Pengantar
Tanpa
disadari kita sebenarnya sudah belajar sedikit tentang sosiologi, misalnya
·
Selama hidupnya dia sudah enjadi anggota
masyarakat dan sudah mempunyai pengalaman-pengalaman dalam hubungan social atau
hubungan antar manusia.
·
Sejak lahir di dunia, dia sudah berhubungan
dengan orang tuannya, semakin meningkat usiannya, bertambah luas pula
pergaulannya dengan manusia lain di dalam masyarakat.
·
Dia memahami bahwa kebudayaan dan peradaban
dewasa ini merupakan hasil perkembangan masa-masa yang silam.
·
Dia pun mnyadari bahwa di dalam pelbagai hal,
dia mempunyai persamaan-persamaand engan orang lain, sedangkan dalam hal-hal
lain dia mempunyai sidafat-sifat yang khas sehingga berbeda dengan orang lain.
Semunya
ini merupakan pengetahuan yang bersifat sosiologis, karena keikutsertaannya
dalam hubungan-hubungan social.
Apakah
sosiologi itu?
Pendahuluan
Manusia dan
kehidupanya merupakan masalah yang sangat kompleks. Setiap kajian atas setiap
dimensi kehidupan manusia itu telah menumbuhkan sebuah disiplin ilmu
tersendiri. Masalah manusia dan kejiwaannya, misalnya, menumbuhkan psikologi.
Masalah manusia dan kekuasaan menumbuhkan ilmu politik. Secara umum, sosiologi
merupakan ilmu yang mengkaji masalah manusia dan kehidupan sosialnya atau
masyarakat. Tentu saja tidak sesederhana itu.
Sosiologi
sebagai Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya adalah sistem pengetahuan manusia yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, merupakan bagian dari pengetahuan manusia.
Kedua, pengetahuan itu bersifat rasional dengan mendasarkan pada penggunaan
logika (Ilmiah). Ketiga, pengetahuan itu bersifat sistematis. Keempat,
pengetahuan itu dapat dibuktikan kebenarannya oleh orang lain.
Secara umum,
ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi empat macam (Soerjono Soekanto,
1990, hal 1). Pertama, Ilmu Matematika. Kedua, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang
mempelajari gejala-gejala alam yang bersifat hayati (biologi) maupun
gejala-gejala alam non hayati (fisika, kimia). Ketiga, Ilmu Perilaku (behavoiral
science). Keempat, Ilmu Pengetahuan Kerohanian (agama, teologi).
Ilmu perilaku
mencakup dua kajian. Pertama, ilmu perilaku hewan (animal behavior).
Kedua, ilmu perilaku manusia (human behavior). Ilmu perilaku manusia ini
disebut juga Ilmu Pengetahuan Sosial karena mengkaji perilaku-perilaku manusia
pada ummnya. Dari sini berkembang berbagai cabangnya. Ilmu yang mempelajari
perilaku kejiawaan manusia disebut psikologi. Yang mempelajari perilaku
kekuasan manusia disebut ilmu politik. Yang mempelajari perilaku manusia yang
mengembangkan mata pencaharian disebut ilmu ekonomi. Yang mempelajari perilaku
manusia dan kebudyaaannya disebut antropologi.
Sosiologi
merupakan sebuah ilmu pengatahuan karena memenuhi syarat-syarat ilmu
pengetahuan seperti di atas (pengetahuan, rasio, logika, sistematis, teruji
kebenarannya secara ilmiah). Disamping ciri-ciri itu, ciri-ciri sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan ilmiah menurut Harry M Johnson adalah sebagai berikut
(Soerjono Soekanto, 1990, hal 15). Pertama, bersifat empiris, yaitu berdasar
pada observasi terhadap kenyataan, bukan spekulatif. Kedua, teoritis, yaitu
selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil obsrvasi. Ketiga,
kumulatif, artinya teori-teori sosiologi dibentuk di atas teori-teori yang
sudah ada (memperbaiki, mengembangkan teori-teori yang sudah ada). Keempat,
non-etis, artinya tidak mempersoalkan masalah baik buruk (moral) tetapi hanya
bertujuan untuk menjelaskan fakta secara analitis.
Mengenai
definisi sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, beberapa ahli memberikan penekanan
yang berbeda-beda sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 1990, hal 20-21).
Pertama, menurut Patirim A. Sorokin, sosiologi adalah ilmu yang (1) mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial, misalnya
antara gejala ekonomi dan agama, antara keluarga dan moral, (2) mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan gejala non sosial
seperti gejala biologis, geografis, alam, dan sebagainya, (3) mempelajari
ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial. Kedua, menurut Roucek dan
Waren, sosiologi mempelajari hubungan antar manusia yang ada di dalam
kelompok-kelompok. Ketiga, menurut J.A.A. van Doorn dan C.J. Lammers, sosiologi
mempelajari tentang struktur sosial dan proses-proses sosial. Kelima, menurut
Selo Soemardjan, sosiologi mempelajari struktur sosial, proses sosial, dan
perubahan sosial.
Karena
sosiologi merupakan ilmu yang luas cakupannya, dan definisi pastinya juga tidak
bisa ditentukan secara sempit, maka bahan ajar ini mengacu pada pemahaman yang
diberikan oleh sosilog Soerjono Soekanto dalam buku ”Sosiologi Suatu
Pengantar”. Pada dasarnya, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
dimensi-dimensi sosial masyarakat, yaitu: (1) proses-proses Sosial,
(2) Kelompok Sosial, (3) Lembaga Kemasyarakatan, (4) Stratifikasi Sosial, (5)
Masyarakat dan Kebudayaan, (6) Perubahan Sosial, (7) Kekuasaan dan Wewenang.
Adapun
masyarakat didefinisikan dengan serangkaian penjelasan sebagai berikut
(Soerjono Soekanto, 1990, hal 26-27). Pertama, sekelompok manusia yang hidup
bersama. Kedua, mereka bercampur untuk waktu yang cukup lama. Ketiga, mereka
sadar jika mereka merupakan satu kesatuan. Keempat, mereka menjadi sebuah
sistem yang hidup bersama.
Mengacu pada
definisi di atas, masyarakat mempunyai komponen-komponen sebagai berikut
(Soerjono Soekanto, 1990, hal 28-29). Pertama, populasi, yaitu manusia-manusia
yang menjadi anggota masyarakat itu. Kedua, kebudayaan, yaitu hasil karya,
rasa, dan cipta manusia. Ketiga, hasil-hasil kebudayaan material. Keempat,
organisasi sosial, yaitu jaringan hubungan antar warga-warga masyarakat yang
mencakup unsur-unsur seperti (1) status dan peran (2) kelompok-kelompok sosial,
(3) stratifikasi sosial.
Sejarah
Perkembangan Sosiologi
Sosiologi
adalah ilmu sosial yang relatif masih muda karena baru berkembang setelah tokoh
bernama Auguste Comte (1798-1853) mengembangkan pemikiran-pemikirannya
(Soerjono Soekanto, 1990, hal 31). Dengan demikian perkembangan sosiologi dapat
diklasifikasikan sebagai sosiologi sebelum Auguste, sosiologi Auguste Comte, dan
sosiologi sesudah Auguste Comte.
Pada era
sebelum Auguste Comte, sosiologi belum terbentuk sebagai sebuah disiplin ilmu
tersendiri. Pada periode itu baru berkembang pemikiran-pemikiran filosofis
tentang kehidupan sosial (masyarakat). Para filsuf yang banyak memberi kajian
masalah-masalah sosial adalah sebagai berikut:
Plato (429-37
SM) Menurutnya, masyarakat adalah refleksi dari kehidupan manusia secara
perorangan yang memiliki tiga unsur (nafsu, semangat, intelegensia). Masyarakat
pada dasarnya merupakan kesatuan yang menyeluruh (sistem).
Aristoteles
(384-32 SM) Masyarakat yang merupakan sebuah sistem dapat dianalogikan dengan
organisme biologis manusia. Basis masyarakat adalah moral.
Ibn Khaldun
(1332-1406). Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang terikat oleh perasaan
solidaritas. Faktor solidaritas menyebabkan adanya ikatan dan usaha-usaha atau
kegiatan-kegiatan bersama antara manusia.
Pemikiran zaman
Renaisans (1200-1600).Thomas More mengemukakan ide tentang bentuk masyarakat
yang ideal. N. Machiavelli menekankan masalah kekuasaan dalam masyarakat dan
bagaimana mempertahankan kekuasaan itu.
Thomas Hobbes
(1588-1679). Menurutnya, manusia secara alamiah mempunyai
keinginan-keinginan mekanis yang membuat mereka bisa saling berkonflik. Tetapi,
manusia juga mempunyai pikiran untuk hidup damai sehingga menciptakan
masyarakat berdasarkan perjanjian atau kontrak antara para warganya (kontrak
sosial).
Pemikiran abad
ke-18. John Locke (1632-1704) dan J.J. Rousseau (1712-1778) mengembangkan
konsep “kontrak sosial” dari Thomas Hobbes. Kontrak antara warga masyarakat
degan fihak yang mempunyai wewenang sifatnya atas dasar faktor pamrih.
Saint Simon
(1760-1825). Menurutnya, manusia harus dipelajari dalam konteks kehidupan
berkelompok. Sejarah manusia adalah seperti sebuah ”fisika sosial”.
Auguste Comte
(1798-1853) adalah ilmuan yang pertama-tama menggunakan istilah ”sisiologi” dan
yang pertama-tama memberikan definisi ilmu tersebut sehingga membedakan ruang
lingkupnya dengan ilmu-ilmu lainnya (Soerjono Soekanto, 1990, hal 34). Comte
bertolak dari pemikirannya bahwa perkembangan intelektual manusia melewati tiga
tahap. Pertama, tahap teologis atau fiktif, yaitu manusia menafsirkan dunia ini
sebagai dunia gaib yang dikendalikan roh dewa-dewa semata. Kedua, tahap metafisika,
yaitu pandangan bahwa setiap gejala yang ada pada akhirnya akan bisa
diungkapkan atau dipahami. Pengungkapkan itu akan membuat manusia bisa
menemukan hukum-hukum alam.Ketiga, tahap ilmu pengetahuan positif.
Menurut Comte,
sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang mengungkapkan
kebenaran-kebenaran kehidupan manusia secara ilmiah. Hirarki atau tingkatan
ilmu-ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalitas dan penambahan
kompleksitasnya adalah, (1) matematika, (2) astronomi, (3) fisika, (4) ilmu
kimia, (5) biologi, (6) sosiologi. Bagi Comte, sosiologi adalah ilmu
pengetahuan yang paling kompleks.
Auguste Comte
membeadakan sosiologi menjadi dua. Pertama, sosiologi statis, yaitu sosiologi
yang mempelajari hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Ini
semacam studi tentang ”anatomi sosial” yang mempelajari aksi-aksi dan
reaksi-reaksi yang terjadi dalam sistem sosial. Kedua, sosiologi dinamis,
mempelajari perkembangan atau pembangunan kehidupan masyarakat.
Perkembangan
sosiologi setelah Auguste Comte banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lainnya
sehingga menunculkan berbagai aliran atau mazhab yang bersifat khusus (Soerjono
Soekanto, 1990, hal 37-47).
Mazhab Geografi
dan Lingkungan. Mazhab ini melihat hubungan sangat erat antara kehidupan
masyarakat dengan keadaan tanah dan lingkungan alam. Sebagai contoh adalah
pemikiran sosiologi Edward Buckle dari Inggris (1821-1862) yang
menyimpulkan bahwa perilaku bunuh diri adalah akibat dari rendahnya penghasilan
karena kondisi alam yang buruk.
Mazhab Organis
dan Evolusioner Sosiologi pada mazhab ini banyak dipengaruhi oleh teori-teori
ilmu biologi. (1) Herbert Spencer (1820-1903) misalnya, melihat masyarakat
seperti sebuah organisme biologis. Menurut Spencer, sama seperti evolusi mahluk
hidup, masyarakat akan berkembang dari bentuk organisme yang sederhana menuju
bentuk organisme yang kompleks. Masyarakat yang kompleks mempunyai sistem
pembagian kerja yang kompleks yang bersifat heterogen. (2) Pemikiran
Spencer mempengaruhi W.G. Summer (1840-1910). Menurut Summer, kompleksitas
masyarakat terlihat dari sistem norma yang mengatur kehidupan mereka. Semakin
kompleks sebuah masyarakat, semakin rumit pula sistem aturan kehidupan sosial
yang berkembang. (3) Menurut Soerjono Soekanto, Emile Durkheim (1855-1917) bisa
digolongkan sebagai sosiolog mazhab organis ini karena dia membahas kehidupan
masyarakat yang juga dianggapnya seperti sebuah organisme. Menurut Durkheim,
unsur baku dalam masyarakat adalah solidaritas. Pertama, solidaritas mekanis,
yaitu solidaritas yang mengikat masyarakat sederhana yang belum mempunyai
diferensiasi dan pembagian kerja yang kompleks. Pada masyarakat sederhana,
kepentingan dan kesadaran antar warganya relatif sama. Kedua, solidaritas
organis, yaitu solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks yang memiliki
diferensiasi dan pembagian kerja yang rumit seperti halnya masyaraka industri.
(4) Tokoh lain dari mazhab ini adalah Ferdinand Tonnies dari Jerman
(1855-1936), membedakan antara masyarakat ”paguyuban” dan masyarakat ”patembayan”.
Paguyuban (gemeinchaft) adalah kehidupan masyarakat yang sederhana yang
bersifat karib, akrab, menekankan hubungan perasaan, simpati pribadi, dan
kepentingan bersama. Patembayan (gesselschaft) adalah kehidupan
masyarakat kompleks yang menekankan kepentingan-keentingan dan ikatan-ikatan
rasional
Mazhab Formal.
Mazhab ini dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dan filsafat Immanuel Kant. (1) Georg
Simmel (1858-1918) mengatakan bahwa elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan
melalui bentuk-bentuk yang mengatur hubungan antar elemen-elemen itu. Sosiologi
bertugas mengidentifikasi proses terjadinya kesatuan tersebut. (2) Leopold von
Wiese (1876-1961) mengatakan bahwa sosiologi harus memusatkan perhatian pada
hubungan-hubungan antar manusia tanpa mengaitkan dengan tujuan-tujuan maupun
kaidah-kaidah. Sosiologi harus mulai dengan pengamaan terhadap
perilaku-perilaku konkrit. (3) Alfred Vierkandt (1867-1953) mengatakan bahwa
sosiologi justru harus menyoroti situasi-situasi mental yang terjadi sebagai
akibat adanya interaksi antara insivisu-individu dan kelompok-kelompok dalam
sebuah masyarakat.
Mazhab
Psikologi. Pada mazhab ini, sosiologi banyak dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran dan teori-teori psikologi. (1) Gabriel Tarde (1843-1904)
dari Perancis mengembangkan sosiologi dari pemikiran bahwa gejala-gejala sosial
mempunyai sifat psikologis yang terdiri dari interaksi jiwa-jiwa individu.
Dengan demikian gejala-gejala sosial harus dijelaskan dalam kerangka
reaksi-reaksi psikis seseorang. (2) Albion Small (1854-1926) dan beberapa
sosiolog Amerika Serikta menekankan bahwa sosiologi harus mempelajari
reaksi-reaksi individu terhadap individu maupun kelompok terhadap
kelompok. (3) Richard Horton Cooley (1864-1924) menekakan bahwa individu dan
masyarakat itu saling melengkapi. Dalam kelompok primer (primary group),
hubungan antar pribadi dari para warganya sangat erat. Inilah kehidupan sosial
yang paling mendasar. (4) L.T. Hobhouse (1864-1929) mengatakan bahwa psikologi
dan etika harus menjadi kriteria untuk mengukur perubahan sosial.
Mazhab Ekonomi.
Mazhab ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran di bidang ekonomi. (1)
Karl Marx (1818-1883) mengembangkan pemikiran tentang perubahan masyarakat yang
disebabkan karena faktor ekonomi. Ketika masyarakat masih terdapat stratifikasi
sosial maka akan terdapat kelas-kelas sosial yang saling bertikai. Kelas sosial
yang berkuasa akan menindas kelas sosial yang rendah seperti halnya masyarakat
buruh dan kaum miskin (golongan proletar). Kondisi ini akan mendorong kelas
bahwa itu melakukan pemberontakan dan memenangkan kekuasaan sehingga akhirnya
tumbuh suatu jenis masyarakat baru yang tanpa kelas. (2) Max Weber (1864-1920)
menjelaskan bagaimana perilaku individu-individu dalam masyarakat. Weber
membedakan perilaku individu sebagai berikut: (1) aksi yang bertujuan, yaitu
aksi-aksi individu yang dilakukan untuk mencapai hasil-hasil tertentu secara
efisien, (2) aksi yang berisikan nilai yang telah ditentukan, yaitu perbuatan
untuk mencapai tujuan tertentu, (3) aksi tradisional, yaitu perilaku untuk
melakukan aturan yang bersanksi, (4) aksi emosional, yaitu perilaku yang
menyangkut perasaan seseorang. Jenis-jenis aksi itumenimbulkan
hubungan-hubungan sosial yang beragam di dalam masyarakat.
Mazhab Hukum.
Mazhab sosiologi ini dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran di bidang hukum. (1)
Emile Durkheim.Sosiologi mempelajari hubungan antara hukum dan jenis-jenis
solidaritas dalam masyarakat. Pada amasyarakat sederhana yang berolidaritas
mekanis, terdapat kaidah-kaidah hukum yang bersifat represif. Pada masyarakat
kompleks bersilidaritas organis, terdapar kaidah-kaidah hukum yang bersifat
restitutif. Hukum represif menekankan pemberian sanksi pidana yang berat, yang
sering merampas kehormatan dan masa depan serta memberikan penderitaan pada
terpidana. Sedangkan hukum restitutif memberikan sanksi sedemikian rupa untuk
mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadi keguncangan akibat
pelanggaran kaidah hukum itu. Karena itu dalam masyarakat modern, disamping
terdapat hukum pidana terdapat pula hukum perdata, hukum dagang, hukum acara,
hukum administrasi, dan hukum tata negara. (2) Max Weber. Menurutnya ada 4
jenis hukum: (1) hukum irasional dan materiil yang dasar keputusannya bersifat
emosional tanpa kaidah, (2) hukum irasional dan formal di mana ada
undang-undang dan hakim namun dasarnya adalah kaidah-kaidah di luar akal yang
dianggap sebagai wahyu, (3) hukum rasional dan materiil, keputusan para
pembentuk undang-undang dan hakik menunjup pada suatu kitab suci,
kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi, (4) hukum rasional dan
formal, hukum yang dibentuk berdasar konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum.
Menurut Weber, hukum rasional dan formal merupakan dasar dari negara modern
Menurut
Soerjono Soekanto, beberapa tokoh Indonesia asli sudah memikirkan
masalah-masalah sosiologi (Soerjono Soekanto, 1990, hal 56). Ajaran Wulang
Reh dari Sri Paduka Mangkunegoro IV misalnya, membahas hubungan sosial
antar golongan sosial. Ki Hadjar Dewantoro juga mengkaji masalah sosiologis
berkenaan dengan kepemimpinan dan kekeluargaan.
Sebelum
Indonesia merdeka, sudah ada percikan-percikan pemikiran sosiologis. Snouck
Hurgronje, C. Van Vollenhoben, Ter Haar, Duyvendak, dan lain-lain telah
menghasilkan karya-karya tulis sosiologis. Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool)
di Jakarta juga mengajarkan sosiologi pada mahasiswa-mahasiswanya.
Setelah
Indonesia merdeka, sosiologi berkembang pesat di Indonesia, meski awalnya hanya
dianggap sebagai ilmu bantu (Soerjono Soekanto, 1990, hal 58-60).
- Pada 1948, Soenario Kolopaking mulai mengajar sosiologi di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (kemudian menjadi Fakultas Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada).
- Sejak 1950, beberapa mahasiswa Indonesia belajar sosiologi di luar negeri.
- Djody Gondokusumo menulis buku sosiologi pertama berjudul ”Sosiologi Indonesia”.
- Hasan Shadily, lulusan Cornell University, menulis buku ”Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia”.
- Selo Soemardjan, lulusan Cornell University menerbitkan disertasinya berjudul “Social Changes in Yogyakarta” (1962)
- Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi menulis buku ”Setangkai Bunga Sosiologi” (1964)
- Mayor Polak, seorang warga Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda yang telah belajar sosiologi di Leiden (Belanda) menulis buku ”Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum, dan Politik” (1967)
- Beberapa Universitas Negeri mengajarkan sosiologi (Universitas Gadjah Mada, Univerisitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan lain-lain)
- Sejalan dengan perkembangan dan pergolakan masyarakat Indonesia, analisis-analisis, riset-riset dan buku-buku sosiologi semakin merebak. Demikian juga para sosiolog bermunculan di Indonesia.
Kegunaan atau
Manfaat Sosiologi
Sosiologi
memberikan manfaat secara praktis melalui penelitian ilmiah (kegiayan ilmiah
yang didasarkan pada proses analisis dan konstruksi) (Soerjono Soekanto, 1990,
hal 457). Tujuan penelitian adalah mengungkapkan kebenaran dalam kehidupan
sosial masyarakat. Dengan demikian, misalnya, kita bisa mengetahui
faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial atau
penyimpangan sosial. Selanjutnya informasi itu menjadi masukan untuk mengambil
keputusan atau kebijakan untuk pembangunan masyarakat.
Manfaat
penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, penelitian murni bermanfaat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan secara teoritis. Kedua, penelitian yang berpusat
pada masalah bermanfaat untuk memecahkan masalah yang timbul dalam perkembangan
teori. Ketiga, penelitian terapan bermanfaat untuk memecahkan masalah yang
dihadapi (oleh masyarakat atau pemerintah).
Melalui
penelitian sosiologis kita dapat memahami kebenaran masalah-masalah sosial
seperti masalah-masalah proses sosial, kelompok sosial, stratifikasi sosial,
lembaga kemasyarakatan, kekuasan dan wewenang, dan perubahan sosial.
Hasil-hasil penelitian sosiologis dapat dimanfatkan oleh ilmu-ilmu sosial
lainnya. Hal ini disebabkan karena penelitian sosiologis memusatkan
perhatiannya pada masyarakat, yang merupakan wadah kehidupan bersama yang
mencakup aspek-aspek: (1) fisik, (2) biologis, (3) politis, (4) ekonomis, (5)
sosial, (6) budaya, (7) kesehatan, (8) pertahanan-keamanan, (9) hukum.
Sebagai contoh
adalah manfaat penelitian sosiologis dalam proses pembangunan. Dalam
merencanakan pembangunan, selalu dibutuhkan data-data akurat tentang
perkembangan masyarakat, misalnya mengenai perkembangan proses sosial,
kelompok-kelompok sosial, kebudayaam, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan
lain-lain. Melalui penelitian sosiologis, data-data itu diperoleh dan menjadi
masukan-masukan yang penting. ......bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar