25 April 2013

KEPECAYAAN TERHADAP PARA ROH PADA SUKU BIAK, PAPUA

Tugas Makalah Teologi Kontestual
Nama : Michael Morino
Asal : Papua
Kuliah : STT SAPPI Cianjur


BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang

Masyarakat Biak masih memiliki kebudayaan kuno yang berkisar pada
kepercayaan animisme bahkan kepercayaan tersebut lebih ditonjolkan
melalui upacara ritual yang lebih dikenal dengan WOR. Kata Wor sudah
berarti lagu dan tari tradisional. Semua anak yang terkena wabah
penyakit dianggap bernasib malang sehingga harus diadakan upacara
adat.
Wor dapat mengekspresikan semua aspek kehidupan orang Biak, seperti
halnya upacara tradisional para leluhur berupa ukiran kayu, dan lebih
khusus pada motif atribut yang digunakan mereka pada saat menyanyi dan
menari; berupa motif pada pakaian. Semua barang yang digunakan untuk
upacara adat dapat disakralkan atau dikeramatkan.

Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses Wor berlangsung?
2. Apa tujuan suku Biak melakukan Wor?
3. Bagaimanakah upacara pesta adat ini berlangsung?

Tujuan Penulis
Bertitik tolak dari rumusan masalah maka tujuannya penulis ingin
menjelaskan masalahnya sebagai berikut:
1. Penulis ingin menjelaskan bagaimanakah proses Wor ini berlangsung
2. Penulis ingin menjelaskan apa tujuan suku Biak melakukan Wor
3. Penulis ingin menjelaskan bagaimanakah upacara pesta adat berlangsung


BAB II
KEPECAYAAN TERHADAP PARA ROH PADA SUKU BIAK, PAPUA

Pengertian wor
Dalam agama tradisional orang Biak, Wor merupakan suatu kewajiban yang
harus diselenggarakan oleh setiap keluarga batih/inti mereka. Wor
mempunyai dua arti :
(a) Wor sebagai upacara adat (upacara taradisional);
(b) Wor sebagai nyanyian adat .

Jika kita uraikan kedua konsep atau istilah munara dan wor atas struktur
atau bentuk katanya, maka akan jelas konsep-konsep utama yang berkaitan erat
dengan kedua kata kompleks tersebut. Kata munara terdiri atas dua kata
yaitu mun yang artinya penggal bagian atau bayar ganti sedangkan ara
artinya kasihan, ibah hati, penggugah, pemancing, motivasi, penyebab,
sesuatu terjadi. Wor terdiri atas dua kata w/ aw artinya engkau
sedangkang or panggilan, mengundang; pesta lagu nyanyian yang disebut
wor.

Dengan demikian kata munara atau wor itu dapat diformulasikan menjadi:
undangan keluarga untuk mengambil bagian dalam pesta: menari dan bernyanyi,
makan-minum bersama, dan diakhiri dengan acara transaksi ekonomi bersama
berupa hasil ladang seperti: talas, keladi, sagu, dan hasil buruan
seperti: daging
babi, ikan, dengan transaksi hasil barteran berupa: piring, gelang, parang,
tombak dan sebagainya antar keluarga tuan pesta dengan pihak keluarga paman
(mother brother), yang dikenal dalam adat Vyak dengan istilah munsasu dan
maidofa (take and give) secara kolektif.

Dengan demikian, munara atau wor dapat diartikan secara bebas sebagai pesta
atau upacara akbar yang tentunya dibarengi dengan acara jamuan makan,
bernyanyi dan menari, yang diakhiri dengan transaksi ekonomi, yang
terselenggara sebagai puncak dari seluruh rangkaian pesta adat
yang mengikuti lingkaran atau daur hidup seseorang, mulai dari kehadirannya
dalam kandungan (janin), kelahiran, kanak-kanak, remaja, akilbalik, dewasa, tua,
hingga ia masuk liang kubur.

3. Jenis Munara atau Wor Biak
Munara atau wor Vyak dibagi atas dua bagian besar, yaitu wor sraw 'pesta kecil'
dan munara atau wor veyeren 'pesta akabar'. Seterusnya wor sraw atau secabik
pesta (kecil) kurang lebih terbagi lagi atas 18 wor, yakni pesta 'wor':
1. Kakfo ikoibur 'meramal kelamin janin.
2. Anunbesop 'diturunkannya bayi darirumah ke halaman/bawah sekitar kampong.
3. Anansus 'tetekan bayi.
4. Raikarkir 'pelobangan telinga dan hidung.
5. Ananmam 'makan kunyahan.
6. Marandak 'jalan pertama kali.
7. Andomankun ' makan sendiri tanpa disuap.
8. Papaf 'penyapihan anak.
9. Kapanaknik 'cukur rambut anak.
10. Famamarwark 'pemberian cawat/pakain
11. Mansorandak 'pertama kali pergi dan kembali dari negeri orang.
12. Amfudum 'pengatapan rumah baru.
13. Sunavrdado 'memasuki/hunian rumah tinggal baru.
14. Sunsram 'memasukipendidikan di lembaga rumsram.
15. Sarsram 'pesta tamat lembaga rumsram.
16. Sarwai babo uji-pakai perahu baru.
17. Kper-roemun lepas dari bahaya.
18. Avovs-farbey pelepasan atribut perkabungan.

Sedangkan munara pesta akbar kurang lebih terbagi pula atas 11 wor, yakni
pesta wor.
1. beyeren atau wor kabor insos 'pesta inisiasi keluarga inti
(anak-anak).
2. ramrem pesta peminyakan bagi pengantin laki-laki yang akan
memasuki rumah tangga baru;
3. fakoker pesta pemotongan atau pelepasantali (adat) pingitan
(keperawanan) orang tua atau keluarga bagi seseorang.pengantin
perempuan yang hendak berumah tangga baru;
4. umbambin pesta prosesi antar-arakan dari keluarga luas pengantin
wanita kepada keluarga luas
pengantin pria;
5. yakyaker pesta pengantaran wanita disertai perabot rumah tangganya
dari keluarga dekat pihak perempuan (orang tua terdekat: bapak-ibu,
saudara-saudara, paman-bibi) untuk seterusnya tinggal bersama suaminya
atau memasuki keluarga pihak keluarga laki-laki;
6. akekdofnan (yaf) 'pesta panenraya).
7. faduren pesta sarat muatan perahu niaga atau keberhasilan
perbarteran antar pulau;
8 samsom pesta permohonan maaf.
9. samsyom syukur puji.
10. fannangki pesta pemberian persembahan hasil panen kepada Tuhan
penguasa langit-bumi.
11. rakmamun pesta kemenanganperang.

4. Wor sebagai Fokus dan Dinamika Hidup Orang Biak
Istilah fokus kebudayaan, seperti yang digunakan untuk mengarahkan diskusi
ini, sesungguhnya mengandung arti bahwa dalam kehidupan setiap suku bangsa
(etnik di mana pun, telah pasti mempunyai kebudayaan inti (culture core). Pada
hakekatnya garis besar konsep kebudayaan itu dapat dilihat sebagai pengetahuan
yang dapat diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan yang dipakai untuk
mengartikan pengalamannya dan menghasilkan tingkah laku social. Untuk
diskusi ini, kita akan melihat kebudayaan itu dari segi perilaku dalam
segi
kognitif (struktur). Berdasarkan pemahaman ini, kebudayaan dapat diartikan
dengan sejumlah perilaku manusia yang berpola sebagai hasil dari suatu
kegiatan (munara-wor). Kebudayaan juga adalah keseluruhan gagasan, ide,
kepercayaan dan pengetahuan manusia dalam suatu masyarakat. Karena itu,
perilaku budaya pada dasarnya ditentukan oleh segi kognisi atau pengetahuan
dan pengalaman manusia dalam suatu masyarakat. Karena itu, perilaku budaya
pada dasarnya ditentukan oleh segi kognisi atau pengetahuan dan pengalaman
manusia. Setiap kebudayaan mengandung berbagai kategori perilaku yang
digunakan manusia untuk memilah-milah dan menggolong-golongkan
pengalaman Sehubungan dengan itu, penulis akan
mencoba mengemukakan wor atau pesta sebagai fokus dalam kebudayaan
Biak. Upacara religi secara universal danpada dasarnya berfungsi
sebagai aktivitas untuk merekonstruksikan kembalaisemangat kehidupan
sosial antar warga masyarakat.
Menrut pengetahuan emik penulis bahwa bila diteliti secara mendalam tentang
rusaknya tatanan atau struktur sosial orang Biak yang terpaket dalam upacara
adat (munara/wor), karena telah dirusak oleh pranata lain. Diduga semangat
membangun dalam kebudayaan Biak menjadi rusak dan renggang oleh karena
beberapa sistem pranata adat Biak diputuskan secara sepihak oleh intervensi
kebudayaan luar sehingga dinamika kehidupan sosial orang Biak tak berdaya
lagi. Oleh karena wor sebagai pranata dan sekaligus menjadi dinamisator atas
prestasi maksimal bagi seseorang, keluarga, kelompok keret atau etnis Biak
sengaja diputuskan maka dinamika hidup orang Biak telah berada di ambang
kepunahan (Kamma, 1981, 1982; Kapissa, 1994; Rumbrawer, 1995). Lihat
struktur struktur Wor sebagai berikut


Hakekat dan Makna Wor Biak
Sebagai mana telah disinggung sepintas pada awal diskusi kita di atas, bahwa
hakekat wor atau pesta Biak adalah pusat kehidupan suku bangsa Biak (culture
core). Mengapa pernyataan hipotesis ini cenderung diabsahkan. Oleh karena jika
kita diskusikan secara mendalam tentang wor maka akan kita jumpai hakekat
dan arti makna hidup seutuhnya dalam terselenggaranya upacara ritual Biak.
Dalam filsafat ekonomi orang Biak telah ditegaskan bahwa " Nko wor va ido, na
nko mar" (Kami akan mati, jika kami tidak bernyanyi). Orang Biak dahulu, telah
menyadari bahwa lagu dan pesta adalah aset kehidupan. Jika melaksanakan
upacara wor akan mendatangkan rejeki dan berkah bagi keluarga dan
masyarakat sekitar. Pernyataan seperti ini telah dinyatakan dalam tema dan syair
lagu beberapa wor Biak kurang lebih dinyatakan sebagai berikut: Ada lagu ada
kehidupan (wor isya kenm isya); ada kehidupan ada makanan (kenm isya anan
isya); ada makanan ada nilai (anan isya vave snonsnon / maseren isya); dan
dapat diakhiri dengan: ada nilai ada pesta inisiasi (vave sno manseren isya
munara isya), dan ada persta akbar ada seberkas kasih dan persatuan klen atau
kampung (munara isya vave oser er mnu isya kako).

Budaya
Orang Biak sebagian besar telah menganut agama Kristen. Tetapi, orang
Biak masih banyak memiliki kepercayaan terhadap para roh, yaitu suatu
kepercayaan yang telah terbentuk dari nenek moyang mereka. Mereka
percaya akan adanya penguasa yang melebihi kekuatan atau kekuasaaan
manusia biasa yang menurut mereka penguasa tersebut mendiami Nanggi
(surga) yang berada di Mandep (langit).
Selain itu, mereka percaya akan adanya penguasa-penguasa yang mendiami
Farsyos (Jagad raya) dan ada juga yang menghuni abyab (gua), karui
beba (batu besar), bon bekaki (gunung tinggi), soren (dasar laut), war
besyab (sungai), ai beba (pohon besar), dan lain-lainnya.

Penguasa yang mendiami Nanggi merupakan pusat kekuatan atau kekuasaan
yang mengatur alam semesta. Penguasa Nanggi (Sang Langit) dikenal
dengan sebutan Manggundi (Dia sendiri). Penguasa-penguasa yang
mendiami Farsyos, abyab, karui beba (batu besar), bon bekaki, dan
lain-lainnya yang disebutkan di atas adalah bersifat roh (spirit).
Roh-roh ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu roh-roh/arwah-arwah
nenek moyang dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia yang
dikenal dengan istilah bahasa Biak yaitu Karwar. Karwar ini mendiami
Farsyos (jagad raya), sup/meos aibui (wilayah/tempat atau pulau yang
merupakan tempat berkumpulnya arwah-arwah itu) dan juga Amfyanir.
Selain itu, roh-roh itu mendiami wilayah-wilayah yang tidak ada
penghuninya (sup bebewursba), seperti lautan luas atau hutan-hutan
belan-tara.

Kedua, roh-roh halus jin. Roh-roh ini dibagi menjadi tiga, yaitu : (a)
roh-roh halus/jin yang mendiami pohon-pohon besar yang dalam istilah
bahasa Biak disebut Arbur; (b) roh-roh halus/jin yang mendiami gua,
gunung, batu, hutan rimba, sungai disebut dabyor, yang dikenal juga
dengan sebutan Manggun (pemilik); dan roh-roh halu /jin yang mendiami
laut atau lautan disebut Faknik.

Hal ini menunjukkan bahwa orang Biak percaya adanya makhluk
supranatural. Agama tradisional mereka mempunyai hubungan erat dengan
mitologi mereka. Tokoh mitologi mereka adalah Manarmakeri yang telah
pergi ke sebelah barat dan dia akan datang kembali untuk memberikan
kebahagian atau kekayaan bagi mereka yang telah lama ditinggalkan.
Mereka percaya bahwa Manggundi yang menjelma sebagai manusia biasa,
yaitu Manarmakeri yang pernah melakukan karya Koreri di Meokbundi
(salah satu pulau di Biak Timur).

Namun, ia tidak diterima oleh masyarakatnya (Orang Biak), sehingga ia
pergi ke bagian barat yaitu Eropa, dan Ia akan kembali kepada mereka
dengan membawa kembali koreri, yaitu dunia Kando Mob Oser, artinya
dunia yang tidak ada kesusahan lagi/dunia bahagia. Selain itu, Wor
merupakan unsur penting dalam agama tradisonal mereka. Dengan demikian
mempunyai sifat religius cukup tinggi.

Oleh karena itu, Wor merupakan suatu perwujudan dari kehidupan
religius yang menurut mereka sangat penting. Dikatakan sangat penting
karena Wor mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas
orang Biak dan merupakan simbol hubungan mereka dengan Penguasa
(Manggundi) dan kerabat-kerabat mereka yang meninggal (Arwah-arwah
nenek moyang).

Dalam kehidupan beragama orang Biak, Wor merupakan suatu kewajiban
yang diatur berdasarkan sistem kekerabatan (patrilineal) dan sistem
perkawinan mereka, sehingga apabila ada keluarga batih yang lalai
melakukannya, maka keluarga tersebut akan mendapat sanksi dari
Manggundi atau arwah-arwah nenek moyang mereka



BAB III
PEMAHAMAN SUKU BIAK TERHADAP MUSIK WOR

Musik Wor dalam kehidupan masyarakat Biak berhubungan erat dengan
upacara keagamaan. Dengan upacara-upacara keagamaan, orang Biak
menyatakan hubungannya dengan "penguasa" yang disembah. Sebelum
masuknya pengaruh agama Kristen, orang Biak percaya akan adanya
penguasa yang melebihi kekuatan atau kekuasaan manusia biasa yang
menurut mereka penguasa tersebut mendiami Nanggi (surga) yang berada
di Mandep (langit). Selain itu, mereka percaya akan adanya
penguasa-penguasa yang mendiami Farscyos (jagad raya) dan ada juga
yang menghuni abyab (gua), karui beba (batu besar), bon bebaki (gunung
tinggi), soren (dasar laut), ai beba (pohon besar), dan lain-lainnya.
Penguasa yang mendiami Nanggi merupakan pusat kekuatan atau kekuasaan
tertinggi yang mengatur alam semesta. Penguasa Nanggi (Sang langit)
dikenal dengan sebutan Mangundi (Dia sendiri). Penguasa-penguasa yang
mendiami Farscyos (jagad raya), abyab (gua), karui beba (batu besar),
bon bebaki (gunung tinggi), soren (dasar laut), ai beba (pohon besar)
, dan lain-lainnya yang disebutkan di atas adalah bersifat roh
(spirit). Roh-roh ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : (1)
Roh-roh/arwah-arwah nenek moyang dan kerabat mereka yang telah
meninggal dunia yang dikenal dengan istilah bahasa Biak yaitu Karwar.
Agama tradisional mereka mempunyai hubungan erat dengan mitologi
mereka. Tokoh mitologi mereka adalah Manarmakeri yang telah pergi ke
sebelah barat dan dia akan datang kembali
1. II. Deskripsi Masyarakat Biak.
Orang Biak adalah salah satu dari 250 suku bangsa di Tanah Papua.
Sekitar 96.000 penduduk tinggal di kabupaten Biak Numfor, yang
meliputi kepulauan Biak, Supiori, dan Numfor, dengan luas 3130 km².
Separuh dari penduduk tinggal di Biak kota. Ibukota kabupaten ini,
yang secara etnis penduduknya campuran, merupakan pusat pemerintahan
dan perekonomian, serta lokasi pelabuhan udara internasional. Biak
Numfor adalah kabupaten yang paling padat penduduknya di Irian Jaya,
dan satu-satunya wilayah yang penduduknya memiliki bahasa dan budaya
yang sama.
Sebelum perang dunia II, Biak terkenal sebagai sarang bajak laut.
Pemerintah Belanda meramalkan bahwa para bajak laut ini akan pindah
atau punah, kalau serangan-serangan meraka talah diberantas.
Kenyataannya, perdagangan merupakan sumber yang lebih jauh penting
dalam menopang kehidupan mereka daripada penjarahan, meski reputasi
Biak yang mengerikan itu sebagian tetap benar. Orang-orang Biak pada
masa lalu adalah pandai besi yang berpindah-pindah, pedagang dan
sewaktu-waktu menjadi pengikut Sultan Tidore. Sekarang kebanyakan
masyarakat menjadi nelayan, pemburu, dan petani yang berpindah-pindah
dengan mudah antara darat dan laut.

Pelaut selalu mendapat posisi yang khusus dalam masyarakat Biak.
Diceritakan bagaimana nenek moyang orang Biak mendayung perahu ke
barat atau selatan manuju Seram, Timor, dan bahkan ke Singapura untuk
mencari harta karun dan budak. Melancong ke "tanah asing' masih
menjadi kebanggaan sekarang dan kualifikasi terbaik untuk menjadi
pemimpin lokal seringkali berupa "pengalamannya di luar". Namun, lebih
penting lagi dari sekedar melancong, adalah bagaimana pengalaman ini
dapat "diterjemahkan" untuk konteks lokal. Para pelancong harus
membuktikan petualangan-petualangan mereka dengan benda-benda,
gelar-gelar, dan teks-teks: porselin China dan Eropa digunakan untuk
mas kawin dan alat tukar menukar dalam upacara; gelar yang diberikan
oleh Sultan Tidore diwariskan, ditukar, dan dijual oleh sanak keluarga
dari yang menerima gelar; kata-kata asing, frasa-frasa, dan
potongan-potongan dari khotbah (yang dihafal dalam kunjungan ke tempat
misionaris) dapat dimasukkan ke dalam cerita-cerita atau lagu-lagu.
Seorang misionaris dan antropolog belanda, F.C. Kamma, menulis:
"orang-orang biak menganggap sesuatu sebagai hal yang aneh hanya bila
hal itu belum menjadi milik mereka. Tetapi, begitu benda tersebut
'dikuasai', pemiliknya itu dianggap memiliki harkat yang sama seperti
yang dimiliki oleh pembajak laut pada masa lampau". Dalam pencarian
status, masyarakat Biak memberikan nilai positif kepada semua elemen
asing, dan benar- benar menyerap elemen-elemen itu, bukanlah hanya
menempelkannya.

Pada jaman ini, orang-orang Biak banyak yang menjadi pilot, ilmuwan,
rektor universitas, dan bintang-bintang sepakbola. Banyak di antara
mereka adalah keturunan dari guru-guru pribumi. Pada tahun 1950-an,
saat usaha-usaha awal untuk mengembangkan daerah tersebut secara
serius, orang Belanda sudah menganggap penduduk Biak sebagai
"orang-orang papua yang paling terpengaruh Barat". Namun orang Biak
masih mempertahankan nilai-nilai dan gaya berpikir lokal mereka. Mas
kawin masih mencerminkan dan menciptakan hubungan-hubungan sosial.
Seorang pegawai negri masih akan meliburkan diri untuk menunggu di
bandara dengan satu kotak umbi taro bagi sanak familinya yang
melancong, oleh-oleh yang bersifat feminin ini melambangkan ikatan
hubungan antara seorang laki-laki dengan saudara petempuan serta
ikatan antara keturunan-keturunan mereka. Seorang paman di Jayapura
mungkin masih bisa memberikan "gelar" pada keponakannya dengan
membiayai kuliahnya di Universitas. Batas-batas antara perkotaan dan
pedesaan Biak tetap dapat ditembus. Penduduk kota kerap kali
mengunjungi sanak keluarganya di desa dan banyak menyumbang pada
proyek-proyek desa. Orang-orang desa gemar sekali berkunjung ke kota
Biak untuk berjualan di pasar, mengunjungi sanak keluarga dan
berbelanja. Namun kedua lingkungan ini tetap mempertahankan
kualitasnya masing-masing. Tidak banyak uang beredar di desa-desa,
dimana mata pencaharian mereka tergantung pada pengaturan barter dan
produksi secara tradisional.

Pesta-pesta megah yang pernah menandai kehidupan sosial masyarakat
Biak sekarang merupakan sesuatu yang telah lampau. Namun, upacara
perkawinan, ulang tahun atau keselamatan pulang dari perjalanan masih
dirayakan dengan kegiatan makan dan minum, menari dan menyanyi
sepanjang malam. Pada masa lalu, nyanyiannya adalah wor. Sekarang
lagu-lagu gereja dan yospan telah menggantikan fungsi wor dalam
kebanyakan perayaan yang diadakan. Tidak mengherankan dengan
kemunduran yang terjadi dalam waktu yang panjang dari genre yang tua
ini; yang lebih mengherankan adalah kehidupannya yang tetap hadir
selama berpuluh-puluh tahun, atau bahkan abad, meskipun ia dilarang
keras. Misionaris yang datang ke teluk Cendrawasih tahun 1855
menemukan "orang-orang kasar tanpa agama","yang membuat pantai-pantai
bergema dengan lagu-lagu perang mereka dan dengan gemuruh gendang dan
suara yang berat, yang mengumandangkan bait-bait kemenangan mereka".
Para misionaris bekerjasama untuk menghapus bentuk-bentuk nyanyian
asli , yang mereka anggap terikat dengan peperangan antar kelompok.
Kalau bisa tetap selamat dari peperangan ini, wor pasti telah memiliki
kedudukan yang kokoh dalam masyarakat lokal, sebagaimana kita akan
melihat jika sekarang kita beralih ke masalah musik masyarakat biak
pada masa lampau.


BAB IV
STRATEGI MEMBAWA INJIL KE SUKU BIAK

Suku biak adalah suku yang memiliki budaya yang disebut Wor. Wor ini
sangat terkenal, wor ini adalah upacara yang biasa di lakukan oleh
suku biak sebagai satu ucapan syukur. Melihat dari latar belakang maka
penulis mengambil kesimpulan bahwa ketika penulis akanmelakukan
pelayanan disana engan mengunakan stratagi wor ssebagai jembatan untuk
memberitakan injil.


BAB V
PENUTUP

A. kesimpulan
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebudayaan inti atau fokus
kebudayaan orang Biak sesungguhnya adalah pelaksanaan wor. Jika wor tidak
dilaksanakan berarti semua sistem kehidupan dan aktivitas hidup orang Biak
akan menjadi lumpuh total, tidak akan bergairah lagi dan akhirnya totalitas
kebudayaan Biak akan punah.
Makna tersirat dalam diskusi ini adalah bahwa akibat dari intervensi
kebudayaan-kebudayaan dominan dan adanya larangan untuk membatasi
berbagai upacara ritual wor Biak, maka fokus dan dinamika kebudayaan Biak
pun punah. Hilanglah makna upacara yang mempertebal perasaan kolektif dan
integrasi sosial orang Biak.

B. Saran
Biarlah dari makalah ini dapat memberikan satu inspirasi bagi setiap
orang yang punya hati dalam pelayanan kontekstual. untuk masuk kedalam
budaya suatu daerah harus melalui konteks budaya setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seseorang di segani dan di hormati bukan karena apa yang di perolehnya, Melainkan apa yang telah di berikannya. Tak berhasil bukan karena gagal tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan hanya orang gagal yang merasa dirinya selalu berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan

BERITA TERKINI

« »
« »
« »
Get this widget

My Blog List

Komentar