistensi Allah
yang dipercaya oleh agama Kristen. Banyak seminari teologi telah
menjadi pusat ketidakpercayaan karena para teolognya mendeklarasikan
kematian Allah. Di dalam sejarah, para teolog Kristen juga pernah
melakukan kesalahan yang menyebabkan sikap skeptis terhadap
kekristenan. Pada tahun 1610 gereja Katolik mengkategorikan Copernius
(seorang astronomi abad ke-16) sebagai bidat dan mencaci makinya
karena Copernius menemukan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari,
bukan matahari yang mengelilingi bumi. Gereja melarang mengajarkan
teori tersebut. Tetapi pada akhirnya teori Copernius terbukti benar
dan gerejalah yang salah. Hal lain yang menjadi pemicu sikap skeptis
terhadap kekristenan adalah peristiwa Perang Salib. Perang salib
adalah salah satu contoh yang paling jelas tentang buruknya cara orang
Kristen dalam memahami imannya. Tidak heran jika sejarawan Arnold B.
Toynbee berkata, "Penderitaan terbesar di dunia ini disebabkan oleh
orang-orang yang mengatasnamakan agama."
B. Inti ajaran ateisme
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara
ateisme praktis dengan ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme
teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar
pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah
memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan
ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.
1. Ateis Praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai
apateisme, individu hidup tanpa Tuhan dan menjelaskan fenomena alam
tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan
Tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting
dan tidak berguna; Tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup,
ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk ateisme
praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme
metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam
metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh
menerima atau memercayainya."
Ateisme praktis dapat berupa:
• Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak
memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan
lainnya;
• Pengesampingan masalah Tuhan dan religi secara aktif dari
penelusuran intelek dan tindakan praktis;
• Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan
Tuhan dan agama; dan
• Ketidaktahuan akan konsep Tuhan dan dewa.
2. Ateis Teoritis
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang
keberadaan Tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik
mengenai keberadaan Tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan
taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak
keberadaan Tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan
epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan
sosiologis.
a. Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui
Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme
adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat
dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang,
dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk
agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi
kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan
keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya
menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme
ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu
materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada
atau tidak. Skeptisisme menegaskan bahwa kepastian akan segala
sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah
mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap
ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai
pandangan dunia dasar yang independen. Argumen lainnya yang mendukung
ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun
ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan
ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar
seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa."
Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada"
bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara
kognitif tidak berarti.
b. Argumen metafisika
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan
bahwa realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik
absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara
eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik
relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu
didasarkan pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan
sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya
transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh
ateisme metafisika relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan
deisme.
c. Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud berargumen
bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan
manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan
psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak
Buddhis. Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya
Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah
fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas
pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan
mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia
merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya
akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan
prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang
berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk
menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka
adalah perlu untuk menghapusnya."
d. Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti
tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak
konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang
keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat
tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan,
kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi,
kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan. Ateis teodisi percaya bahwa
dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada
Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog.
Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan
kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan
kejahatan dan penderitaan, dan belas kasih tuhan/dewa adalah tidak
dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh
Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.
e. Argumen antoposentris
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan
sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti
kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai
sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk
menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx,
Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk
menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa
kekangan.
C. Dampak ateisme
Ateis telah berakibat buruk bukan saja bagi agama tetapi juga bagi
berbagai bidang kehidupan lainnya: sosial, politik, ekonomi, budaya,
dan ilmu pengetahuan. Ateisme memunculkan paham-paham baru dalam
berbagai bidang yang menyimpang dari iman Alkitabiah.
Berikut ini adalah beberapa paham yang muncul dan berkembang sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari ateisme:
1. Relativisme
Keraguan akan kebenaran dan nilai-nilai absolut sudah nampak sejak
zaman kuno. John M. Frame menulis, "Akibat yang lazim dari ateisme
adalah hilangnya standar-standar dan nilai-nilai. Sex bebas, aborsi,
pornografi, dan sebagainya adalah bukti-bukti nyata paham relativisme.
Relativisme menegaskan bahwa nilai-nilai moral menimba sumbernya dari
pengalaman manusia. Dengan demikian moralitas tidak memiliki nilai
objektif, tidak mutlak atau absolut. Etika juga bersifat otonom dan
situsional, artinya tidak membutuhkan sanksi teologis atau ideologis
apapun dari luar dirinya. Karena tidak ada Allah, maka tidak ada
standar dan patokan mutlak, dengan demikian tidak ada penghakiman.
Deisme agak mirip dengan relativisme dalam keyakinan bahwa Allah –
sekalipun eksis – tidak mencampuri urusan manusia dan
kejadian-kejadian yang terjadi di dalam dunia ini sehinggah tidak ada
penghakiman. Paham yang terakhir ini diadopsi dan dimodifikasi oleh
sebagian orang Kristen sehinggah lahirlah paham universalisme dalam
keselamatan.
2. Nihilisme/Materialisme
Banyak orang ateis yang begitu emosional dalam pandangan-pandangan
mereka, sehinggah tampaknya ateisme itu telah menjadi semacam agama.
Ini berlaku untuk nihilisme. Nihilisme dari bahasa latin artinya tidak
menerima apapun. Pandangan yang umum dari nihilisme adalah bahwa
tidak ada surga atau neraka. Singkatnya, tidak ada keabadian jiwa.
Surga dan neraka adalah bentuk pertanggungjawaban manusia kepada suatu
pribadi sebagai konsekuensi dari cara mereka hidup di dunia ini. Oleh
karena pribadi semacam itu tidak pernah ada, maka surga dan neraka pun
tidak pernah ada.
Nihilisme secara umum dipakai untuk menunjuk pada aliran-aliran
filsafat yang menyatakan bahwa pada dirinya sendiri realita akhirnya
tidak mempunyai makna. Materialisme ateistik, misalnya, mengajarkan
semacam nihilisme: tidak ada sesuatu yang kekal. Segala sesuatu
berakhir pada saat kematian. Manusia hanya berupa organisme material –
pada saat tubuh mati, maka tubuh kita mati dan tetap mati
selama-lamanya. Eksistensialisme yang dicikal bakali oleh Soren
Kierkegaard, lalu dikembangkan lebih jauh oleh Jean Paul mengajarkan
semacam nihilisme. Eksistensialisme mengajarkan keabsurdan hidup,
tanggung jawab setiap orang untuk mendefinisikan atau memvalidasi
eksistensi diri sendiri, dan menciptakan realita diri sendiri. Sejarah
adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang tidak memiliki makna atau
tujuan tertentu. Pada akhirnya semua orang akan titik akhir yaitu
kematian.
Beberapa sekte mengajarkan nihilisme dalam berbagai bentuk, mulai dari
nihilisme terbatas hinggah nihilisme mutlak. Paganisme kuno
mengajarkan bahwa setelah kita mati maka kita menjadi redup, hampir
menyerupai tiruan dari keadaan kita pada waktu sebelumnya, yaitu
hantu-hantu yang mendiami dunia bawah tanah yang yang suram dan gelap.
Penteisme mengajarkan bahwa kita hanyalal titik-titik air di laut
kosmis, kepingan-kepingan dari bahan Allah. Dengan kata lain bagi
panteisme makna individualitas yang real itu tidak ada. Kelompok
ilmuan tertentu mengajarkan bahwa surga dan neraka hanya hadir di
dalam pikiran manusi. Manusia dapat menciptakan pengalaman surgawi
bagi diri sendiri, atau dapat menjalani neraka mental. Namun surga dan
neraka tidak benar-benar ada secara nyata.
3. Pragmatisme
Inti pragmatisme adalah interpretasi ulang yang radikal atas
sifat-sifat pengetahuan. Pagi penganut pragmatisme seperti William
James dan John Dewey, hanya pengetahuan praktis saja yang dianggap
benar. Kebenaran didefinisikan sebagai apa yang berguna , apa yang
berfungsi, atau apa yang memiliki hasil praktis yang baik.
Dalam pengertia pragmatisme, Allah hanyalah teori saja, dan sebagai
teori, Ia tidak berhak untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah.
Karena tidak ada Allah dan penyataan Allah, tidak ada kebenaran dan
kebenaran yang dinyatakan Allah, maka tidak ada semacam pengetahuan
mutlak yang dapat dipakai untuk menentukan sesuatu itu baik atau
jahat, benar atau salah. Sesuatu disebut baik atau jahat, benar atau
salah karena sesuatu itu berfungsi atau tidak, berguna atau tidak,
memiliki hasil praktis yang baik atau tidak. Pragmatisme menekankan
tidak adanya kebenaran yang absolut. Makna kebenaran terletak pada
hasil akhirnya. Sasaran pragmatisme bukanlah pada kebenaran
metafisik, tetapi makna dari suatu kebenaran terletak pada kemampuan
untuk memecahkan masalah dan akibat atau dampaknya pada nilai-nilai
dan perkembangan akhlak umat manusia. Hanya agama dalam arti seperti
itulah yang dapat disebut agama sejati.
4. Marxisme
Kata Marxisme diambil dari nama Karl Marx, pencetus gagasan ini.
Marxisme sesungguhnya adalah sebuah paham yang muncul sebagai reaksi
terhadap kejahatan manusia. Marxisme menawarkan sebuah solusi untuk
menyelesaikan kejahatan itu. Persoalannya adalah, karena asumsinya
bahwa tidak ada Sang Pemberi Hukum, maka kejahatan itu direduksi dan
dipersempit. Bagi marxisme, kejahatan tidak lain adalah ketidakadilan
ekonomi: kesewenang-wenangan kaum kapitalis (borjuis) terhadap kaum
buruh (proletar). Solusi yang ditawarkan oleh marxisme untuk
menyelesaikan kejahatan itu ialah revolusi kaum buruh. Pemberontakan
yang diakhiri dengan kemenangan kaum buruh atas para kapitalis, dan
berdirinya negara komunis, itulah tujuan dari sejarah.
Sesungguhnya marxisme hanya menggantikan kaca mata Allah dengan
kacamata sendiri. Marxisme terlalu menyederhanakan persoalan yang
rumit, karena akar dan hakikat dari kejahatan menurut kaca mata Allah
itu jauh lebih komplek dari pada yang diyakini marxisme. Intinya
perubahan susunan ekonomi akan menciptakan dunia yang ideal.
5. Liberalisme
Gerald O'Collins dan Edward G. Farrugia mendefinisikan liberalisme
sebagai kecenderungan luas dalam politik dan agama yang mengikuti
pandangan zaman pencerahan dalam mendukung kebebasan dan perkembangan
dan dalam menerima pandangan-pandangan baru dalam ilmu dan kebudayaan
sezaman. Dengan ditiadakannya patokan-patokan yang mutlak, orang
cenderung menjadi kompromistis, tidak ada batas-batas yang mutlak.
Dalam arti yang baik liberalisme mendorong sistem pendidikan yang
terbuka dan keadilan sosial. Tetapi dalam semangat ateistik,
liberalisme menjadi satu bentuk humanisme sekuler yang menolak
kewibawaan agam, yang kritis menilai kekristenan, dan sering tidak
dapat berjalan bersama-sama dengan keyakinan Kristen ortodoks.
Dalam dunia teologi, ciri dari liberalisme adalah menyelidiki segala
sesuatu dengan akal budi dengan tidak mengakui adanya sesuatu yang
supranatural. Alkitab misalnya, harus diselidiki dengan cara yang sama
seperti penyelidikan atas buku-buku lain. Sebagai akibatnya, tidak ada
perbedaan antara akal dan penyataan, antara Pencipta dengan ciptaan,
antar Kristus dan manusia-manusia lain, antara dosa dan perasaan
bersalah, antara kekristenan dan kebudayaan.
6. Hukum Rimba
Istilah hukum rimba menunjuk pada hukum yang ditetapkan Charles Darwin
untuk menyokong evolusi biologis yang ia hipotesiskan. Evolusi,
demikian menurut Darwin melibatkan proses seleksi alam. Siapa yang
terkuat, dialah yang dapat tetap bertahan hidup. Yang kalah akan
tersingkir. Argumentasi ini muncul dari penyangkalan eksistensi Allah.
Hukum rimba menjadi alternatif yang menarik bagi orang-orang yang
menyangkali eksistensi Allah. Karena Allah tidak ada, kita mengontrol
diri kita sendiri, dan sedapat mungkin mengontrol dan menguasai orang
lain agar dapat terus bertahan. Inilah yang disebut perjuangan hidup.
Dalam konteks hidup modern yang ateistik, hukum rimba diterapkan di
segala bidang: politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Di dalam
hampir semua bidang kehidupan selalu ada sikap rasisme dan
ultra-nasionalisme. Dalam bidang politik ekonomi misalnya,
imperialisme di dominasi dunia barat atas dunia timur selama lebih
dari tiga abad terakhir membuktikan hukum rimba. Fenomena-fenomena
serupa termanifestasi juga di dalam konteks-konteks lokal.


BAB 111
PANDANGAN TEOLOGI TERHADAP ATEISME

A. Dasar-dasar teologis
Kekristenan menolak ateisme sebab ateisme tidak memadai dari sudut
pandang Alkitab. Dasar utama bagi kekristenan untuk menilai
argumentasi ateisme tentu saja adalah Alkitab. Semua keputusan akhir
tentang keberadaan Allah Kristen dan kebenaran wawasan dunia Kristen
haruslah melibatkan keputusan tentang isu-isu yang berkaitan dengan
Alkitab Kristen.
1. Alkitab tidak pernah memperkirakan kemungkinan adanya ateisme dogmatis.
Ateisme dogmatis tidak pernah dianggap ada oleh Alkitab, dan Alkitab
tidak pernah menyerangnya. Alkitab hanya menyerang ateisme praktis
yaitu individu yang teis secara teoritis namun tidak dalam tindakan
praktis.
2. Dalam Alkitab, keberadaan Allah dipresuposisikan, bukan
dispekulasikan,dan bukan diargumentasikan.
Ateisme bertentangan dengan Alkitab sebab Alkitab presuposisionalis
dalam pandangannya tentang Allah. Bagi Alkitab keberadaan Allah
diasumsikan, bukan diargumentasikan. Asumsi dasar Perjanjian Lama dan
Perjanjian baru adalah bahwa Allah ada. (Kejadian 1:1). Allah bukan
hanya ada tetapi juga bertindak. Alkitab tidak pernah merasa perlu
berargumentasi atau berdebat tentang keberadaan Allah. Bagi Alkitab
keberadaan Allah sudah dianggap pasti.
3. Menurut Alkitab, manusia diciptakan segambar dengan Allah.
Menurut Alkitab manusia bukan saja memiliki kesadaran tentang Allah
tetapi juga mengkomunikasikan keberadaan Allah sebab manusia
diciptakan segambar dengan Allah (Kejadian 1:6). Ateisme adalah dosa
yang fatal sebab manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
tetapi memakai kapasitas kesegambaran dengan Allah itu untuk
memberontak dan menolak Allah.
4. Menurut Alkitab, Allah menyatakan diri-Nya secara umum kepada semua orang.
Alkitab menyaksikan bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia
secara umum melalui dua hal: hati nurani (Roma 1:19,20) dan alam
semesta (Mazmur 19:2-7).

B. Analisa
Dasar-dasar teologis yang diuraikan terdahulu sudah cukup menjelaskan
bahwa ateisme bertolak belakang dengan Kekristenan. Selain ateisme
tidak memadai dari sudut pandang Alkitab, ateisme juga tidak memadai
secara logika.


BAB 1V
APOLOGETIKA TERHADAP IMAN KRISTEN


A. Tinjauan dari sudut pandang iman Kristen
Setiap agama pasti mempunyai pandangannya sendiri terhadap masalah
ateisme. Demikian juga dengan agama Kristen. Ditinjau dari sudut
pandang Kristen ateisme adalah paham yang paling tidak logis
sekalipun penganutnya berpendapat bahwa ateisme benar-benar adalah
posisi yang paling logis. Argumen ini didasarkan pada realita bahwa
"Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan
pekerjaan tangan-Nya." (Mazmur 19:2). Seseorang yang berpikir logis
pasti akan percaya bahwa pasti ada "Sang Pengatur" yang mengatur
sistem tata surya dan semesta sehinggah menjadi begitu teratur.
Sebuah pertanyaan yang sering di kemukakan oleh penganut paham ateis
adalah: mengapa Allah tidak mengungkapkan diri kepada setiap individu
sehinggah tidak ada yang berani untuk menentang realita tentang adanya
eksistensi Allah? Iman Kristen menjawab bahwa yang ingin Tuhan lakukan
tidak hanya sebatas Dia ingin agar manusia tahu Dia ada. Kehendak
Allah adalah supaya setiap manusia percaya kepada-Nya dengan iman (2
Petrus 3:9) dan menerima karunia keselamatan (Yohanes 3:16).
Sesungguhnya Allah sanggup memperlihatkan diri dan dengan tuntas
membuktikan keberadaan-Nya. Masalahnya adalah Allah telah berkali-kali
menampakkan diri-Nya dalam perjanjian lama (Kejadian 6-9; Keluaran
14:21-22; 1 Raja-Raja 18:19-31). Apakah pribadi yang pernah melihat
Allah percaya akan keberadaan-Nya? Ya. Tetapi apakah membuatnya
berpaling dari jalan yang jahat dan menaati Allah? Tidak! Jika
seseorang tidak bersedia menerima keberadaan Allah dengan iman, maka
sudah dapat dipastikan bahwa setiap peraturan Allah pun tidak akan
mampu untuk dilakukan. Itulah sebabnya Allah hanya bisa dijumpai
secara nyata hanya dengan melalui iman.
Allah sungguh-sungguh ada dan bisa dipertanggungjawabkan baik secara
logis maupun dengan iman.
B. Ateisme ditinjau dari konsep Alkitab
Ditinjau dari sudut pandang Alkitab Ateisme dikategorikan sebagai
"orang bebal" (Mazmur 14:1) yang mengabaikan nuraninya sendiri yang
bersaksi bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada.



BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
Ateis merupakan paham filosofi yang secara universal diartikan sebagai
paham yang menolak percaya adanya eksistensi Allah. Banyak hal yang
melatar-belakangi munculnya masalah ateis sehinggah ateis pun terbagi
menjadi beberapa macam jenis yang kemudian disederhanakan menjadi dua
golongan, ateis praktis dan ateis teoritis.
Dari beberapa jenis ateis hanya ateis praktis yang diserang oleh
Alkitab. Dari sudut pandang iman Kristen ateisme merupakan paham yang
keliru, tidak memadai memadai dari sudut pandang Alkitab dan merupakan
dosa yang fatal sebab menolak Allah sebagai pencipta. Namun demikian
penganut ateisme bukanlah musuh Kekristenan. Yang harus dimusuhi
adalah pahamnya tapi bukan penganutnya. Penganutnya harus tetap
didoakan agar bisa berbalik dan mengakui adanya Tuhan.


















DAFTAR PUSTAKA


Teks Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: Lambaga Alkitab Indonesia, 2009.

Rintis, Iswara. Adakah orang yang benar-benar Ateis? (Lembaga
Literatur Babtis, 2010).

Geisler, Norman L. dan Feinber, Paul D. Filsafat Dari Perspektif
Kristiani. Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2002.

Jacobs, Tom.Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi .
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002.


Frame, John M. Apologetika Bagi Kemuliaan Allah. Surabaya: Penerbit
Momentum, 2000.


Collins, Gerald O' dan Farrudia, Edward G. Kamus Teologi . Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seseorang di segani dan di hormati bukan karena apa yang di perolehnya, Melainkan apa yang telah di berikannya. Tak berhasil bukan karena gagal tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan hanya orang gagal yang merasa dirinya selalu berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan

BERITA TERKINI

« »
« »
« »
Get this widget

My Blog List

Komentar