MEMANFAATKAN UNSUR-UNSUR DALAM UPACARA RAMBU SOLO' SEBAGAI SARANA PENGINJILAN
I. PENDAHULUAN
Dalam bagian pendahuluan ini akan dibahas: pokok masalah, tujuan penulisan, pentingnya penulisan, lingkup penulisan.
Pokok Masalah
Menurut tradisi pertama yang ditemukan dalam karya H. Van der Veen, The Merok Feast, mengisahkan perpisahan antara langit dan bumi melahirkan tiga dewa yaitu: Gaun Tikembong (awan yang berkembang dengan sendirinya), Pong Banggairante (dewa dataran yang luas), Pong Tulakpadang (dewa yang menopang bumi). Ketiga dewa ini mengadakan kombong kalua (musyawarah besar) untuk menciptakan matahari, bulan dan bintang-bintang.
Pong Tulak padang turun ke bagian bawah bumi dan menjadi penguasa di sana. Pong Banggairante mengambil bumi ini sebagai tempat kediamannya dan menjadi penguasa dunia tengah. Gaun Tikembong naik ke pusat cakrawala untuk mencapai sang bapa yang melahirkannya; dia menjadi penguasa dunia atas. Puang Matua (pencipta) tinggal di zenit, pusat atau puncak langit. Dialah yang menciptakan ritus-ritus dan manusia pertama bersama nenek moyangnya, tanaman-tanaman, binatang, dan benda-benda mati. Penciptaan itu dilakukan dilangit; kemudian barulah ciptaan itu diturunkan ke dunia tengah (bumi).
Segala sesuatu penciptaannya terjadi di langit. Jadi kehidupan itu turun dari atas ke bumi; karena asalnya dari atas maka kehidupan harus diamalkan dalam kerangka ketentuan-ketentuan religius dan adat, yang juga berasal dari atas. Apabila seseorang hidup sesuai dengan ketentuan-ketentuan, maka ia tidak perlu takut terhadap sesuatu apa pun. Kematian itu hanyalah sebagai pintu untuk kembali kepada realitas semula.
Orang Toraja memiliki pemahaman bahwa kehidupan yang ideal atau nyata, bukanlah yang dibumi melainkan di langit di atas. Dunia ini hanyalah peralihan atau pintu masuk; tempat tinggal yang kekal ada di langit. Kehidupan di dunia ini tidak kekal, tetapi bersifat sementara saja. Orang Toraja percaya bahwa ia berasal dari atas dan ke sana pulalah ia akan kembali. Manusia masuk ke dalam dunia dengan potensi yang digenggamnya yaitu tanggung jawab untuk mengembangkan kehidupannya menurut ketentuan-ketentuan adat. Kehidupan di dunia harus menjamin untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik di seberang sana.
Tradisi adat adalah wahana untuk meneruskannya dari generasi ke generasi. Dibalik nyanyian-nyanyian untuk orang mati (badong) juga menjelaskan tentang kehidupan dibalik kematian. Bagi orang Toraja lebih penting untuk mengembangkan kehidupan di dunia ini secara bertanggung jawab dengan memenuhi ketentuan-ketentuan aluk dan adat agar tidak mengalami kesulitan-kesulitan ketika kembali kepada kehidupan nyata di seberang sana. Kematian merupakan peraliha ke dimensi ekstensi yang lain. Peralihan ini merupakan fase yang sangat menentukan. Dalam fase ini manusia kembali ke titik awal kehidupan. Fase ini sangat ditentukan oleh ritus-ritus yang sangat kompleks. Kompleksitas ritus-ritus tidak menjadi masalah asalkan menaati ketentuan-ketentuannya. Setelah ketentuan-ketenuan terpenuhi, maka yang meninggal dapat kembali ke dalam status semula dan mejadi leluhur yang didewakan atau menjadi makhluk ilahi.
Menurut kepercayaan orang Toraja, setelah meninggal ia akan kembali kekehidupan asal di langit. Kembalinya ke sana dijamin oleh pelaksanaan ritus-ritus yang diwajibkan, mulai dari kehidupan sampai kematian. Ritus-ritus terakhir yang paling megah adalah ritus kematian atau Rambu Solo’ yaitu cara orang Toraja menguburkan orang mati. Ritual ini dilaksanakan sesudah pukul 12.00, ketika matahari mulai bergerak turun. Aluk Rambu Solo’ disebut juga Aluk Rampe Matampu’, ritus-ritus di sebelah barat. Ritus ini menutup kehidupan di bumi lalu yang mati itu kembali ke dalam kehidupan semula. Ritus kematian ini juga merupakan antisipasi kehidupan yang akan datang, jadi wajarlah kalau keluarga dari yang meninggal mempertaruhkan segala miliknya untuk mengadakan aluk bagi yang meninggal. Aluk rambu solo juga merupakan ungkapan persekutuan dan kasih terhadap yang meninggal. Bagi orang Toraja persekutuan antara orang-orang yang hidup dan mati tetap berlaku. Makin baik kehidupan leluhur di seberang sana, makin banyak pula berkat yang dapat diharapkan dari mereka.
Penulis tertarik untuk meneliti upacara rambu solo’ yang merupakan salah satu unsur dalam budaya orang Toraja karena unsur ini masih tetap terpelihara walaupun hampir sebagian orang Toraja menjadi pemeluk agama kristen. Beranjak dari persoalan di atas, dirancang pertanyaan penelitian, sbb: (1) Apakah arti rambu solo’ dan peranannya dalam kehidupan suku Toraja? (2) Bagaimana rambu solo’ sebagai salah satu wujud budaya dijadikan titiktemu bagi reevangelisasi suku Toraja?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah (1) Untuk memaparkan bahwa ada unsur tertentu dalam budaya tiap suku, dalam konteks ini suku Toraja yang dapat dipakai sebagai titiktemu dalam penginjilan. (2) Untuk menjelaskan bahwa ritual rambu solo’ adalah ritual agama suku serta menjelaskan sejauh mana penganutnya menghayati ritual ini. (3) Menjelaskan dimensi misiologis berupa penawaran alternatif Alkitabiah.
Lingkup Penulisan
Penulisan paper ini terfokus pada ritual rambu solo’ sebagai salah satu wujud atau bentuk budaya dalam masyarakat Toraja yang dapat dijadikan sebagai jembatan untuk memberitakan Injil Kristus.
II. ARTI RITUAL RAMBU SOLO’ DAN PENGHAYATANNYA
Sekilas tentang Suku Toraja
Suku Toraja terletak di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Secara geografis terletak antara 2o- 3o LS dan antara 119o- 120o BT, daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Mamuju di utara, Kabupaten Luwu di selatan, Kabupaten enrekang dan Pinrang di selatan, Kabupaten Polmas di barat. Luas wilayah Kabupaten tana Toraja adalah 3.205,77 Km2. Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 29 kecamatan dan 268 Kelurahan (sebelum pemekaran).
Panorama gunung dan persawahan, seni ukir yang menghias rumah-rumah adat menjadi tontonan yang menawan yang terkenal dengan sebutan rumah tongkonan. Suku Toraja dengan kebudayaannya yang unik, dengan julukan Land of the Heavenly Kings yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain di dunia dan masih hidup hingga sekarang. Begitu banyak situs tua yang bisa dikunjungi, termasuk pekuburan leluhur, seperti situs makam pahat di Lemo, makam goa purba di Londa, menhir di Rante Karassik, perkampungan Kete Kesu di sana ada tongkonan, lumbung padi dan megalit di antara persawahan, serta makam aristokrat. Salain itu, Suku Toraja yang juga dikenal sebagai tanah para raja ini juga terkenal dengan adat istiadat yang masih sangat kental.
Ritual Rambu Solo’
Masing-masing komunitas masyarakat memiliki adat dalam proses pemakaman orang yang sudah meninggal, demikian juga dengan masyarakat Tana Toraja dimana mereka mepunyai tradisi sendiri bagi tiap kerabatnya yang meninggal yaitu pesta adat “Rambu Solo”
Pendirian rumah-rumah bambu (dalam bahasa Toraja disebut lantang), pertanda akan dimulainya sebuah pesta adat dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. Pesta adat atas meninggalnya kerabat. Pesta adat yang merupakan warisan tradisi para leluhur; upacara penguburan atau Rambu Solo'. Dalam bahasa lain, Rambu Solo' juga kerap dimaknai sebagai pesta kematian. Akan tetapi, maknanya tentu bukan berpesta atas kematian kerabat, melainkan upacara mengantar kepergian kerabat yang telah berjasa dalam hidupnya.
Dalam upacara Rambu Solo’ ada beberapa fase yang dilakukan sebelum yang meninggal dikuburkan. Fase-fase itu antara lain: fase pertama, mereka namakan Ma’karudusan, dalam fase ini akan dipotong dua ekor kerbau, lalu fase selanjutnya adalah Ma’pasa’tedong, dalam fase ini semua kerbau yang telah disepakati untuk dijadikan korban akan dikumpulkan di halaman tongkonan tempat jenazah disemayamkan, lalu kerbau itu diarak keliling bala’kaan sebanyak tiga kali. Keesokan harinya dilakukan pemindahan jenasah dari tongkonan ke lumbung. Setelah diadakan Ma’pasonglo jenasah dipindahkan lagi ke lakkian, suatu tempat terdekat dengan tempat pemakaman. Setiap pemindahan selalu diadakan arak-arakan. Puncak acara ialah semua kerbau yang akan korbankan dipotong dan dibagikan sesuai adat yang berlaku.
Penghayatan Penganut Aluk Todolo
Kepercayaan yang hidup diantara pemeluk agama Alu’ To Dolo bahwa seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo atau dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Menurut kepercayaan Alu’ To Dolo letak puyo dibagian selatan tempat tinggal manusia. Tetapi yang menjadi persoalan adalah tidak semua arwah atau roh orang yang telah meninggal dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia masih hidup. Jika seseorang yang meninggal tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (ajaran atau tata cara peribadatan agama Alu’ To Dolo) maka yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo, tetapi jiwanya akan tersesat. Untuk menghindari supaya roh orang yang meninggal tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan yaitu puyo, maka upacara yang dilakukan harus sesuai aluk yaitu mengikuti aturan yang sebenarnya.
Jika seseorang yang meninggal belum diupacarakan, maka ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Selama belum diupacarakan maka arwah dari yang meninggal dipercaya tetap memperhatikan dari dekat kehidpuan keturunannya. Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian harus dijalankan sesuai ketentuan. sebelum menetapkan dan menentukan dimana janasah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai dengan ketentuan. pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi roh orang meninggal tujuannya agar mereka bisa mencapai puyo alias surga. Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, misalnya yang meninggal adalah dari golongan bangsawan tetapi diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatnya maka dipercaya bahwa yang bersangkutan tidak akan sampai ke puyo dan rohnya akan tersesat. Dan kepercayaan Aluk To Dolo bahwa keberadaan roh yang masuk puyo sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya, semakin sempurna upacara pemakaman maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia puyo. Agama Aluk To Dolo percaya bahwa puyo-lah negeri yang kekal, di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Jadi para penganut Agama Aluk’ To Dolo berusaha memberikan yang terbaik kepada orang yang meninggal dengan cara membekali jiwa/roh orang yang meninggal dengan pemotongan hewan, biasanya berupa kerbau dan babi sebanyak mungkin. Para penganut Agama Alu’ To Dolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah/roh orang yang meninggal dunia menuju puyo. Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kepercayaan leluhur (aluk todolo) jiwa yang mati mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Oleh sebab itu, hewan terbaik dan paling berharga adalah Tedong Bonga. Sebab, dengan bahu yang besar dan tanduk panjang yang kuat, bisa dikendarai bagi yang meninggal melintasi gunung dan lembah menuju alam baka (puya). Orang Toraja percaya bahwa jiwa dari hewan korban akan mengikuti tuannya yang dikorbankan pada upacara pemakaman. Dipercaya pula, roh dari rumah dan semua milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya. Karenanya, sekalipun seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berusaha membawanya kembali ke tempat asal untuk upacara pemakaman.
III. DIMENSI MISSIOLOGIS
Pertemuan Injil dan budaya (adat-istiadat) akan diwarnai oleh dua hal, yaitu: (1) perbedaan dan bahkan pertentangan atau konfrontasi. (2) persamaan atau konfirmasi. Ada aspek-aspekk tertentu dari kebudayaan yang cenderung bertentangan dengan Injil. Dalam hal ini kita harus mengambil sikap konfrontasi dengan kebudayaan, tetapi ada juga aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Injil sehingga keduanya saling menerima. Dalam hal ini kita mengambil sikap konfirmasi.
H. Richard Niebuhr menjelaskan lima posisi antara Yesus dan kebudayaan, (1) sikap radikal artinya Kristus menentang kebudayaan, Kristus dianggap berlawanan dengan masayarakat. Sikap ini sama sekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya. Iman selalu bersikap menghakimi terhadap kebudayaan karena kebudayaan selalu jahat. (2) Sikap Akomodatif artinya sikap ini melihat keselarasan antara Kristus dan kebudayaan. Dalam sikap ini tidak ada sama sekali pertentangan antara iman dan kebudayaan. Nilai-nilai yang menjadi dambaan masyarakat dianggap sebagai nilai-nilai yang juga dikejar dalam penghayatan iman. (3) Sikap Perpaduan artinya Kristus di atas kebudayaan, sikap ini merasa tidak perlu memilih antara Kristus dan kebudayaan, Injil yang adikodrati dipandang hadir untuk melengkapi yang kodrati. (4) Sikap Dualistik yaitu, Kristus dan kebudayaan dalam paradoks. Penganutnya mengakui kewajiban mereka untuk menaati Kristus dan kewajiban untuk mengembangkan kebudayaan. (5) Sikap Transformatif artinya Kristus membaharui kebudayaan. Sikap ini tidak dapat menerima kebudayaan dan adat istiadat, namun terbuka bahwa iman kita dapat menghakimi kebudayaan. Tidak ada budaya Kristen, yang ada adalah budaya setempat yang bernafaskan atau diwarnai iman Kristen.
Upacara rambu solo’ sebagai bagian dari agama aluk todolo (agama suku), tentu tidak bisa dihilangkan/disingkirkan begitu saja dengan hadirnya kekristenan di Tana Toraja. Faktanya meskipun saat ini hampir sebagaian besar masyarakat Toraja memeluk agama kristen, tetapi upacara rambu solo’ bukannya meredup melainkan terus mewarnai kehidupan masyarakat Toraja.
Perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama kristen yang datang dari konteks barat telah menciptakan masyarakat Toraja dalam suatu kondisi tarik menarik. Pada satu sisi agama kristen diakui sebagai dasar iman tetapi dilain sisi, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh walaupun itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini juga menyebabkan masyarakat Toraja sering menampilkan sikap dualisme yaitu pada satu sisi, agama diakui, namun pada sisi lain petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan.
Persoalannya, bagaimana upacara rambu solo ini dapat diperluas menjadi sarana/jembatan untuk pengabaran Injil. Dalam suatu budaya, hampir semua adat akan melaksanakan fungsi yang penting. Adat seharusnya tidak di cap ”jahat” dan dihapuskan tanpa melihat fungsi dan artinya terlebih dahulu. Hal yang harus diperhatikan ketika membawa Injil ke dalam suatu budaya adalah Injil harus dikemas dalam suatu budaya dengan pengertian yang baru. Jika tidak demikian, maka akan ada kecenderungan Injil di tolak, karena kekristenan dianggap sebagai ancaman terhadap budaya suatu suku. Adat dan kepercayaan yang tidak cocok dengan Injil harus dihapus sedangkan yang tidak betentangan dengan Injil dapat dipertahankan, bahkan dipoles dibawah pemerintahan Tuhan.
Demikian juga halnya dalam memahami upacara rambu solo’ harus memiliki sikap yang selektif artinya unsur-unsur dalam upacara rambu solo’ ada yang baik dan ada yang bertentangan dengan iman kristen dan yang bertentangan harus ditolak. Dalam upacara rambu solo’ ada beberapa hal yang bersifat sosial budaya yang memainkan peran penting dalam kehidupan orang Toraja, antara lain:
a. Kekerabatan, orang Toraja memandang sistim dan kesatuan kekerabatan hal yang penting dan bernilai tinggi. Melalui upacara rambu solo; kekerabatan itu disegarkan kembali dimana para kerabat berkumpul dan hal ini semakin mempererat hubungan kekerabatan dari suatu keluarga besar bahkan dengan segala pihak yang datang berbelasungkawa.
b. Martabat, melalui penyelenggaraan upacara penguburan, martabat dan harga diri keluarga dinyatakan. Keberhasilan dan kemeriahan upacara yang diselenggarakan mempunyai nilai sosial budaya yang tinggi, dan sebaliknya akan merasa malu jika tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaimana mestinya.
c. Pembagian warisan, melalui upacara ini pembagian warisan dapat ditentukan, kecuali ada wasiat yang di tulis oleh yang meninggal. Anak atau keluarga yang paling banyak pengorbanannya dalam upacara ini, merekalah yang berhak mendapat harta warisan yang lebih banyak.
d. Persekutuan/gotong royong, dalam upacara ini ada gotong-royong artinya bantuan berupa kerbau, babi dan lain-lain yang berasal dari kaum kerabat, handai tolan dan kenalan. Bantuan ini akan dekembalikan bila yang memberi itu pada suatu waktu ditimpa kematian. Gotong royong, solidaritas dan saling menghormati dikalangan orang Toraja merupakan suatu bulai diharga tinggi.
e. Rekreasi, upacara ini walaupun upacara kedukaan, tetapi sekaligus juga upacara kegembiraan. Orang desa, anak-anak muda, para pelancong ingin berkumpul untuk mengalami dan mengikuti suasana pesta kedukaan ini.
Setelah melihat unsur-unsur yang memainkan peran penting dalam budaya Toraja. Bagaimana kita menyikapi upacara rambu solo ini dan unsur-unsur apa saja yang dapat dimanfaatkan sebagai jembatan Injil untuk masuk ke dalam budaya orang Toraja.
a. Pemotongan hewan dalam upacara rambu solo harus diberi makna yang baru, hewan yang dikorbankan tidak lagi dimaknai sebagai korban kepada jiwa orang-orang yang telah mati. Harus diberi pemahaman kepada penganutnya bahwa mereka tidak boleh lagi memiliki pemikiran bahwa orang mati akan membawa serta binatang yang di korbankan itu ke puya (negeri arwah) atau ke surga, binatang tidak mempunyai jiwa kekal. Jadi hewan yang dikorbankan itu bukanlah bekal atau milik dari orang yang meninggal, melainkan hanya disuguhkan sebagai hidangan makanan kepada para tamu dan keluarga yang datang melayat.
b. Salah satu unsur dari upacara rambu solo adalah adanya kepercayaan kepada jiwa-jiwa orang mati, seakan-akan jiwa orang mati itu dapat memberi restu. Jadi harus diberi pemahaman yang baru bahwa restu dan bahagia datangnya bukan dari jiwa orang yang sudah meninggal, tetapi datangnya hanya dari Tuhan saja. Demikian juga dengan nyanyian ratapan yang dinyanyikan dalam upacara ini, hendaknya kata-katanya diganti dengan makna kekristenan, dan pujiannya ditujukan kepada Tuhan.
IV. PENUTUP
Melalui pemaparan di atas, akhirnya penulis sampai pada penutup yang terdiri dari kesimpulan.
Kesimpulan
Pada hakekatnya upacara rambu solo’ adalah sifatnya upacara agamawi, karena seluruh rangkaian acara tidak terpisah dari acara (ritus) agamawi. Selamat tidaknya arwah yang diupacarakan sangat tergantung dari upacara rambu solo’ yang diselengggarakan. Bila upacara tidak lengkap maka jiwa orang yang meninggal tidak selamat atau mengalami kehidupan yang susah di dunia roh. Upacara rambu solo’ bukan hanya sekedar adat, tetapi upacara rambu solo’ secara keseluruhan di dukung oleh suatu nilai agamawi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keyakinan akan persekutuan antara orang hidup dengan mereka yang telah suntuk hari-harinya. Keduanya saling mempengaruhi, jika arwah nenek moyang disembah.
Demikian juga dengan unsur-unsur yang ada dalam upacara rambu solo’ ada yang bisa diterima dan dimanfaatkan untuk menjelaskan Injil, namun terlebih dahulu melalui saringan (filter). Unsur-unsur yang sesuai firman Allah hendaknya dikembangkan secara dinamis, sedangkan yang bertentangan dengan Firman Allah hendaknya dibuang jauh-jauh.
Daftar Pustaka
1. Kobong, Theodorus, Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, kontektualisasi, transformasi. Jakarta: Gunung Mulia, 2008
2. Th. Kobong, dkk. Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja: dalam perjumpaan dengan Injil. Jakarta: Institut Theologi Indonesia 1992
3. Runtu, Jacky. ”Pesta Adat ”Rambu Solo” – Gerbang Memasuki Alam Baka” Bejana Advent Indonesia Timur. Jakarta: B.A.I.T Ministry, November 2007........Perjumpaan antara Gereja dan Budaya. http://www.wfiniruku.blogspot.com
I. PENDAHULUAN
Dalam bagian pendahuluan ini akan dibahas: pokok masalah, tujuan penulisan, pentingnya penulisan, lingkup penulisan.
Pokok Masalah
Menurut tradisi pertama yang ditemukan dalam karya H. Van der Veen, The Merok Feast, mengisahkan perpisahan antara langit dan bumi melahirkan tiga dewa yaitu: Gaun Tikembong (awan yang berkembang dengan sendirinya), Pong Banggairante (dewa dataran yang luas), Pong Tulakpadang (dewa yang menopang bumi). Ketiga dewa ini mengadakan kombong kalua (musyawarah besar) untuk menciptakan matahari, bulan dan bintang-bintang.
Pong Tulak padang turun ke bagian bawah bumi dan menjadi penguasa di sana. Pong Banggairante mengambil bumi ini sebagai tempat kediamannya dan menjadi penguasa dunia tengah. Gaun Tikembong naik ke pusat cakrawala untuk mencapai sang bapa yang melahirkannya; dia menjadi penguasa dunia atas. Puang Matua (pencipta) tinggal di zenit, pusat atau puncak langit. Dialah yang menciptakan ritus-ritus dan manusia pertama bersama nenek moyangnya, tanaman-tanaman, binatang, dan benda-benda mati. Penciptaan itu dilakukan dilangit; kemudian barulah ciptaan itu diturunkan ke dunia tengah (bumi).
Segala sesuatu penciptaannya terjadi di langit. Jadi kehidupan itu turun dari atas ke bumi; karena asalnya dari atas maka kehidupan harus diamalkan dalam kerangka ketentuan-ketentuan religius dan adat, yang juga berasal dari atas. Apabila seseorang hidup sesuai dengan ketentuan-ketentuan, maka ia tidak perlu takut terhadap sesuatu apa pun. Kematian itu hanyalah sebagai pintu untuk kembali kepada realitas semula.
Orang Toraja memiliki pemahaman bahwa kehidupan yang ideal atau nyata, bukanlah yang dibumi melainkan di langit di atas. Dunia ini hanyalah peralihan atau pintu masuk; tempat tinggal yang kekal ada di langit. Kehidupan di dunia ini tidak kekal, tetapi bersifat sementara saja. Orang Toraja percaya bahwa ia berasal dari atas dan ke sana pulalah ia akan kembali. Manusia masuk ke dalam dunia dengan potensi yang digenggamnya yaitu tanggung jawab untuk mengembangkan kehidupannya menurut ketentuan-ketentuan adat. Kehidupan di dunia harus menjamin untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik di seberang sana.
Tradisi adat adalah wahana untuk meneruskannya dari generasi ke generasi. Dibalik nyanyian-nyanyian untuk orang mati (badong) juga menjelaskan tentang kehidupan dibalik kematian. Bagi orang Toraja lebih penting untuk mengembangkan kehidupan di dunia ini secara bertanggung jawab dengan memenuhi ketentuan-ketentuan aluk dan adat agar tidak mengalami kesulitan-kesulitan ketika kembali kepada kehidupan nyata di seberang sana. Kematian merupakan peraliha ke dimensi ekstensi yang lain. Peralihan ini merupakan fase yang sangat menentukan. Dalam fase ini manusia kembali ke titik awal kehidupan. Fase ini sangat ditentukan oleh ritus-ritus yang sangat kompleks. Kompleksitas ritus-ritus tidak menjadi masalah asalkan menaati ketentuan-ketentuannya. Setelah ketentuan-ketenuan terpenuhi, maka yang meninggal dapat kembali ke dalam status semula dan mejadi leluhur yang didewakan atau menjadi makhluk ilahi.
Menurut kepercayaan orang Toraja, setelah meninggal ia akan kembali kekehidupan asal di langit. Kembalinya ke sana dijamin oleh pelaksanaan ritus-ritus yang diwajibkan, mulai dari kehidupan sampai kematian. Ritus-ritus terakhir yang paling megah adalah ritus kematian atau Rambu Solo’ yaitu cara orang Toraja menguburkan orang mati. Ritual ini dilaksanakan sesudah pukul 12.00, ketika matahari mulai bergerak turun. Aluk Rambu Solo’ disebut juga Aluk Rampe Matampu’, ritus-ritus di sebelah barat. Ritus ini menutup kehidupan di bumi lalu yang mati itu kembali ke dalam kehidupan semula. Ritus kematian ini juga merupakan antisipasi kehidupan yang akan datang, jadi wajarlah kalau keluarga dari yang meninggal mempertaruhkan segala miliknya untuk mengadakan aluk bagi yang meninggal. Aluk rambu solo juga merupakan ungkapan persekutuan dan kasih terhadap yang meninggal. Bagi orang Toraja persekutuan antara orang-orang yang hidup dan mati tetap berlaku. Makin baik kehidupan leluhur di seberang sana, makin banyak pula berkat yang dapat diharapkan dari mereka.
Penulis tertarik untuk meneliti upacara rambu solo’ yang merupakan salah satu unsur dalam budaya orang Toraja karena unsur ini masih tetap terpelihara walaupun hampir sebagian orang Toraja menjadi pemeluk agama kristen. Beranjak dari persoalan di atas, dirancang pertanyaan penelitian, sbb: (1) Apakah arti rambu solo’ dan peranannya dalam kehidupan suku Toraja? (2) Bagaimana rambu solo’ sebagai salah satu wujud budaya dijadikan titiktemu bagi reevangelisasi suku Toraja?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah (1) Untuk memaparkan bahwa ada unsur tertentu dalam budaya tiap suku, dalam konteks ini suku Toraja yang dapat dipakai sebagai titiktemu dalam penginjilan. (2) Untuk menjelaskan bahwa ritual rambu solo’ adalah ritual agama suku serta menjelaskan sejauh mana penganutnya menghayati ritual ini. (3) Menjelaskan dimensi misiologis berupa penawaran alternatif Alkitabiah.
Lingkup Penulisan
Penulisan paper ini terfokus pada ritual rambu solo’ sebagai salah satu wujud atau bentuk budaya dalam masyarakat Toraja yang dapat dijadikan sebagai jembatan untuk memberitakan Injil Kristus.
II. ARTI RITUAL RAMBU SOLO’ DAN PENGHAYATANNYA
Sekilas tentang Suku Toraja
Suku Toraja terletak di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Secara geografis terletak antara 2o- 3o LS dan antara 119o- 120o BT, daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Mamuju di utara, Kabupaten Luwu di selatan, Kabupaten enrekang dan Pinrang di selatan, Kabupaten Polmas di barat. Luas wilayah Kabupaten tana Toraja adalah 3.205,77 Km2. Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 29 kecamatan dan 268 Kelurahan (sebelum pemekaran).
Panorama gunung dan persawahan, seni ukir yang menghias rumah-rumah adat menjadi tontonan yang menawan yang terkenal dengan sebutan rumah tongkonan. Suku Toraja dengan kebudayaannya yang unik, dengan julukan Land of the Heavenly Kings yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain di dunia dan masih hidup hingga sekarang. Begitu banyak situs tua yang bisa dikunjungi, termasuk pekuburan leluhur, seperti situs makam pahat di Lemo, makam goa purba di Londa, menhir di Rante Karassik, perkampungan Kete Kesu di sana ada tongkonan, lumbung padi dan megalit di antara persawahan, serta makam aristokrat. Salain itu, Suku Toraja yang juga dikenal sebagai tanah para raja ini juga terkenal dengan adat istiadat yang masih sangat kental.
Ritual Rambu Solo’
Masing-masing komunitas masyarakat memiliki adat dalam proses pemakaman orang yang sudah meninggal, demikian juga dengan masyarakat Tana Toraja dimana mereka mepunyai tradisi sendiri bagi tiap kerabatnya yang meninggal yaitu pesta adat “Rambu Solo”
Pendirian rumah-rumah bambu (dalam bahasa Toraja disebut lantang), pertanda akan dimulainya sebuah pesta adat dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. Pesta adat atas meninggalnya kerabat. Pesta adat yang merupakan warisan tradisi para leluhur; upacara penguburan atau Rambu Solo'. Dalam bahasa lain, Rambu Solo' juga kerap dimaknai sebagai pesta kematian. Akan tetapi, maknanya tentu bukan berpesta atas kematian kerabat, melainkan upacara mengantar kepergian kerabat yang telah berjasa dalam hidupnya.
Dalam upacara Rambu Solo’ ada beberapa fase yang dilakukan sebelum yang meninggal dikuburkan. Fase-fase itu antara lain: fase pertama, mereka namakan Ma’karudusan, dalam fase ini akan dipotong dua ekor kerbau, lalu fase selanjutnya adalah Ma’pasa’tedong, dalam fase ini semua kerbau yang telah disepakati untuk dijadikan korban akan dikumpulkan di halaman tongkonan tempat jenazah disemayamkan, lalu kerbau itu diarak keliling bala’kaan sebanyak tiga kali. Keesokan harinya dilakukan pemindahan jenasah dari tongkonan ke lumbung. Setelah diadakan Ma’pasonglo jenasah dipindahkan lagi ke lakkian, suatu tempat terdekat dengan tempat pemakaman. Setiap pemindahan selalu diadakan arak-arakan. Puncak acara ialah semua kerbau yang akan korbankan dipotong dan dibagikan sesuai adat yang berlaku.
Penghayatan Penganut Aluk Todolo
Kepercayaan yang hidup diantara pemeluk agama Alu’ To Dolo bahwa seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo atau dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Menurut kepercayaan Alu’ To Dolo letak puyo dibagian selatan tempat tinggal manusia. Tetapi yang menjadi persoalan adalah tidak semua arwah atau roh orang yang telah meninggal dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia masih hidup. Jika seseorang yang meninggal tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (ajaran atau tata cara peribadatan agama Alu’ To Dolo) maka yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo, tetapi jiwanya akan tersesat. Untuk menghindari supaya roh orang yang meninggal tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan yaitu puyo, maka upacara yang dilakukan harus sesuai aluk yaitu mengikuti aturan yang sebenarnya.
Jika seseorang yang meninggal belum diupacarakan, maka ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Selama belum diupacarakan maka arwah dari yang meninggal dipercaya tetap memperhatikan dari dekat kehidpuan keturunannya. Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian harus dijalankan sesuai ketentuan. sebelum menetapkan dan menentukan dimana janasah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai dengan ketentuan. pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi roh orang meninggal tujuannya agar mereka bisa mencapai puyo alias surga. Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, misalnya yang meninggal adalah dari golongan bangsawan tetapi diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatnya maka dipercaya bahwa yang bersangkutan tidak akan sampai ke puyo dan rohnya akan tersesat. Dan kepercayaan Aluk To Dolo bahwa keberadaan roh yang masuk puyo sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya, semakin sempurna upacara pemakaman maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia puyo. Agama Aluk To Dolo percaya bahwa puyo-lah negeri yang kekal, di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Jadi para penganut Agama Aluk’ To Dolo berusaha memberikan yang terbaik kepada orang yang meninggal dengan cara membekali jiwa/roh orang yang meninggal dengan pemotongan hewan, biasanya berupa kerbau dan babi sebanyak mungkin. Para penganut Agama Alu’ To Dolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah/roh orang yang meninggal dunia menuju puyo. Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kepercayaan leluhur (aluk todolo) jiwa yang mati mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Oleh sebab itu, hewan terbaik dan paling berharga adalah Tedong Bonga. Sebab, dengan bahu yang besar dan tanduk panjang yang kuat, bisa dikendarai bagi yang meninggal melintasi gunung dan lembah menuju alam baka (puya). Orang Toraja percaya bahwa jiwa dari hewan korban akan mengikuti tuannya yang dikorbankan pada upacara pemakaman. Dipercaya pula, roh dari rumah dan semua milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya. Karenanya, sekalipun seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berusaha membawanya kembali ke tempat asal untuk upacara pemakaman.
III. DIMENSI MISSIOLOGIS
Pertemuan Injil dan budaya (adat-istiadat) akan diwarnai oleh dua hal, yaitu: (1) perbedaan dan bahkan pertentangan atau konfrontasi. (2) persamaan atau konfirmasi. Ada aspek-aspekk tertentu dari kebudayaan yang cenderung bertentangan dengan Injil. Dalam hal ini kita harus mengambil sikap konfrontasi dengan kebudayaan, tetapi ada juga aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Injil sehingga keduanya saling menerima. Dalam hal ini kita mengambil sikap konfirmasi.
H. Richard Niebuhr menjelaskan lima posisi antara Yesus dan kebudayaan, (1) sikap radikal artinya Kristus menentang kebudayaan, Kristus dianggap berlawanan dengan masayarakat. Sikap ini sama sekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya. Iman selalu bersikap menghakimi terhadap kebudayaan karena kebudayaan selalu jahat. (2) Sikap Akomodatif artinya sikap ini melihat keselarasan antara Kristus dan kebudayaan. Dalam sikap ini tidak ada sama sekali pertentangan antara iman dan kebudayaan. Nilai-nilai yang menjadi dambaan masyarakat dianggap sebagai nilai-nilai yang juga dikejar dalam penghayatan iman. (3) Sikap Perpaduan artinya Kristus di atas kebudayaan, sikap ini merasa tidak perlu memilih antara Kristus dan kebudayaan, Injil yang adikodrati dipandang hadir untuk melengkapi yang kodrati. (4) Sikap Dualistik yaitu, Kristus dan kebudayaan dalam paradoks. Penganutnya mengakui kewajiban mereka untuk menaati Kristus dan kewajiban untuk mengembangkan kebudayaan. (5) Sikap Transformatif artinya Kristus membaharui kebudayaan. Sikap ini tidak dapat menerima kebudayaan dan adat istiadat, namun terbuka bahwa iman kita dapat menghakimi kebudayaan. Tidak ada budaya Kristen, yang ada adalah budaya setempat yang bernafaskan atau diwarnai iman Kristen.
Upacara rambu solo’ sebagai bagian dari agama aluk todolo (agama suku), tentu tidak bisa dihilangkan/disingkirkan begitu saja dengan hadirnya kekristenan di Tana Toraja. Faktanya meskipun saat ini hampir sebagaian besar masyarakat Toraja memeluk agama kristen, tetapi upacara rambu solo’ bukannya meredup melainkan terus mewarnai kehidupan masyarakat Toraja.
Perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama kristen yang datang dari konteks barat telah menciptakan masyarakat Toraja dalam suatu kondisi tarik menarik. Pada satu sisi agama kristen diakui sebagai dasar iman tetapi dilain sisi, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh walaupun itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini juga menyebabkan masyarakat Toraja sering menampilkan sikap dualisme yaitu pada satu sisi, agama diakui, namun pada sisi lain petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan.
Persoalannya, bagaimana upacara rambu solo ini dapat diperluas menjadi sarana/jembatan untuk pengabaran Injil. Dalam suatu budaya, hampir semua adat akan melaksanakan fungsi yang penting. Adat seharusnya tidak di cap ”jahat” dan dihapuskan tanpa melihat fungsi dan artinya terlebih dahulu. Hal yang harus diperhatikan ketika membawa Injil ke dalam suatu budaya adalah Injil harus dikemas dalam suatu budaya dengan pengertian yang baru. Jika tidak demikian, maka akan ada kecenderungan Injil di tolak, karena kekristenan dianggap sebagai ancaman terhadap budaya suatu suku. Adat dan kepercayaan yang tidak cocok dengan Injil harus dihapus sedangkan yang tidak betentangan dengan Injil dapat dipertahankan, bahkan dipoles dibawah pemerintahan Tuhan.
Demikian juga halnya dalam memahami upacara rambu solo’ harus memiliki sikap yang selektif artinya unsur-unsur dalam upacara rambu solo’ ada yang baik dan ada yang bertentangan dengan iman kristen dan yang bertentangan harus ditolak. Dalam upacara rambu solo’ ada beberapa hal yang bersifat sosial budaya yang memainkan peran penting dalam kehidupan orang Toraja, antara lain:
a. Kekerabatan, orang Toraja memandang sistim dan kesatuan kekerabatan hal yang penting dan bernilai tinggi. Melalui upacara rambu solo; kekerabatan itu disegarkan kembali dimana para kerabat berkumpul dan hal ini semakin mempererat hubungan kekerabatan dari suatu keluarga besar bahkan dengan segala pihak yang datang berbelasungkawa.
b. Martabat, melalui penyelenggaraan upacara penguburan, martabat dan harga diri keluarga dinyatakan. Keberhasilan dan kemeriahan upacara yang diselenggarakan mempunyai nilai sosial budaya yang tinggi, dan sebaliknya akan merasa malu jika tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaimana mestinya.
c. Pembagian warisan, melalui upacara ini pembagian warisan dapat ditentukan, kecuali ada wasiat yang di tulis oleh yang meninggal. Anak atau keluarga yang paling banyak pengorbanannya dalam upacara ini, merekalah yang berhak mendapat harta warisan yang lebih banyak.
d. Persekutuan/gotong royong, dalam upacara ini ada gotong-royong artinya bantuan berupa kerbau, babi dan lain-lain yang berasal dari kaum kerabat, handai tolan dan kenalan. Bantuan ini akan dekembalikan bila yang memberi itu pada suatu waktu ditimpa kematian. Gotong royong, solidaritas dan saling menghormati dikalangan orang Toraja merupakan suatu bulai diharga tinggi.
e. Rekreasi, upacara ini walaupun upacara kedukaan, tetapi sekaligus juga upacara kegembiraan. Orang desa, anak-anak muda, para pelancong ingin berkumpul untuk mengalami dan mengikuti suasana pesta kedukaan ini.
Setelah melihat unsur-unsur yang memainkan peran penting dalam budaya Toraja. Bagaimana kita menyikapi upacara rambu solo ini dan unsur-unsur apa saja yang dapat dimanfaatkan sebagai jembatan Injil untuk masuk ke dalam budaya orang Toraja.
a. Pemotongan hewan dalam upacara rambu solo harus diberi makna yang baru, hewan yang dikorbankan tidak lagi dimaknai sebagai korban kepada jiwa orang-orang yang telah mati. Harus diberi pemahaman kepada penganutnya bahwa mereka tidak boleh lagi memiliki pemikiran bahwa orang mati akan membawa serta binatang yang di korbankan itu ke puya (negeri arwah) atau ke surga, binatang tidak mempunyai jiwa kekal. Jadi hewan yang dikorbankan itu bukanlah bekal atau milik dari orang yang meninggal, melainkan hanya disuguhkan sebagai hidangan makanan kepada para tamu dan keluarga yang datang melayat.
b. Salah satu unsur dari upacara rambu solo adalah adanya kepercayaan kepada jiwa-jiwa orang mati, seakan-akan jiwa orang mati itu dapat memberi restu. Jadi harus diberi pemahaman yang baru bahwa restu dan bahagia datangnya bukan dari jiwa orang yang sudah meninggal, tetapi datangnya hanya dari Tuhan saja. Demikian juga dengan nyanyian ratapan yang dinyanyikan dalam upacara ini, hendaknya kata-katanya diganti dengan makna kekristenan, dan pujiannya ditujukan kepada Tuhan.
IV. PENUTUP
Melalui pemaparan di atas, akhirnya penulis sampai pada penutup yang terdiri dari kesimpulan.
Kesimpulan
Pada hakekatnya upacara rambu solo’ adalah sifatnya upacara agamawi, karena seluruh rangkaian acara tidak terpisah dari acara (ritus) agamawi. Selamat tidaknya arwah yang diupacarakan sangat tergantung dari upacara rambu solo’ yang diselengggarakan. Bila upacara tidak lengkap maka jiwa orang yang meninggal tidak selamat atau mengalami kehidupan yang susah di dunia roh. Upacara rambu solo’ bukan hanya sekedar adat, tetapi upacara rambu solo’ secara keseluruhan di dukung oleh suatu nilai agamawi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keyakinan akan persekutuan antara orang hidup dengan mereka yang telah suntuk hari-harinya. Keduanya saling mempengaruhi, jika arwah nenek moyang disembah.
Demikian juga dengan unsur-unsur yang ada dalam upacara rambu solo’ ada yang bisa diterima dan dimanfaatkan untuk menjelaskan Injil, namun terlebih dahulu melalui saringan (filter). Unsur-unsur yang sesuai firman Allah hendaknya dikembangkan secara dinamis, sedangkan yang bertentangan dengan Firman Allah hendaknya dibuang jauh-jauh.
Daftar Pustaka
1. Kobong, Theodorus, Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, kontektualisasi, transformasi. Jakarta: Gunung Mulia, 2008
2. Th. Kobong, dkk. Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja: dalam perjumpaan dengan Injil. Jakarta: Institut Theologi Indonesia 1992
3. Runtu, Jacky. ”Pesta Adat ”Rambu Solo” – Gerbang Memasuki Alam Baka” Bejana Advent Indonesia Timur. Jakarta: B.A.I.T Ministry, November 2007........Perjumpaan antara Gereja dan Budaya. http://www.wfiniruku.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar