BAB
1 PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang Masalah
Sebagian
budaya dalam sejarah menghargai pentingnya perkawinan dan kelanggengannya lebih
dari budaya-budaya lain, sebagian seperti dunia barat abad 21,memandang
rendah,menyepelekan dan tidak menghargai perkawinan.
Di Negara
kita Indonesia sendiri sudah banyak terjadi kasus Kawin Cerai. Ketika kita
menonton Infotaiment atau membaca Koran kita bisa membaca atau melihat baik
dimedia masa dan media Elektronik kasus perceraian bukanlah hal yang tabu lagi
tapi menjadi kasus yang biasa apalagi dikalangan selebritis dengan mudahnya
mereka berganti pasangan,menikah lagi dengan orang lain yang menurut mereka
adalah pasangan yang cocok dan akhir-akhir ini kasus kawin cerai sepertinya
menjadi konsumsi public yang layak untuk diperbincangkan mereka sepertinya
tidak merasa malu ketika hal-hal yang menyangkut masalah pribadi atau rumah
tangga mereka dikonsumsi oleh public.
Bercermin Dari
hal-hal diatas karena kurangnya pemahaman tentang makna Perkawinan yang
sesungguhnya bahkan banyak diantara mereka adalah orang-orang percaya yang
tidak memahami arti penting dari perkawinan sehingga mereka dengan mudahnya
melakukan Perceraian.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
Pernikahan itu menurut pandangan Alkitab?
2. Bagaimanakah
tanggapan Alkitab tentang Perceraian?
C. Tujuan Penulisan
1. Dengan
memahami Alkitab dengan Benar kita dapat menghargai Makna perkawinan yang
sesungguhnya
2. Untuk
memberikan jawaban yang tepat kepada orang Kristen dan non Kristen yang memiliki
pemahaman yang kurang tepat tentang Perceraian
BAB
II PANDANGAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN
DAN PERCERAIAN
Perkawinan Menurut Perjanjian Baru
Perkawinan
adalah suatu kemitraan yang permanen yang dibuat dengan komitmen di antara
seorang wanita dan pria. Ada dalam Alkitab, Dan sesudah itu Ia berkata, 'Itu
sebabnya laki-laki meninggalkan ibu bapaknya dan bersatu dengan istrinya, maka
keduanya menjadi satu.' Jadi mereka bukan lagi dua orang, tetapi satu. Itu
sebabnya apa yang sudah disatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh
manusia (Matius 19:5-6, BIS).
Bagaimana
seharusnya hubungan suami-suami kepada istri-istri mereka? Ada dalam
Alkitab,Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi
jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia
menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan
demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat
atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri:
Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri (Efesus 5:25-28).
Suami-suami seharusnya menghormati istri-istri mereka. Ada dalam
Alkitab,Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan
isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman
pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang (1
Petrus 3:7).
Bagaimana
seharusnya hubungan istri-istri kepada suami-suami mereka? Ada dalam Alkitab, Hai
isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah
kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang
menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus,
demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu (Efesus 5:22-24).
Petunjuk
apakah yang diberikan sehubungan dengan pasangan perkawinan? Ada dalam Alkitab,
Janganlah mau menjadi sekutu orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus; itu
tidak cocok. Mana mungkin kebaikan berpadu dengan kejahatan! Tidak mungkin
terang bergabung dengan gelap (2 Korintus 6:14).
Romantika
dan karunia seks diberkati oleh Allah apabila dilakukan dalam ikatan
perkawinan. Ada dalam Alkitab,Sebab itu, hendaklah engkau berbahagia dengan
istrimu sendiri; carilah kenikmatan pada gadis yang telah kaunikahi -- gadis
jelita dan lincah seperti kijang. Biarlah kemolekan tubuhnya selalu membuat
engkau tergila-gila dan asmaranya memabukkan engkau (Amsal 5:18-19). *BIS =
Bahasa Indonesia Sehari-hari
Sebagai
mempelai laki-laki (Mat. 25:1-13 ; Mrk. 2:15 ; bnd. Mat. 22:1-4). Dia memberkati perkawinan
yang terjadi di Kanaan (Yoh. 2:1-11). Dalam ajaran-Nya, Dia tidak membedakan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Allah.
Paulus memiliki pandangan yang agak
berlainan dengan penulis Injil Matius. Di satu sisi Paulus tidak menganjurkan
perkawinan sebagai pilihan utama dalam hidup (1Kor 7,7),akan tetapi di lain sisi Paulus sangat menghargai perkawinan. Paulus
menegaskan pada jemaatnya bahwa perintah Yesus agar orang yang
telah menikah tidak bercerai (1Kor 7,10-11)
Akan tetapi,
Paulus juga terbuka pada berbagai persoalan yang terjadi dalam perkawinan. Salah satu
tanggapannya adalah memperkenankan adanya perceraian dari orangkristiani yang menikah dengan orang yang non-kristiani
dengan syarat-syarat tertentu.
Perkawinan kristiani bukan hanya
merupakan tanda hubungan antara Kristus dan Gereja- Nya, melainkan kehidupan bersama dalam perkawinan ikut ambil
bagian dalam misteri agung dari kasih Kristus yang tak terputuskan
dengan Gereja-Nya. Jadi, cinta kasih antara Kristusdan Gereja-Nya kini hadir dan terpantul dalam cinta kasih suami-istri
dalam sakramen perkawinan.
Pernikahan itu adalah Anugerah Allah
yang tidak ternilai harganya. Tuhanlahyang menetapkan lembaga keluarga. Oleh
sebab itu, peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan merupakan persekutuan hidup
yang tidak bisa dibatalkan oleh manusia dan dilakukan sebagai proses uji
coba. Pernikahan itu merupakan penyerahan diri, tubuh dan jiwa kepada Tuhan dankepada pasangannya. Pernikahan mempunyai dasar
yang teguh yang didasarkan dariungkapan
Yesus Kristus “ Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan
manusia”,
(Mat 19:6). Dengan demikian
pernikahan Kristen di ikat atas suatu perjanjian yang murni dihadapan Allah, bukan di ikat oleh perasaan
manusia saja.
PERKAWINAN
MENURUT PERJANJIAN LAMA
Ikatan permanen antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam perkawinan yang diresmikan oleh Allah sendiri sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 1:26-27). Perkawinan dalam PL diterima sebagai suatu norma umum (tidak ada kata "bujangan" dalam bahasa Ibrani). Ketika Allah memberikan Hawa kepada Adam, dikatakan, "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku" (Kej. 2:23) sebagai pengakuan Adam akan keserupaan dan kesepadanannya dengan Hawa. Hubungan permanen perkawinan/pernikahan yang harmonis yang diciptakan oleh Allah ini rusak setelah manusia jatuh dalam dosa. Dan sejak itu, institusi pernikahan menjadi kabur dan akibatnya manusia lebih cenderung untuk merusak daripada mempertahankannya. Dalam seluruh PL ada ditunjukkan bentuk-bentuk penyelewengan pernikahan yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Israel, misalnya dalam praktek-praktek poligami dan perceraian
STATUS PERNIKAHAN
Pernikahan dianggap wajar dan dalam PL tak ada sebutan untuk 'lajang'. Berita tentang penciptaan Hawa (Kejadian 2:18-24) menunjukkan hubungan yg unik antara suami dan istri, juga menyajikan gambar tentang hubungan Allah dengan umat-Nya (Yeremia 3; Yehezkiel 16; Hosea 1-3) juga hubungan Kristus dengan gereja-Nya (Efesus 5:22-33). Perintah kepada Yeremia supaya tidak menikah (Yeremia 16:2) adalah tanda kenabian yg unik; namun dalam PB diketahui bahwa untuk maksud-maksud tertentu melajang bisa merupakan ketentuan Allah bagi seorang Kristen (Matius 19:10-12; 1 Korintus 7:7-9), tapi pernikahan dan kehidupan berkeluarga adalah sesuatu yg wajar (Yohanes 2:1-11; Efesus 5:22-6:4; 1 Timotius 3:2; 4:3; 5:14).
Monogami secara implisit tersirat dalam cerita tentang Adam dan Hawa, sebab Allah menciptakan hanya satu istri bagi Adam. Tapi poligami dibiarkan sejak zaman Lamekh (Kejadian 4:19) dan tidak dilarang dalam Alkitab. Nampaknya Allah membiarkan manusia menggumuli hal itu dengan mencari tau dari pengalamannya sendiri, bahwa monogami adalah asli aturan-Nya dan itulah hubungan yg sewajarnya. Jelas ditunjukkan bahwa poligami menimbulkan kesukaran-kesukaran, dan sering menimbulkan dosa, misalnya Abraham (Kejadian 21); Gideon (Hakim 8:29-9:57); Daud (2 Sam 11; 13); Salomo (1 Raj 11:1-8). Belajar dari kebiasaan-kebiasaan Timur, raja-raja Israel diperingatkan supaya menentang poligami (Ulangan 17:17). Kecemburuan dalam keluarga timbul karena poligami, seperti halnya kedua istri Elkana saling memusuhi (1 Samuel 1:6; bnd Imamat 18:18). Sukar diketahui betapa jauh poligami dipraktikkan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi poligami mungkin lebih banyak di kalangan orang berada daripada orang biasa. Herodes Agung pada suatu waktu mempunyai sembilan istri (Jos., Ant. 17. 19). Sampai kini orang Yahudi yg tinggal di negeri-negeri Muslim mempraktikkan poligami.
Sementara poligami dipraktikkan, maka status dan hubungan antar para istri dapat dikumpulkan baik dari cerita-cerita Alkitab maupun hukum. Adalah biasa jika seorang suami lebih tertarik kepada istri yg satu daripada istri yg satu lagi. Demikianlah Yakub, yg tertipu berpoligami, lebih mencintai Rahel daripada Lea (Kejadian 29). Elkana lebih mengutamakan Hana kendati tidak melahirkan anak (1 Samuel 1:18). Dalam Ulangan 21:15-17 dikatakan bahwa seorang suami akan mencintai istri yg satu dan membenci yg lain.
Karena anak sangat penting dalam kelanjutan nama keluarga, maka seorang istri yg mandul boleh jadi mengizinkan suaminya mengambil hambanya perempuan, untuk melahirkan anak bagi istri tersebut. Ini sah menurut hukum sipil Mesopotamia (lih Kode Hammurabi, §§ 144-147), dan dipraktikkan oleh Sara dan Abraham (Kejadian 16), juga oleh Rahel dan Yakub (Kejadian 30:1-8), tapi Yakub bertindak lebih jauh lagi, yakni mengambil hamba Lea juga sekalipun Lea sudah melahirkan anak bagi Yakub (Kejadian 30:9). Dalam kejadian-kejadian ini hak-hak istri dijamin; istrilah yg memberikan hambanya kepada suaminya karena suatu kasus khusus. Memang sukar menentukan kedudukan apa yg dimiliki hamba perempuan dalam kasus di atas; kedudukannya cenderung sebagai 'istri serep' ketimbang istri kedua. Bila suami terus mempunyai hubungan seksual dengan hambanya perempuan itu, maka ia menjadi gundik. Barangkali inilah sebabnya, mengapa Bilha disebut gundik Yakub dalam Kejadian 35:22, sedang Hagar tidak digolongkan dalam gundik-gundik Abraham dalam 25:6.
Istri (bagi orang Ibrani) biasanya dipilih dari perempuan Ibrani (ump Nehemia 13:23-28). Pertunangan dan pernikahan dilaksanakan menurut acara-acara tertentu (lih di bawah). Kadang-kadang mereka dibeli sebagai hamba Ibrani (Keluaran 21:7-11; Nehemia 5:5). Dikatakan bahwa kepala keluarga mempunyai hak bersetubuh dengan semua hambanya perempuan. Tentu ada contoh-contoh mencolok mengenai hal ini, tapi Alkitab tidak menyinggungnya. Perlu diperhatikan bahwa Keluaran 21:7-11 dan Ulangan 15:12 membedakan hamba perempuan biasa, yg harus dibebaskan sesudah 7 thn, dari hamba perempuan yg sengaja diambil menjadi istri, atau gundik, yg tidak boleh dengan sendirinya minta bebas. Karena hak-hak hamba perempuan yg telah dijadikan istri atau gundik itu dilindungi oleh hukum, maka kepala keluarga atau anaknya harus melaksanakan sesuatu upacara pensahihan, bagaimanapun sederhananya, sesuai hukum. Dalam membicarakan hak-haknya, acuan di atas tidak menentukan hak-hak itu tergantung pada ucapannya melampaui ucapan kepala keluarga, juga tidak tergantung pada perihal ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi kepala keluarga itu atau bagi putranya. Sukar sekali mengatakan apa kedudukan hamba perempuan itu. Tentu kedudukan itu berbeda-beda sesuai kenyataan apakah dia istri pertama, kedua atau satu-satunya dari kepala keluarga. Jika dia diberikan kepada putra keluarga itu, dia bisa mendapat kedudukan penuh sebagai istri. Kenyataan ialah, bahwa hukum ini, seperti terlihat dari acuan terkait, menentukan haknya sebagai hamba dan bukan terutama sebagai istri.
Istri boleh juga diambil dari tawanan perang, dengan syarat tidak boleh orang Kanaan (Ulangan 20:14-18). Ada penulis yg menganggap tawanan ini sebagai gundik, tapi peraturan dalam Ulangan 21:10-14 memandang mereka sebagai istri biasa.
Tidak ada hukum mengenai gundik, dan kita tidak tahu apa hak mereka. Jelas kedudukan mereka lebih rendah dari kedudukan istri, tapi anak-anak mereka bisa turut menjadi pewaris atas pertimbangan bapaknya (Kejadian 25:6). Kitab Hak menceritakan bangkitnya kekuasaan Abimelekh, anak gundik Gideon (Hakim 8:31-9:57), dan mencatat peristiwa tragis seorang Lewi dengan gundiknya (Hakim 19). Kesan yg diberikan 19:2-4 ialah, bahwa gundik ini bebas meninggalkan 'suaminya', dan hanya dengan bujukan dia dapat dibawa pulang. Daud dan Salomo mengikuti raja-raja Timur mengambil banyak istri dan gundik (2 Samuel 5:13; 1 Raja 11:3; Kidung 6:8-9). Dalam kedua ay terakhir agaknya gundik-gundik itu diambil dari golongan bawah.
Dalam pernikahan biasa pengantin perempuan yg pindah ke rumah laki-laki. Tapi dalam Hakim 14-15 ada bentuk pernikahan lain. Inilah yg dipraktikkan oleh orang Filistin, tapi tidak oleh orang Israel. Di sini istri Simson tetap tinggal di rumah bapaknya, dan Simson yg mendatanginya. Bisa diberikan alasan bahwa Simson bermaksud membawa istrinya ke rumahnya sesudah pernikahan, tapi Simson pergi sendirian karena mengamuk sesudah istrinya menipu dia. Dan si istri masih tetap di rumah bapaknya menurut 15:1, walaupun kemudian dia dikawinkan dengan seorang Filistin.
Pernikahan dianggap wajar dan dalam PL tak ada sebutan untuk 'lajang'. Berita tentang penciptaan Hawa (Kejadian 2:18-24) menunjukkan hubungan yg unik antara suami dan istri, juga menyajikan gambar tentang hubungan Allah dengan umat-Nya (Yeremia 3; Yehezkiel 16; Hosea 1-3) juga hubungan Kristus dengan gereja-Nya (Efesus 5:22-33). Perintah kepada Yeremia supaya tidak menikah (Yeremia 16:2) adalah tanda kenabian yg unik; namun dalam PB diketahui bahwa untuk maksud-maksud tertentu melajang bisa merupakan ketentuan Allah bagi seorang Kristen (Matius 19:10-12; 1 Korintus 7:7-9), tapi pernikahan dan kehidupan berkeluarga adalah sesuatu yg wajar (Yohanes 2:1-11; Efesus 5:22-6:4; 1 Timotius 3:2; 4:3; 5:14).
Monogami secara implisit tersirat dalam cerita tentang Adam dan Hawa, sebab Allah menciptakan hanya satu istri bagi Adam. Tapi poligami dibiarkan sejak zaman Lamekh (Kejadian 4:19) dan tidak dilarang dalam Alkitab. Nampaknya Allah membiarkan manusia menggumuli hal itu dengan mencari tau dari pengalamannya sendiri, bahwa monogami adalah asli aturan-Nya dan itulah hubungan yg sewajarnya. Jelas ditunjukkan bahwa poligami menimbulkan kesukaran-kesukaran, dan sering menimbulkan dosa, misalnya Abraham (Kejadian 21); Gideon (Hakim 8:29-9:57); Daud (2 Sam 11; 13); Salomo (1 Raj 11:1-8). Belajar dari kebiasaan-kebiasaan Timur, raja-raja Israel diperingatkan supaya menentang poligami (Ulangan 17:17). Kecemburuan dalam keluarga timbul karena poligami, seperti halnya kedua istri Elkana saling memusuhi (1 Samuel 1:6; bnd Imamat 18:18). Sukar diketahui betapa jauh poligami dipraktikkan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi poligami mungkin lebih banyak di kalangan orang berada daripada orang biasa. Herodes Agung pada suatu waktu mempunyai sembilan istri (Jos., Ant. 17. 19). Sampai kini orang Yahudi yg tinggal di negeri-negeri Muslim mempraktikkan poligami.
Sementara poligami dipraktikkan, maka status dan hubungan antar para istri dapat dikumpulkan baik dari cerita-cerita Alkitab maupun hukum. Adalah biasa jika seorang suami lebih tertarik kepada istri yg satu daripada istri yg satu lagi. Demikianlah Yakub, yg tertipu berpoligami, lebih mencintai Rahel daripada Lea (Kejadian 29). Elkana lebih mengutamakan Hana kendati tidak melahirkan anak (1 Samuel 1:18). Dalam Ulangan 21:15-17 dikatakan bahwa seorang suami akan mencintai istri yg satu dan membenci yg lain.
Karena anak sangat penting dalam kelanjutan nama keluarga, maka seorang istri yg mandul boleh jadi mengizinkan suaminya mengambil hambanya perempuan, untuk melahirkan anak bagi istri tersebut. Ini sah menurut hukum sipil Mesopotamia (lih Kode Hammurabi, §§ 144-147), dan dipraktikkan oleh Sara dan Abraham (Kejadian 16), juga oleh Rahel dan Yakub (Kejadian 30:1-8), tapi Yakub bertindak lebih jauh lagi, yakni mengambil hamba Lea juga sekalipun Lea sudah melahirkan anak bagi Yakub (Kejadian 30:9). Dalam kejadian-kejadian ini hak-hak istri dijamin; istrilah yg memberikan hambanya kepada suaminya karena suatu kasus khusus. Memang sukar menentukan kedudukan apa yg dimiliki hamba perempuan dalam kasus di atas; kedudukannya cenderung sebagai 'istri serep' ketimbang istri kedua. Bila suami terus mempunyai hubungan seksual dengan hambanya perempuan itu, maka ia menjadi gundik. Barangkali inilah sebabnya, mengapa Bilha disebut gundik Yakub dalam Kejadian 35:22, sedang Hagar tidak digolongkan dalam gundik-gundik Abraham dalam 25:6.
Istri (bagi orang Ibrani) biasanya dipilih dari perempuan Ibrani (ump Nehemia 13:23-28). Pertunangan dan pernikahan dilaksanakan menurut acara-acara tertentu (lih di bawah). Kadang-kadang mereka dibeli sebagai hamba Ibrani (Keluaran 21:7-11; Nehemia 5:5). Dikatakan bahwa kepala keluarga mempunyai hak bersetubuh dengan semua hambanya perempuan. Tentu ada contoh-contoh mencolok mengenai hal ini, tapi Alkitab tidak menyinggungnya. Perlu diperhatikan bahwa Keluaran 21:7-11 dan Ulangan 15:12 membedakan hamba perempuan biasa, yg harus dibebaskan sesudah 7 thn, dari hamba perempuan yg sengaja diambil menjadi istri, atau gundik, yg tidak boleh dengan sendirinya minta bebas. Karena hak-hak hamba perempuan yg telah dijadikan istri atau gundik itu dilindungi oleh hukum, maka kepala keluarga atau anaknya harus melaksanakan sesuatu upacara pensahihan, bagaimanapun sederhananya, sesuai hukum. Dalam membicarakan hak-haknya, acuan di atas tidak menentukan hak-hak itu tergantung pada ucapannya melampaui ucapan kepala keluarga, juga tidak tergantung pada perihal ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi kepala keluarga itu atau bagi putranya. Sukar sekali mengatakan apa kedudukan hamba perempuan itu. Tentu kedudukan itu berbeda-beda sesuai kenyataan apakah dia istri pertama, kedua atau satu-satunya dari kepala keluarga. Jika dia diberikan kepada putra keluarga itu, dia bisa mendapat kedudukan penuh sebagai istri. Kenyataan ialah, bahwa hukum ini, seperti terlihat dari acuan terkait, menentukan haknya sebagai hamba dan bukan terutama sebagai istri.
Istri boleh juga diambil dari tawanan perang, dengan syarat tidak boleh orang Kanaan (Ulangan 20:14-18). Ada penulis yg menganggap tawanan ini sebagai gundik, tapi peraturan dalam Ulangan 21:10-14 memandang mereka sebagai istri biasa.
Tidak ada hukum mengenai gundik, dan kita tidak tahu apa hak mereka. Jelas kedudukan mereka lebih rendah dari kedudukan istri, tapi anak-anak mereka bisa turut menjadi pewaris atas pertimbangan bapaknya (Kejadian 25:6). Kitab Hak menceritakan bangkitnya kekuasaan Abimelekh, anak gundik Gideon (Hakim 8:31-9:57), dan mencatat peristiwa tragis seorang Lewi dengan gundiknya (Hakim 19). Kesan yg diberikan 19:2-4 ialah, bahwa gundik ini bebas meninggalkan 'suaminya', dan hanya dengan bujukan dia dapat dibawa pulang. Daud dan Salomo mengikuti raja-raja Timur mengambil banyak istri dan gundik (2 Samuel 5:13; 1 Raja 11:3; Kidung 6:8-9). Dalam kedua ay terakhir agaknya gundik-gundik itu diambil dari golongan bawah.
Dalam pernikahan biasa pengantin perempuan yg pindah ke rumah laki-laki. Tapi dalam Hakim 14-15 ada bentuk pernikahan lain. Inilah yg dipraktikkan oleh orang Filistin, tapi tidak oleh orang Israel. Di sini istri Simson tetap tinggal di rumah bapaknya, dan Simson yg mendatanginya. Bisa diberikan alasan bahwa Simson bermaksud membawa istrinya ke rumahnya sesudah pernikahan, tapi Simson pergi sendirian karena mengamuk sesudah istrinya menipu dia. Dan si istri masih tetap di rumah bapaknya menurut 15:1, walaupun kemudian dia dikawinkan dengan seorang Filistin.
Dalam buku
This Momentary Marriage, Pernikahan itu lebih dari sekadar cinta seseorang
terhadap yang lain,jauh lebih luas maknannya makna pernikahan adalah
meanampilkan kasih Allah dalam ikatan perjanjian antara kristus dan umatnya.
Hal yang paling mendasar yang dapat kita lihatdi Alkitab tentang pernikahan itu
karya Allah dan hal utama yang dapat kita lihat di Alkitab tentang pernikahan
adalah bahwa pernikahan itu untuk kemuliaan Allah,Pernikahan adalah karya Allah
disini ada empat cara untuk melihat hal ini dengan jelas dan lengkap dalam
kejadian 2:18-25. Pertama Pernikahan dirancang oleh Allah,kedua Allah
mengantarkan pengantin yang pertama,ketiga Allah menjadikan Pernikahan
nyata,keempat Allah menetapkan Suami istri menjadi satu daging.
Menurut Ir
Jarot Wijanarko dalam bukunya Pernikahan bahagia, Menikah untuk menjadi satu
bukan menjadi sama orang akan frustasi jika menikah dan menargetkan untuk
menjadi sama.bukan untuk menjadi sama tetapi untuk saling melengkapi.Dan untuk
itu terima belajarlah untuk menerima apa adanya pasanganmu karakter maupun
sifatnya.dengan mulai menerima satu sama lain akan terjadi perubahan kearah perbaikkan.Penerimaan
membuat seseorang merasa bahagia dan sering dari sikap hati bahagia justru
muncul perbuatan-perbuatan yang simpatik
PERCERAIAN
Dalam Matius 19:8 Yesus berkata bahwa Musa 'mengizinkan' perceraian, hanya karena ketegaran hati umat Israel. Artinya, Musa tidak memerintahkan perceraian, tapi mengatur praktik hidup yg nyata ada, dan bentuk hukum dalam Ulangan 24:1-4 sebaiknya dipahami dalam pengertian ini. Dan ayat 4 memuat peraturan yg nyata itu. Bagaimanapun terjemahannya, dari bagian ini dapat disimpulkan bahwa perceraian dipraktikkan, dan semacam perjanjian diberikan kepada si istri, kemudian sang istri ini bebas menikah lagi.
Alasan-alasan perceraian di sini diberikan dalam kaidah-kaidah umum, sehingga tafsiran yg tepat dan pasti tak dapat diberikan. Suami mendapati 'sesuatu yg tidak senonoh' pada istrinya. Kata-kata Ibrani 'erwat davar (harfiah, 'sesuatu yg telanjang'), terdapat hanya sekali lagi sebagai ungkapan dalam Ulangan 23:14. Tidak lama sebelum zaman Kristus sekolah Syammai menafsirkan ungkapan itu hanya sebagai ketidaksetiaan, tapi sekolah Hillel memperluas artinya menjadi sesuatu yg tidak menyenangkan bagi suami. Perlu kita ingat, bahwa Musa di sini bukanlah hendak menyatakan dasar-dasar perceraian, tapi menerima perceraian itu sebagai fakta nyata.
Ada dua hal yg menyebabkan perceraian dilarang: pertama, jika seseorang mengajukan tuduhan palsu terhadap istrinya, bahwa sebelum pernikahan mereka, istri itu sudah melakukan persetubuhan (Ulangan 22:13-19); kedua, jika seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, dan bapak perempuan itu memaksa laki-laki itu kawin dengan anaknya (Ulangan 22:28-29; Keluaran 22:16-17).
Ada dua kekecualian dan yg mendesak perceraian dilakukan. Kekecualian itu ialah orang-orang Yahudi buangan yg kembali dari pembuangan telah kawin dengan perempuan non-Yahudi (Ezra 9-10; Nehemia 13:23 dab). Dalam Maleakhi 2:10-16 ada yg menceraikan istrinya sekalipun orang Yahudi, supaya bisa kawin dengan perempuan non-Yahudi.
Membandingkan ucapan Tuhan Yesus dalam Matius 5:32 dengan Matius 19:3-12; Markus 10:2-12; Lukas 16:18 nampak bahwa Dia mencap perceraian dan kawin kembali sebagai perzinaan. Tapi tidak dikatakan bahwa manusia tidak boleh menceraikan apa yg sudah dipersatukan Allah. Kedua bagian Mat di atas mengatakan bahwa hanya percabulan atau persundalanlah yg boleh dijadikan dasar untuk menceraikan istri, walaupun ucapan itu alpa dalam Markus dan Lukas. Percabulan atau persundalan di sini biasanya dianggap sama dengan perzinaan; dan sejalan dengan itu tingkah laku umat Israel sebagai istri YHVH dicap sebagai perzinaan (Yeremia 3:2-3; Yehezkiel 23:43); dalam Ekklus 23:23 istri yg tidak setia dituduh melakukan zina dalam percabulan (bnd juga 1 Korintus 7:2).
Alasan mengapa 'terkecuali' alpa dalam Markus dan Luk mungkin adalah karena orang Yahudi, Romawi maupun Yunani menyangsikan bahwa perzinaan dapat dijadikan dasar untuk perceraian, sementara para penginjil menganggap zina hukum yg teguh. Sejalan dengan itu, dalam Roma 7:13, sambil merujuk ke hukum Yahudi dan Romawi, rasul Paulus tidak menyebut kemungkinan perceraian karena perzinaan, padahal hukum kedua bangsa itu memuatnya.
Teori-teori lain mengemukakan makna lain dari ucapan Tuhan Yesus itu. Sebagian mengenakan percabulan kepada kelakuan pra-nikah, yg diketahui oleh suami sesudah nikah. Yg lain berpendapat bahwa kedua pihak mengetahui kemudian bahwa mereka dalam tali kekerabatan yg terlarang menikah. Tapi yg terakhir ini terlalu ganjil menjadi dasar kekecualian khusus dalam ucapan Tuhan Yesus itu. Ada golongan yg mengartikan kata-kata itu menghalalkan perceraian, tapi tidak menghalalkan kawin kembali. Namun sukar sekali menarik kesimpulan bahwa Matius 19:9 tidak mengizinkan menikah lagi; dan dalam kehidupan orang Yahudi tidak terdapat perceraian tanpa boleh menikah lagi.
Ada yang meragukan keaslian Markus 10:12, karena biasanya perempuan Yahudi tidak boleh menceraikan suaminya. Tapi seorang istri boleh mengadu ke pengadilan tentang perlakuan suaminya terhadap dia, dan pengadilan dapat memaksa suami menceraikannya. Lagi pula, Tuhan Yesus mungkin mengingat hukum Yunani dan Romawi, dan menurut kedua hukum itu istri boleh menceraikan suaminya, seperti Herodias menceraikan suaminya yg pertama.
Ada pendapat yg teguh pada golongan Protestan dan Katolik, bahwa 1 Korintus 7:10-16 mengemukakan dasar yg lain untuk perceraian. Di sini rasul Paulus mengulangi ajaran yg diberikan Tuhan Yesus, tatkala Dia masih di bumi ini, lalu, dengan pimpinan Roh Kudus, memberikan ajaran yg melebihi apa yg diberikan oleh Tuhan Yesus, sebab situasi baru sudah timbul. Jika dalam pernikahan non-Kristen satu pihak bertobat kepada Kristus, yg bertobat itu tak boleh meninggalkan teman hidupnya. Tapi jika pihak yg tidak bertobat itu mendesak perceraian, maka 'dalam hal yg demikian saudara atau saudari tidak terikat'. Kalimat terakhir ini tak mungkin berarti bahwa mereka bebas bercerai, tapi harus berarti bahwa mereka bebas untuk menikah lagi. Dasar terakhir ini, yg sekilas pandang pengenaannya terbatas, terkenal sebagai 'keluwesan Paulus'.
Pada zaman modern ini kekusutan pernikahan, perceraian, rujuk dan menikah lagi melibatkan gereja menghadapi masalah pelik mengurus orang-orang yg baru percaya dan anggota-anggota lama yg bertobat, sering terpaksa menerima kenyataan sebagaimana adanya. Seorang yg baru percaya yg sebelumnya bercerai dengan alasan-alasan yg sah atau tidak, dan yg sudah menikah lagi, tak dapat kembali kepada pasangannya semula, dan pernikahan kedua tak dapat dicap sebagai perzinaan (1 Korintus 6:9, 11).
Dalam Matius 19:8 Yesus berkata bahwa Musa 'mengizinkan' perceraian, hanya karena ketegaran hati umat Israel. Artinya, Musa tidak memerintahkan perceraian, tapi mengatur praktik hidup yg nyata ada, dan bentuk hukum dalam Ulangan 24:1-4 sebaiknya dipahami dalam pengertian ini. Dan ayat 4 memuat peraturan yg nyata itu. Bagaimanapun terjemahannya, dari bagian ini dapat disimpulkan bahwa perceraian dipraktikkan, dan semacam perjanjian diberikan kepada si istri, kemudian sang istri ini bebas menikah lagi.
Alasan-alasan perceraian di sini diberikan dalam kaidah-kaidah umum, sehingga tafsiran yg tepat dan pasti tak dapat diberikan. Suami mendapati 'sesuatu yg tidak senonoh' pada istrinya. Kata-kata Ibrani 'erwat davar (harfiah, 'sesuatu yg telanjang'), terdapat hanya sekali lagi sebagai ungkapan dalam Ulangan 23:14. Tidak lama sebelum zaman Kristus sekolah Syammai menafsirkan ungkapan itu hanya sebagai ketidaksetiaan, tapi sekolah Hillel memperluas artinya menjadi sesuatu yg tidak menyenangkan bagi suami. Perlu kita ingat, bahwa Musa di sini bukanlah hendak menyatakan dasar-dasar perceraian, tapi menerima perceraian itu sebagai fakta nyata.
Ada dua hal yg menyebabkan perceraian dilarang: pertama, jika seseorang mengajukan tuduhan palsu terhadap istrinya, bahwa sebelum pernikahan mereka, istri itu sudah melakukan persetubuhan (Ulangan 22:13-19); kedua, jika seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, dan bapak perempuan itu memaksa laki-laki itu kawin dengan anaknya (Ulangan 22:28-29; Keluaran 22:16-17).
Ada dua kekecualian dan yg mendesak perceraian dilakukan. Kekecualian itu ialah orang-orang Yahudi buangan yg kembali dari pembuangan telah kawin dengan perempuan non-Yahudi (Ezra 9-10; Nehemia 13:23 dab). Dalam Maleakhi 2:10-16 ada yg menceraikan istrinya sekalipun orang Yahudi, supaya bisa kawin dengan perempuan non-Yahudi.
Membandingkan ucapan Tuhan Yesus dalam Matius 5:32 dengan Matius 19:3-12; Markus 10:2-12; Lukas 16:18 nampak bahwa Dia mencap perceraian dan kawin kembali sebagai perzinaan. Tapi tidak dikatakan bahwa manusia tidak boleh menceraikan apa yg sudah dipersatukan Allah. Kedua bagian Mat di atas mengatakan bahwa hanya percabulan atau persundalanlah yg boleh dijadikan dasar untuk menceraikan istri, walaupun ucapan itu alpa dalam Markus dan Lukas. Percabulan atau persundalan di sini biasanya dianggap sama dengan perzinaan; dan sejalan dengan itu tingkah laku umat Israel sebagai istri YHVH dicap sebagai perzinaan (Yeremia 3:2-3; Yehezkiel 23:43); dalam Ekklus 23:23 istri yg tidak setia dituduh melakukan zina dalam percabulan (bnd juga 1 Korintus 7:2).
Alasan mengapa 'terkecuali' alpa dalam Markus dan Luk mungkin adalah karena orang Yahudi, Romawi maupun Yunani menyangsikan bahwa perzinaan dapat dijadikan dasar untuk perceraian, sementara para penginjil menganggap zina hukum yg teguh. Sejalan dengan itu, dalam Roma 7:13, sambil merujuk ke hukum Yahudi dan Romawi, rasul Paulus tidak menyebut kemungkinan perceraian karena perzinaan, padahal hukum kedua bangsa itu memuatnya.
Teori-teori lain mengemukakan makna lain dari ucapan Tuhan Yesus itu. Sebagian mengenakan percabulan kepada kelakuan pra-nikah, yg diketahui oleh suami sesudah nikah. Yg lain berpendapat bahwa kedua pihak mengetahui kemudian bahwa mereka dalam tali kekerabatan yg terlarang menikah. Tapi yg terakhir ini terlalu ganjil menjadi dasar kekecualian khusus dalam ucapan Tuhan Yesus itu. Ada golongan yg mengartikan kata-kata itu menghalalkan perceraian, tapi tidak menghalalkan kawin kembali. Namun sukar sekali menarik kesimpulan bahwa Matius 19:9 tidak mengizinkan menikah lagi; dan dalam kehidupan orang Yahudi tidak terdapat perceraian tanpa boleh menikah lagi.
Ada yang meragukan keaslian Markus 10:12, karena biasanya perempuan Yahudi tidak boleh menceraikan suaminya. Tapi seorang istri boleh mengadu ke pengadilan tentang perlakuan suaminya terhadap dia, dan pengadilan dapat memaksa suami menceraikannya. Lagi pula, Tuhan Yesus mungkin mengingat hukum Yunani dan Romawi, dan menurut kedua hukum itu istri boleh menceraikan suaminya, seperti Herodias menceraikan suaminya yg pertama.
Ada pendapat yg teguh pada golongan Protestan dan Katolik, bahwa 1 Korintus 7:10-16 mengemukakan dasar yg lain untuk perceraian. Di sini rasul Paulus mengulangi ajaran yg diberikan Tuhan Yesus, tatkala Dia masih di bumi ini, lalu, dengan pimpinan Roh Kudus, memberikan ajaran yg melebihi apa yg diberikan oleh Tuhan Yesus, sebab situasi baru sudah timbul. Jika dalam pernikahan non-Kristen satu pihak bertobat kepada Kristus, yg bertobat itu tak boleh meninggalkan teman hidupnya. Tapi jika pihak yg tidak bertobat itu mendesak perceraian, maka 'dalam hal yg demikian saudara atau saudari tidak terikat'. Kalimat terakhir ini tak mungkin berarti bahwa mereka bebas bercerai, tapi harus berarti bahwa mereka bebas untuk menikah lagi. Dasar terakhir ini, yg sekilas pandang pengenaannya terbatas, terkenal sebagai 'keluwesan Paulus'.
Pada zaman modern ini kekusutan pernikahan, perceraian, rujuk dan menikah lagi melibatkan gereja menghadapi masalah pelik mengurus orang-orang yg baru percaya dan anggota-anggota lama yg bertobat, sering terpaksa menerima kenyataan sebagaimana adanya. Seorang yg baru percaya yg sebelumnya bercerai dengan alasan-alasan yg sah atau tidak, dan yg sudah menikah lagi, tak dapat kembali kepada pasangannya semula, dan pernikahan kedua tak dapat dicap sebagai perzinaan (1 Korintus 6:9, 11).
Poligami diterima tanpa persetujuan yang jelas, namun ada hukum yang mengecamnya secara tidak langsung. Perceraian juga diijinkan, tetapi akhirnya dikecam pula secara langsung. Perceraian hampir tidak disinggung dalam hukum Perjanjian Lama, sebab pernikahan dan perceraian bukanlah kasus perdata seperti dalam kebudayaan masa kini. Kedua-duanya termasuk yuridiksi rumah tangga. karena itu, orang tidak harus pergi ke pengadilan untuk bercerai.
Hukum-hukum mengenai perceraian menyebutkan tentang keadaan yang tidak mengijinkan adanya perceraian dan aturan-aturan mengenai hubungan kedua belah pihak setelah perceraian terjadi. Dalam kedua kasus ini perlindungan terhadap perempuan rupanya menjadi pokok utama hukum-hukum tersebut. Dalam, Ulangan 22:28-29 ada larangan untuk menceraikan perempuan yang harus dinikahi oleh laki-laki yang telah memeperkosanya. Peraturan dalam Ulangan 24:1-4 menjadi pokok pertentangan antara Yesus dan orang Farisi. Peraturan itu tidak "memerintahkan" perceraian tetapi mengandaikan bahwa perceraian sudah terjadi. Dalam kasus ini, sang suami diminta menulis surat cerai untuk melindungi istrinya. Jika tidak, ia atau suami barunya yang kemudian dapat dituduh berzinah. Suami pertama dilarang mengambil kembali perempuan apabila suaminya yang berikut menceraikannya atau meninggal dunia. Dapat disebutkan lagi kasus perempuan tawanan yang hendak diceraikan dan tidak boleh dijual sebagai budak, kalau suaminya tidak merasa puas. Dalam hal itu perceraian tampaknya lebih baik daripada perbudakan. Setidak-tidaknya martabat dan kemerdekaan masih dipertahankan, bila dibandingkan dengan perbudakan (Ul 21:4).Dengan demikian perceraian ditoleransi dalam batas-batas hukum. dibandingkan dengan poligami, perceraian lebih jauh dari kehendak Allah.
Undang-undang dalam Kitab Pentateukh mendukung
konsep perkawinan yang ideal ini dalam banyak aturan tertulis (misalnya Kel 20:17;
21:5; Im 18:8;
20:10; 21:13, Bil 5:12;
Ul 5:21;
17:17; 22:22; 24:5). Tetapi undang-undang yang sama juga memberikan
aturan yang toleran terhadap poligami dan perceraian sehingga menghasilkan
konsep yang toleran tentang perkawinan, misalnya Kel 21:7-11;
Ul 21:10-17;
24:1-4. Aturan-aturan yang mengijinkan poligami dan perceraian (sebagai ganti
dari aturan monogami dan perkawinan yang langgeng) dalam perikop ini tergolong
kepada aturan kasuistik. Aturan-aturan ini bukan aturan legal yang
berlaku sepanjang masa, tetapi berlaku karena kasus yang terjadi dalam situasi
tertentu. Dalam kekejaman perbudakan atau peperangan perkawinan,
monogami tidak selalu dapat dipertahankan, sehingga terjadilah kasus poligami
dan untuk itu dibutuhkan aturan yang melindungi hak perempuan dalam perkawinan
itu (Kel 21:7-11;
Ul 21:10-17).
Dalam kebudayaan Israel kuno yang patriakhal perkawinan yang langgeng tidak
selalu dapat dipelihara sehingga terjadilah kasus perceraian, untuk itu dibutuhkan
aturan yang melindungi perempuan yang diceraikan atau yang membatasi
kesewenang-wenangan laki-laki di dalam perceraian (Ul 24:1-4).
Konsep yang toleran tentang perkawinan ini, baik
dalam kasus poligami maupun perceraian dikritik dalam Perjanjian Baru (Mat 19:1-9). Aturan
kasuistik untuk perceraian disebabkan oleh ketegaran hati orang Yahudi (ay 7-8). Alasan perceraian hanyalah perzinahan
(ay 9).
Perkawinan monogami yang langgeng merupakan konsep perkawinan yang ideal (ay 4-6).
Konsep yang ideal dan toleran tentang perkawinan
direfleksikan dalam Kitab-kitab sejarah. Pembahasan akan difokuskan kepada
perefleksian konsep yang tidak ideal, kondisinya dan peringatan yang
disampaikan. Pendekatan yang dipergunakan terhadap Kitab-kitab sejarah beraneka
ragam, dalam hal mana pendekatan tersebut sangat menentukan gambaran perkawinan
yang diperoleh. Pendekatan yang dipergunakan dalam bahasa ini adalah pendekatan
bentuk Kanonis, yaitu pendekatan yang menganalisa perikop-perikop yang
berbicara tentang perempuan dalam suatu kesatuan, tidak memisah-misah perikop
tersebut sesuai dengan sumbernya, dan juga tidak menekankan pengaruh redaktur
Deutronomik terhadap gambaran perempuan yang diberikan.
Beberapa bagian Kitab-kitab Sejarah memperlihatkan
terjadinya perkawinan poligami dan perceraian, tetapi perkawinan seperti ini
biasanya berupa kasus semata dan tidak permanen. Perkawinan poligami berlaku
dalam kondisi khusus, yaitu kemandulan dan keinginan untuk memiliki banyak anak
(1 Sam 1:2;
25:39-40; 2 Sam 3:1-5;
Hak 8:30),
kebutuhan raja akan hubungan diplomatik, cinta dan hawa nafsu (1 Raj 3:1;
11:3; 2 Sam 11:6),
serta posisi sosial dan status ekonomi yang tinggi (1 Sam 1:2;
25:39; 2 Sam 3:1-5;
11:1; 1 Raj 11:3).
Adalah suatu kenyataan bahwa seluruh Kitab-kitab Sejarah hanya melaporkan suatu
perkawinan poligami yang terjadi diantara orang biasa (1 Sam 1:2).
Konsep yang refleksif
Kitab-kitab Sejarah memperlihatkan problema yang
mungkin timbul dalam perkawinan poligami. Dalam hal ini, problema yang
dikemukakan itu berfungsi sebagai peringatan bagi orang yang hidup di dalamnya
atau bagi pembaca, bahkan berguna sebagai penolakan terhadap perkawinan
poligami. Dalam kitab-kitab ini, hak, otoritas dan kebebasan laki-laki untuk
memiliki lebih dari satu istri dibatasi oleh peringatan tersebut. Beberapa
problema yang dikemukakan adalah bahaya penyembahan berhala khususnya dari
istri asing (1 Raj 11:1-8),
dan poligami biasanya menciptakan masalah dalam perkawinan, seperti persaingan
di antara istri yang satu dengan yang lainnya (1 Sam 1:6),
kematian keturunan (Hak 19),
kemungkinan terjadinya kekacauan dan kejahatan yang berlipat ganda (2 Sam 4).
Bagian-bagian Kitab Sejarah yang amat menonjol di
dalam membahas masalah perceraian berasal dari masa sesudah pembuangan. Orang
Israel yang kembali dari pembuangan bukan saja mengawini perempuan asing.
tetapi juga menceraikan istri Yahudi mereka (Ezr 9:13,10;
10:2,11,14,17,18,44; Neh 13:23-27;
Mal 2:10-16).
bahasan ini disertai dengan peringatan tentang bahaya yang mengancam umat
Israel dalam hal kepercayaan, pemilikan dan pengontrolan tanah leluhur mereka,
bahkan hukuman dijatuhkan bagi yang tidak mau menyesali perbuatannya yaitu kehilangan
status politik dan religi dan hak penguasaan harta milik (Ezr 9:7-15;
Neh 13:28).
Bab
III Perkawinan dan Perceraian dari sudut pandangan Etika Kristen
Allah memaksudkan Pernikahan Kristen
menjadi satu komitmen seumur hidup antara satu pria dan satu wanita. Sementara
hubungan Pernikahan tidak meluas sampai kekekalan,pernikahan dimaksudkan untuk
seluruh waktu kita bersama-sama didunia.Perceraian tidak pernah dibenarkan
,bahkan karena Perzinahan.Perzinahan adalah dosa dan Allah tidak menyetujui
dosa manapun maupun terputusnya pernikahan.Apa yang dipersatukan Allah tidak
boleh diceraikan oleh manusia.(Matius 19:6).
Pernikahan adalah lembaga yang sakral
yang tidak boleh dicemarkan oleh Perceraian khususnya oleh perceraian yang
terjadi berulangkali.,Orang Kristen harus melakukan segala sesuatu dengan
sekuat tenaga untuk mengagungkan Standar Allah mengenai Pernikahan monogami
seumur hidup.
B.
ANALISA
Banyak orang memiliki pemahaman yang
salah tentang konsep Perkawinan dan perceraian,karena mereka tidak memiliki
pengetahuan yang benar tentang Alkitab akibatnya mereka akan membenarkan apa
yang menurut pandangan mereka benar dengan alasan mereka mengutip beberapa ayat
didalam Alkitab untuk membenarkan tindakan mereka.tetapi pada intinya Allah
tidak menghendaki Perceraian karena Allah sendiri dengan jelas menentang
perceraian karena Pernikahan adalah Karya Allah yang luar biasa oleh sebab itu
orang percaya membutuhkan pertolongan Roh Kudus untuk memampukan kita melihat
keindahan dari pernikahan itu.
Bab
IV Tindak Lanjut Terhadap Perkawinan dan Perceraian
A.Tinjauan Dari Sudut Pandang Iman Kristen
Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh
diceraikan oleh manusia.(Matius 19:6). Pada dasarnya Perceraian dibenci oleh
Tuhan,Pernikahan hanya dapat diakhiri oleh kematian 1 Korintus 7:39 Dalam Maleakhi 2:13-16 ada
serangan yang tidak mengenal kompromi terhadap perceraian, yang memuncak dengan
kecaman yang terang-terangan: "Aku membenci perceraian, firman Tuhan,
Allah Israel". Tidak ada kecaman atas poligami yang setajam atau dilengkapi
dengan argumen teologis yang kuat seperti itu, barangkali karena poligami hanya
merupakan "perluasan" pernikahan yang melampaui batasan monogami yang
dimaksudkan Allah, tetapi perceraian sama sekali menghancurkan pernikahan.
Dalam kata Maleakhi, perceraian berarti "menutup [diri] dengan
kekerasan"". Poligami menggandakan hubungan tunggal yang Allah
kehendaki, sedangkan perceraian menghancurkan hubungan itu atau mengandaikan
hubungan itu sudah hancur.
B.
Ditinjau dari konsep Alkitab
Kejadian 2:24-24 “ Sebab itu seorang
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya
sehingga keduanya menjadi satu daging.Pernikahan adalah satu kesatuan sangat
mendalam seperti kristus dan gereja adalah satu tubuh Roma12:5
Markus 10:8-9 Allah mengokohkan pernikahan
dalam Ayat ini maksudnya adalah kesatuan yang disebut satu daging ini adalah
ciptaan-pekerjaan Allah ,bukan manusia Ayat 9 dalam markus 10 Karena apa yang
dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia,jadi walaupun dua orang
memutuskan untuk menikah dan orang lain yang berwenang yang mengesahkan
kesatuan itu hanya bersifat sekunder actor utamanya adalah Allah.Allah
menciptakan kesatuan yang kudus ini dengan tujuan yang kudus untuk menunjukkan
kekuatan kasih ikatan perjanjianNya yang tak dapat dihancurkan, maka manusia
tidak berhak menghancurkan apa yang telah diciptakan Allah.
Bab
V Penutup
Konsep perkawinan yang ideal adalah perkawinan
antara satu laki-laki dengan satu perempuan, yang membentuk kesatuan yang
sangat intim, bukan hanya dalam fisik, tetapi dalam psikis, cinta, kasih,
ekonomi dan segala kesulitan dalam kehidupan.Banyak hal yang dapat kita
pelajari tentang Pernikahan yang sesuai dengan konsepnya Allah dan kudusnya
pernikahan itu, ketika kita mengetahui makna sesungguhnya dari pernikahan itu.
kita tidak akan mudah untuk melakukan hal-hal yang akan membuat Pernikahan
tercemar hanya karena melihat kekurangan dan perbedaan dari pasangan dan dengan
mudah mengambil keputusan untuk mengakhirinya dengan Perceraian karena
sesungguhnya Arti penting dari Pernikahan adalah hal yang agung karena
pernikahan meneladani sesuatu yang agung dan kasih yang mengikat laki-laki dan
perempuan didalam pernikahan adalah Kasih yang agung sebagaiman kristus
mengasihi jemaat.
Dan Allah sangat menentang perceraian karena
Alkitab dengan jelas menulis apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan
manusia.karena itulah ikrar pernikahan Alkitabiah hanya memiliki satu batasan
sampai kematian memisahkan atau seumur hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar