5 Maret 2013

Tugas Teologi Kontesktual


NAMA           : ARNI LETELAY
NPM               : 20100103
Strategi Don Richarson dalam Menjangkau Suku Sawi di Pedalaman Papua tahun 1962
Don Richarson adalah seorang misionaris yang melayani di Suku Sawi pedalaman Papua bersama keluarganya. Panggilannya terhadap suku-suku yang memiliki cara hidup tidak wajar, dimana kekejaman, berburu manusia sebagai santapan sehari-hari merupakan cara hidup mereka merupakan suatu panggilan yang sangat jelas dengan penuh kepastian. Kehadiran Don di Suku Sawi untuk mengubahkan pola pikir masyarakat suku sawi untuk meninggalkan budaya mereka yang kejam dan mengganti dengan kasih Kristus Yesus.
Dengan mengenal dan memahami budaya serta adanya harapan-harapan untuk suku Sawi, Don Richarson memulai pelayanannya. Suku sawi adalah salah satu suku yang tertinggal di pulau Papua. Suku sawi memelihara budaya secara turun temurun yaitu Pengayauan dan Kanibalisme, budaya Penghianatan, budaya Aumaway.
Budaya Pengayauan sering kali dihubungkan dengan symbol keberanian dan kejantanan dimana kepala-kepala yang telah dipenggal direbus dan dikeringkan seringkali bergantungan di rumah dan sering dipakai sebagai bantal kepala. Budaya Penghianatan menyebabkan suku Sawi menjadi kanibal. Menurut kepercayaan mereka yang telah diwarisi secara turun temurun dengan memakan daging manusia (kanibal) merupakan salah satu ambang pintu utama yang harus mereka lewati untuk mengenal hakekat tertinggi dari kehidupan Sawi dan menjadikan mereka mengerti kebaikan dan kejahatan. Budaya ini disebabkan karena dendam dan jebakan yang digunakan yaitu musuh dalam selimut. Disebabkan karena mereka mendengar kisah penghianatan Yudas, mereka menganggap Yudas adalah pahlawan, mereka kagum akan penghianatan yang dilakukan Yudas dan Kristus menjadi yang menjadi korban penghianatan tidak berarti apa-apa. Orang-orang sawi bukan saja kejam tetapi juga menghormati kekejaman.
Budaya Aumaway ialah orang yang sakit dan tidk berdaya dipaksa mati sebelum waktunya. Orang yang pingsan, tidak sadarkan diri atau dalam keadaan koma sudah dianggap mati. Orang sakit yang sudah mati diupacarakan yang disebut gefam ason yang bertujuan supaya mereka mengalami pembaharuan tubuh dan mereka tidak mengalami kematian lagi. Persoalan yang sedang dihadapi oleh suku Sawi adalah persoalan rohani yang belum mereka temukan jawabannya. Selama ribuan tahun kebudayaan Sawi telah berjuang tanpa dapat memberikan jawaban yang memuaskan, hanya Injil yang bisa menghentikan kebiasaan/budaya suku Sawi.
Strategi yang dilakukan Don Richarson adalah mempelajari bahasa dan budaya orang Sawi, mengajar orang-orang Sawi untuk membaca dalam bahasa sawi dan menerjemahkan seluruh Perjanjian Baru ke dalam bahasa orang Sawi, mencari analogi untuk menjadi jembatan Injil. Don Richarson akhirnya memahami konsep anak perdamaian yang dilakukan suku Sawi. Konsep anak perdamaian digunakan oleh Don Richarson untuk menyampaikan pekabaran tentang Allah yang pengampun. Allah telah mengutus Putera-Nya untuk menjadi pendamai dan mengakhiri perang terhadap dosa dan kematian. Suku sawi dan haeman membutuhkan anak perdamaian untuk menemukan kedamaian. Kedamaian itu dapat dimiliki hanya jika hidup dan mencintai sama seperti Dia yang telah memanggil umat-Nya. Anak Perdamaian Allah, Tuhan kita Yesus Kristus.
Tanggapan:
Hati misi yang ada pada Don Richarson membuat setiap orang percaya atau hamba Tuhan dapat melayani setiap orang-orang yang masih hidup dalam budaya primitive. Dengan pola-pola yang digunakan oleh Don Richarson, kita dapat belajar mengerti dan belajar bahasa dari suku yang kita layani, mempelajari budaya orang-orang yang kita layani, mengajar membaca untuk orang-orang di tempat kita melayani sehingga ketika kita mengabarkan Injil, mereka dapat memahami, menerima Injil, dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat. Dengan budaya yang ada juga kita dapat memperkenalkan Kristus dalam kehidupan orang-orang kita layani.  

 
Pemanfaatan Ritual Ma’nene’ dalam Masyarakat Toraja sebagai Jalan Masuk untuk Kesaksian Injil
Suku Toraja merupakan salah satu suku yang berasal dari Indonesia, dengan memiliki banyak kekayaan alam dan budaya membuat suku Toraja sangat terkenal dan banyak dikunjungi oleh para wisatawan dalam maupun luar negeri. Suku Toraja sudah menerima Injil dari para misionaris yang datang ke suku itu sehingga tidak heran bahwa Suku Toraja merupakan salah satu penduduk yang bermayoritas Kristen. Suku Toraja dengan kebudayaannya yang unik, dengan julukan Land of the Heavenly Kings yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain di dunia ini dan masih hidup hingga sekarang ini. Begitu banyak situs tua yang bisa dikunjungi, termasuk pekuburan leluhur seperti situs makam pahat di Lemo, makam goa purba di Londa, menhir padi dan megalit di antara persawahan, serta makam aristocrat. Selain itu suku Toraja terkenal dengan adat istiadat yang masih sangat kental, salah satunya yaitu budaya/ritual ma’nene.
Upacara ma’nene’ adalah salah satu kegitan ritual adat Toraja, khususnya di Barrupu, Rinding Allo, Toraja Utara, upcara ini adalah untuk mengganti pakaian Almarhum sebagai perwujudan rasa cinta dari keluarga yang masih hidup. Upacara ini diadakan pada  bulan agustus dan caranya adalah peti-peti leluhur, tokoh dan orang tua dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu (kuburan batu adalah kuburan khas orang Toraja, kuburan ini biasanya terletak di lereng-lereng bukit/gunung batu). Mayat-mayat ini dikeluarkan dan diganti busana mereka dengan busana baru. Orang-orang yang melaksanakan upacar ini tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.
Upacara ini diadakan dengan memotong kerbau dan babi. Ketika ritual Ma’nene’ diadakan, para perantau asal Barrupu akan pulang kampong demi menghormati leluhurnya. Warga Barrupu percaya, jika ritual Ma’nene’ tidak digelar maka leluhur akan menjaga mereka. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa, meskipun warga Barrupu salah satu dari suku Toraja yang sudah menerima Injil.
Ritual berasal dari sebuah kisah seorang pemburu binatang yang bernama Pong Rumasek dimana saat ia sedang berburu bukannya menemukan binatang tetapi menemukan mayat. Ia merawat mayat itu karena merasa kasihan, dengan cara membungkus tulang-tulang mayat itu dengan pakaiannya dan diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong Rumasek selalu mendapatkan hasil buruannya dan sesampainya di rumah tanaman padinya sudah menguning dan siap dipanen. Sejak saat itu. Pong Rumasek dan masyarakat Barrupu memuliakan mayat para leluhur. Tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’nene’.
Tanggapan:
Adat-istiadat dan kebudayaan sudah mendarah daging oleh setiap suku yang ada di dunia ini. Setiap manusia yang lahir tentunya tidak bisa menolak yang namanya budaya dan secara tidak sadar setiap manusia dibesarkan dengan budaya yang ada di daerah masing-masing. Salah satunya suku Toraja yang memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang dijaga sampai saat ini, misalnya upacara ma’nene’ yang begitu dihargai oleh mereka. Meskipun bertentangan dengan apa yang diajarkan ternyata mereka lebih menghormati kebudayaan karena mendapatkan malapetaka ketika mereka tidak melakukan ritual tersebut.
Masyarakat Toraja banyak yang menjadi Kristen tetapi ketika upacara ini diadakan mereka tetap melakukannya seakan-akan mereka tidak percaya dengan Injil yang telah mereka terima karena takut mendapatkan kutuk dari para Leluhur. Ini menjadi tugas bagi setiap hamba-hamba Tuhan yang melayani di suku Toraja ini, untuk memberi pemahaman kepada masyarakat Toraja bahwa yang memberikan kehidupan, berkat, kesejahteraan, musibah di dunia ini hanyalah Tuhan karena Dialah yang berkuasa atas dunia ini.
 

Rambu Solo sebagai gerbang memasuki Alam Kekal
Suku Toraja merupakan suku yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang masih sangat kental, terus dipelihara sampai saat ini. Menurut kepercayaan orang Toraja, kehidupan di dunia ini hanya sementara saja setelah mereka meninggal maka mereka akan kembali ke atas yaitu tempat mereka berasal. Sehingga menurut kepercayaan ada tiga dewa yang mereka percayai yaitu Gaun Tikembong, Pong Banggairante dan Pong Tulakpadang. Puang Matua tinggal di Zenit, pusat atau puncak langit. Dialah yang menciptakan ritus-ritus dan manusia pertama bersama nenek moyangnya, tanaman-tanaman, binatang dan benda-benda mati. Penciptaan itu dilakukan di langit, kemudian barulah ciptaan itu diturunkan ke dunia tengah (bumi).
Menurut kepercayaan orang Toraja, setelah meninggal ia akan kembali kekehidupan semua. Kembalinya kesana dijamin oleh pelaksanaan ritus-ritus yang diwajibkan mulai dar kehidupan sampai kematian. Ritus kematian atau Rambu solo yaitu cara orang Toraja menguburkan orang mati. Dalam upacara Rambu Solo ada beberapa faseyang dilakukan sebelum yang meninggal dikuburkan. Fase-fase itu antara lain: yang pertama dinamakan Ma’karudusan, dimana akan dipotong dua ekor kerbau, yang kedua Ma’pasa’tedong dimana semua kerbau yang telah disepakati untuk dijadikan korban akan dikumpulkan di halaman tongkonan tempat jenazah dimakamkan. Puncak acara ialah semua kerbau yang akan dikorbankan dipotong dan dibagikan sesuai adat yang berlaku.
Kepercayaan ini terus dilakukan karena menurut mereka jika seseorang yang meninggal belum diupacarakan, maka ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Upacara rambu solo tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan masyarakat Toraja, sehingga akan terus diturunkan sampai ke semua keturunan.. ini yang menjadi pergumulan bagi setiap orang-orang suku Toraja untuk memenuhi setiap ritual dari kebudayaan mereka. Karena ini ada kewajiban bagi setiap keluarga suku Toraja untuk menjalankan upacara ritual ini, sehingga tidak heran jika upacara ini diadakan banyak keluarga yang berhutang karena tidak mampu membiayai pelaksanaan upacara ini. Bertemunya Injil dan Budaya tentu akan menjadi suatu pertentanga bagi setiap suku yang sudah hidup dalam kebudayaan mereka masing-masing, termasuk suku Toraja ini. Meskipun banyak sudah menjadi Kristen tetapi yang namanya kebudayaan tidak pernah lepas bahkan hilang dari kehidupan mereka. Sehingga mereka masih mengutamakan kebiasaan dari budaya mereka. Dengan adanya pengetahuan dan wawasan dari setiap anak-anak Tuhan yang melayani di suku Toraja ini dapat membuka wawasn mereka untuk membedakan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dibuang meskipun banyak pertentangan dan penolakan. Tetapi dengan penyertaan Kristus dan Kasih-Nya memampukan setiap kita yang melayani di berbagai suku dengan baik dan tanpa adanya perselisihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seseorang di segani dan di hormati bukan karena apa yang di perolehnya, Melainkan apa yang telah di berikannya. Tak berhasil bukan karena gagal tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan hanya orang gagal yang merasa dirinya selalu berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan

BERITA TERKINI

« »
« »
« »
Get this widget

My Blog List

Komentar