NAMA : ARNI LETELAY
NPM :
20100103
Strategi Don Richarson dalam
Menjangkau Suku Sawi di Pedalaman Papua tahun 1962
Don
Richarson adalah seorang misionaris yang melayani di Suku Sawi pedalaman Papua
bersama keluarganya. Panggilannya terhadap suku-suku yang memiliki cara hidup
tidak wajar, dimana kekejaman, berburu manusia sebagai santapan sehari-hari
merupakan cara hidup mereka merupakan suatu panggilan yang sangat jelas dengan
penuh kepastian. Kehadiran Don di Suku Sawi untuk mengubahkan pola pikir
masyarakat suku sawi untuk meninggalkan budaya mereka yang kejam dan mengganti
dengan kasih Kristus Yesus.
Dengan
mengenal dan memahami budaya serta adanya harapan-harapan untuk suku Sawi, Don
Richarson memulai pelayanannya. Suku sawi adalah salah satu suku yang
tertinggal di pulau Papua. Suku sawi memelihara budaya secara turun temurun
yaitu Pengayauan dan Kanibalisme, budaya Penghianatan, budaya Aumaway.
Budaya
Pengayauan sering kali dihubungkan dengan symbol keberanian dan kejantanan
dimana kepala-kepala yang telah dipenggal direbus dan dikeringkan seringkali
bergantungan di rumah dan sering dipakai sebagai bantal kepala. Budaya
Penghianatan menyebabkan suku Sawi menjadi kanibal. Menurut kepercayaan mereka
yang telah diwarisi secara turun temurun dengan memakan daging manusia
(kanibal) merupakan salah satu ambang pintu utama yang harus mereka lewati
untuk mengenal hakekat tertinggi dari kehidupan Sawi dan menjadikan mereka mengerti
kebaikan dan kejahatan. Budaya ini disebabkan karena dendam dan jebakan yang
digunakan yaitu musuh dalam selimut. Disebabkan karena mereka mendengar kisah
penghianatan Yudas, mereka menganggap Yudas adalah pahlawan, mereka kagum akan
penghianatan yang dilakukan Yudas dan Kristus menjadi yang menjadi korban
penghianatan tidak berarti apa-apa. Orang-orang sawi bukan saja kejam tetapi
juga menghormati kekejaman.
Budaya
Aumaway ialah orang yang sakit dan tidk berdaya dipaksa mati sebelum waktunya.
Orang yang pingsan, tidak sadarkan diri atau dalam keadaan koma sudah dianggap
mati. Orang sakit yang sudah mati diupacarakan yang disebut gefam ason yang bertujuan supaya mereka
mengalami pembaharuan tubuh dan mereka tidak mengalami kematian lagi. Persoalan
yang sedang dihadapi oleh suku Sawi adalah persoalan rohani yang belum mereka
temukan jawabannya. Selama ribuan tahun kebudayaan Sawi telah berjuang tanpa
dapat memberikan jawaban yang memuaskan, hanya Injil yang bisa menghentikan
kebiasaan/budaya suku Sawi.
Strategi
yang dilakukan Don Richarson adalah mempelajari bahasa dan budaya orang Sawi,
mengajar orang-orang Sawi untuk membaca dalam bahasa sawi dan menerjemahkan
seluruh Perjanjian Baru ke dalam bahasa orang Sawi, mencari analogi untuk
menjadi jembatan Injil. Don Richarson akhirnya memahami konsep anak perdamaian
yang dilakukan suku Sawi. Konsep anak perdamaian digunakan oleh Don Richarson
untuk menyampaikan pekabaran tentang Allah yang pengampun. Allah telah mengutus
Putera-Nya untuk menjadi pendamai dan mengakhiri perang terhadap dosa dan
kematian. Suku sawi dan haeman membutuhkan anak perdamaian untuk menemukan
kedamaian. Kedamaian itu dapat dimiliki hanya jika hidup dan mencintai sama
seperti Dia yang telah memanggil umat-Nya. Anak Perdamaian Allah, Tuhan kita
Yesus Kristus.
Tanggapan:
Hati
misi yang ada pada Don Richarson membuat setiap orang percaya atau hamba Tuhan
dapat melayani setiap orang-orang yang masih hidup dalam budaya primitive.
Dengan pola-pola yang digunakan oleh Don Richarson, kita dapat belajar mengerti
dan belajar bahasa dari suku yang kita layani, mempelajari budaya orang-orang
yang kita layani, mengajar membaca untuk orang-orang di tempat kita melayani
sehingga ketika kita mengabarkan Injil, mereka dapat memahami, menerima Injil,
dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat. Dengan budaya yang ada
juga kita dapat memperkenalkan Kristus dalam kehidupan orang-orang kita layani.
Pemanfaatan Ritual Ma’nene’ dalam
Masyarakat Toraja sebagai Jalan Masuk untuk Kesaksian Injil
Suku
Toraja merupakan salah satu suku yang berasal dari Indonesia, dengan memiliki
banyak kekayaan alam dan budaya membuat suku Toraja sangat terkenal dan banyak
dikunjungi oleh para wisatawan dalam maupun luar negeri. Suku Toraja sudah
menerima Injil dari para misionaris yang datang ke suku itu sehingga tidak
heran bahwa Suku Toraja merupakan salah satu penduduk yang bermayoritas Kristen.
Suku Toraja dengan kebudayaannya yang unik, dengan julukan Land of the Heavenly Kings yang mungkin tidak ditemukan di tempat
lain di dunia ini dan masih hidup hingga sekarang ini. Begitu banyak situs tua
yang bisa dikunjungi, termasuk pekuburan leluhur seperti situs makam pahat di
Lemo, makam goa purba di Londa, menhir padi dan megalit di antara persawahan,
serta makam aristocrat. Selain itu suku Toraja terkenal dengan adat istiadat
yang masih sangat kental, salah satunya yaitu budaya/ritual ma’nene.
Upacara
ma’nene’ adalah salah satu kegitan ritual adat Toraja, khususnya di Barrupu,
Rinding Allo, Toraja Utara, upcara ini adalah untuk mengganti pakaian Almarhum
sebagai perwujudan rasa cinta dari keluarga yang masih hidup. Upacara ini diadakan
pada bulan agustus dan caranya adalah
peti-peti leluhur, tokoh dan orang tua dikeluarkan dari makam-makam dan liang
batu (kuburan batu adalah kuburan khas orang Toraja, kuburan ini biasanya
terletak di lereng-lereng bukit/gunung batu). Mayat-mayat ini dikeluarkan dan
diganti busana mereka dengan busana baru. Orang-orang yang melaksanakan upacar
ini tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari gangguan jahat, hama
tanaman, juga kesialan hidup.
Upacara
ini diadakan dengan memotong kerbau dan babi. Ketika ritual Ma’nene’ diadakan,
para perantau asal Barrupu akan pulang kampong demi menghormati leluhurnya. Warga
Barrupu percaya, jika ritual Ma’nene’ tidak digelar maka leluhur akan menjaga
mereka. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga
desa, meskipun warga Barrupu salah satu dari suku Toraja yang sudah menerima
Injil.
Ritual
berasal dari sebuah kisah seorang pemburu binatang yang bernama Pong Rumasek
dimana saat ia sedang berburu bukannya menemukan binatang tetapi menemukan
mayat. Ia merawat mayat itu karena merasa kasihan, dengan cara membungkus
tulang-tulang mayat itu dengan pakaiannya dan diletakkan di areal yang lapang
dan layak. Setelah itu, Pong Rumasek selalu mendapatkan hasil buruannya dan
sesampainya di rumah tanaman padinya sudah menguning dan siap dipanen. Sejak
saat itu. Pong Rumasek dan masyarakat Barrupu memuliakan mayat para leluhur.
Tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’nene’.
Tanggapan:
Adat-istiadat
dan kebudayaan sudah mendarah daging oleh setiap suku yang ada di dunia ini.
Setiap manusia yang lahir tentunya tidak bisa menolak yang namanya budaya dan
secara tidak sadar setiap manusia dibesarkan dengan budaya yang ada di daerah
masing-masing. Salah satunya suku Toraja yang memiliki adat istiadat dan
kebudayaan yang dijaga sampai saat ini, misalnya upacara ma’nene’ yang begitu
dihargai oleh mereka. Meskipun bertentangan dengan apa yang diajarkan ternyata
mereka lebih menghormati kebudayaan karena mendapatkan malapetaka ketika mereka
tidak melakukan ritual tersebut.
Masyarakat
Toraja banyak yang menjadi Kristen tetapi ketika upacara ini diadakan mereka
tetap melakukannya seakan-akan mereka tidak percaya dengan Injil yang telah
mereka terima karena takut mendapatkan kutuk dari para Leluhur. Ini menjadi
tugas bagi setiap hamba-hamba Tuhan yang melayani di suku Toraja ini, untuk
memberi pemahaman kepada masyarakat Toraja bahwa yang memberikan kehidupan,
berkat, kesejahteraan, musibah di dunia ini hanyalah Tuhan karena Dialah yang
berkuasa atas dunia ini.
Rambu Solo sebagai gerbang memasuki
Alam Kekal
Suku
Toraja merupakan suku yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang masih sangat
kental, terus dipelihara sampai saat ini. Menurut kepercayaan orang Toraja,
kehidupan di dunia ini hanya sementara saja setelah mereka meninggal maka
mereka akan kembali ke atas yaitu tempat mereka berasal. Sehingga menurut
kepercayaan ada tiga dewa yang mereka percayai yaitu Gaun Tikembong, Pong Banggairante
dan Pong Tulakpadang. Puang Matua tinggal di Zenit, pusat atau puncak langit. Dialah
yang menciptakan ritus-ritus dan manusia pertama bersama nenek moyangnya,
tanaman-tanaman, binatang dan benda-benda mati. Penciptaan itu dilakukan di
langit, kemudian barulah ciptaan itu diturunkan ke dunia tengah (bumi).
Menurut
kepercayaan orang Toraja, setelah meninggal ia akan kembali kekehidupan semua.
Kembalinya kesana dijamin oleh pelaksanaan ritus-ritus yang diwajibkan mulai
dar kehidupan sampai kematian. Ritus kematian atau Rambu solo yaitu cara orang Toraja menguburkan orang mati. Dalam
upacara Rambu Solo ada beberapa faseyang dilakukan sebelum yang meninggal
dikuburkan. Fase-fase itu antara lain: yang pertama dinamakan Ma’karudusan,
dimana akan dipotong dua ekor kerbau, yang kedua Ma’pasa’tedong dimana semua
kerbau yang telah disepakati untuk dijadikan korban akan dikumpulkan di halaman
tongkonan tempat jenazah dimakamkan. Puncak acara ialah semua kerbau yang akan
dikorbankan dipotong dan dibagikan sesuai adat yang berlaku.
Kepercayaan
ini terus dilakukan karena menurut mereka jika seseorang yang meninggal belum
diupacarakan, maka ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Upacara
rambu solo tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan masyarakat Toraja, sehingga
akan terus diturunkan sampai ke semua keturunan.. ini yang menjadi pergumulan
bagi setiap orang-orang suku Toraja untuk memenuhi setiap ritual dari
kebudayaan mereka. Karena ini ada kewajiban bagi setiap keluarga suku Toraja
untuk menjalankan upacara ritual ini, sehingga tidak heran jika upacara ini
diadakan banyak keluarga yang berhutang karena tidak mampu membiayai
pelaksanaan upacara ini. Bertemunya Injil dan Budaya tentu akan menjadi suatu
pertentanga bagi setiap suku yang sudah hidup dalam kebudayaan mereka
masing-masing, termasuk suku Toraja ini. Meskipun banyak sudah menjadi Kristen
tetapi yang namanya kebudayaan tidak pernah lepas bahkan hilang dari kehidupan
mereka. Sehingga mereka masih mengutamakan kebiasaan dari budaya mereka. Dengan
adanya pengetahuan dan wawasan dari setiap anak-anak Tuhan yang melayani di
suku Toraja ini dapat membuka wawasn mereka untuk membedakan mana yang harus
dilakukan dan mana yang harus dibuang meskipun banyak pertentangan dan
penolakan. Tetapi dengan penyertaan Kristus dan Kasih-Nya memampukan setiap
kita yang melayani di berbagai suku dengan baik dan tanpa adanya perselisihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar