17 Juni 2013

TUGAS LAPORAN BUKU | TIRSA MONU | STTC
Judul Buku : Alkitan dan Liturgi
Pengarang : E.H. van OLST
Tahun Penrbit : 1999
Penerbit : Gunung Mulia
Cetakan : 3
Tebal Buku : 171 Halaman

Buku ini menekankan tentang pentingnya liturgi dalam ibadah sebab
liturgi bertolak dari Akitab. Penulis buku ini berusaha mengembalikan
pola pikir Gereja tentang pentingnya memahami liturgi dengan benar
untuk meluruskan kekeliruan pola pikir gereja masa kini yang mulai
menganggap bahwa hanya unsur-unsur liturgi tertentu saja yang penting
sementara unsur-unsur yang lainnya hanya sebagai pelengkap saja.
Contohnya: beberapa pengunjung gereja menganggap bahwa yang terpenting
mengapa pergi ke Gereja adalah untuk mendengarkan khotbah,
bagian-bagian lain dari upacara ibadah itu umumnya dianggap sebagai
introduksi (pembukaan) atau tambahan saja. Akibatnya banyak pengunjung
gereja yang datang ke gereja tidak tepat waktu, ada yang datang
setelah doa pembukaan bahkan ada juga yang datang setelah doa untuk
masuk dalam liturgi penyampaian Firman Tuhan. Semakin berkembangnya
teologi, unsur-unsur liturgi juga mulai mengalami pergeseran, misalnya
Calvin menghapus tata pembacaan klasik yang berdasarkan pada tahun
gereja.
Dari pendahuluannya dalam buku ini terlihat jelas bahwa penulis
menentang tentang paham individualistis. Dalam bahasan ini yang
dimaksud dengan paham individualistis adalah pemilihan bacaan Alkitab
setiap minggunya ditentukan oleh pengkhotbah secara pribadi. Penulis
menganggap bahwa jenis individualisme ini berarti mempertahankan
keadaan yang tidak melibatkan anggota-anggota jemaat dalam ibadah.
Penulis menolak pendapat yang mengatakan bahwa struktur yang teratur
khususnya mengenai penggunaan daftar pembacaan Alkitab (leksionari),
mengimplikasikan suatu pembatasan kebebasan tidak dapat diterima,
sebab menurut penulis praktik mengizinkan pribadi pengkhotbah secara
bebas memilih teks pada umumnya membawa kepada suatu jajaran tema
yang jauh lebih sempit.
Tesis pokok dari buku ini ialah bahwa struktur perayaan adalah
sesuatu yang telah diberikan bersamaan dengan munculnya Kitab Suci itu
sendiri sehinggah dari pengertian baik sumber maupun penggunaannya,
Alkitab dapat disebut buku liturgis. Menurut penulis fakta ini dapat
dilihat dari kelima penggolongan kitab Mazmur, selain kitab mazmur
terdapat juga sekitar tujuh puluhan nyanyian tambahan lainya
diantaranya nyanyian madah dari Maryam, Hizkia, Simeon, Zakharia, dll.
Juga banyak cerita yang sebenarnya mempunyai latar belakang cerita
liturgis seperti cerita keluaran, cerita masuknya umat Israel ke
Kanaan (Yosua), dan banyak peristiwa liturgis (dan fragmen-fragmen)
dalam kitab Wahyu. Selain itu buku ini juga menaruh perhatian terhadap
tradisi Yahudi, tradisi Kristen purba sebagaimana dia pada akhirnya
mengambil bentuk dalam tahun gereja klasik dan tradisi calvinis. Dalam
buku ini juga menyorot fakta tentang kemunduran liturgis dalam tradisi
dikaitkan dengan munculnya subyektivitas dan individuaisme dan
penilaian yang rendah akan tubuh jasmani manusia yang sedang populer
saat ini. Menurut penulis, ibadah berdasarkan perspektif Alkitab tidak
hanya menyangkut pikiran manusia, tetapi keseluruhan keberadaan
manusia terlibat di dalamnya termasuk kejasmanian.
Dari apa yang dibahas dalam buku ini dan dari tulisan dari penulis
sendiri menyatakan bahwa buku ini sebenarnya diperuntukkan bagi
orang-orang yang tertarik dengan apa yang terjadi di dalam suatu
upaara ibadah dan yang mungkin ikut berperan serta dalam
kelompok-kelompok kerja di bidang liturgi. Buku ini juga mengindari
banyaknya catatan-catatan kaki dan sesuatu yang teoritis atau yang
bersifat terminologis. Fokus dari buku ini adalah sebuah pertanyaan
yaitu apakah hakikat dan struktur pengalaman dari orang-orang yang
sedang merayakan liturgis itu sendiri?
Penulis buku ini membahas tentang srtuktur liturgis dari Alkitab
mulai dari asal-usul liturgis yang tentu saja bersumber dari banyak
bagian Alkitab misalnya yang paling menyolok adalah kitab Mazmur,
kitab nyanyian, tetapi khusus kitab doa dari Israel dan gereja. Dari
kitab Mazmur penulis menyimpulkan bahwa di dalam liturgis kitab
Mazmur, seluruh ciptaan berfungsi dalam puji-pujian dan di sana mereka
menemukan makna keberadaannya. Namun Mazmur bukanlah satu-satunya
nyanyian liturgis dalam Alkitab sebab masih ada bagian-bagian tertentu
dalam Alkitab yang membahas tentang nyanyian liturgis seperti nyanyian
Musa (Kel. 15), nyanyian Debora (Hak. 5), nyanyian Hana (1 Sam. 2) dan
dalam Perjanjian Baru ada nyanyian Zakharia, Maria, dan Simeon.
Liturgis nyanyian sudah dimulai dari sinagoge-sinagoge. Bahkan semua
pembacaan Torah dan Kitab Nabi-Nabi dilantunkan oleh pemimpin
penyanyi. Jadi nyanyian doa merupakan salah satu unsur liturgis yang
Alkitabiah sehinggah dapat disimpulkan bahwa doa, nyanyian dan
puji-pujian bukanlah hanya sekedar unsur liturgis pelengkap melainkan
sejak dalam Perjanjian Lama puji-pujian merupakan suatu komponen yang
sentral. Dalam Wahyu Pasal 5 menerangkan tentang suatu peristiwa/
kegiatan liturgis yang akbar dimana keempat makhluk dan dua puluh
empat tua-tua menyanyikan satu lagu baru diikuti dengan suatu
puji-pujian agung untuk sang Anak Domba.
Selain puji-pujian, penulis buku juga mengangkat tentang pentingnya
liturgi doa didasarkan pada doa-doa dalam kisah para rasul dan tentu
saja doa 'Bapa Kami' yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri.
Kitab lain dalam Alkitab yang diangkat oleh penulis sebagai sebagai
kitab liturgis juga adalah kitab Yosua yang memperlihatkan suatu
perayaan dan upacara peringatan melalui cerita penyeberangan sungai
Yordan. Setelah umat Tuhan sampai ke tepi Sungai Yordan, dalam
arak-arakan di belakang tabut perjanjian dan para imam, mereka
menyeberangi Sungai Yordan. Dalam kitab Yosua juga terdapat kisah
Paskah pertama bangsa Israel di tanah Kanaan dan di tanah Kanaan juga
mereka yang belum disunat karena perjalanan di padang gurun mendapat
kesempatan untuk bisa di sunat.
Penulis menekankan pentingnya liturgi sebab liturgi bukan hanya
sekedar suatu isu spiritual saja melainkan sesuatu yang menyangkut
keseluruhan diri manusia baik tubuh, jiwa dan roh yang dibawa di
hadapan Allah. Penulis juga masih menekankan pentingnya
perayaan-perayaan seperti masa Advent yang diikuti masa Epifani,
siklus Paskah dengan suatu periode persiapan yang disebut puasa atau
masa empat puluh hari dan suatu masa pelanjutan Paskah yang berakhir
sampai pada Pentakosta. Dan dari semua liturgi yang di bahas dalam
buku ini, penulis menekankan bahwa mulai dari awal, Paskah merupakan
pusat dari liturgi Kristen sebab Paskah menjadi dasar kelayakkan orang
peraya untuk masuk dalam perjanjian dengan Allah dan merayakan liturgi
yang lainnya.
TANGGAPAN SAYA
Pembahasan penulis dalam buku ini mengenai liturgi sangat memberkati
saya sebab memberikan pemahaman yang baru kepada saya mengenai
beberapa Liturgi gereja yang tidak saya mengerti bahkan tidak pernah
diterapkan dalam Gereja tempat dimana saya bertumbuh secara rohani
seperti liturgi minggu Advent dan periode persiapan menjelang Paskah.
Saya juga setuju dengan penulis yang berpendapat bahwa setiap unsur
liturgi dalam peribadatan merupakan unsur yang penting. Jadi bukan
hanya penyampaian Firman Tuhan saja yang penting melainkan puji-pujian
dan doa juga merupakan unsur yang penting dan Alkitabiah. Hanya satu
hal yang saya tidak sependapat dengan penulis yaitu mengenai penetapan
ayat bacaan setiap minggunya. Menurut penulis penetapan ayat bacaan
secara individual oleh pengkhotbah merupakan hal yang keliru dan
membawa pada jajaran tema yang terlalu sempit. Tapi menurut pendapat
saya penetapan tema dan bacaaan Alkitab oleh pengkotbah justru sangat
efektif untuk mendorong pertumbuhan rohani jemaat Tuhan yang beliau
gembalakan sebab beliau sebagai gembala jemaat tentu memahami kondisi
dan kebutuhan rohani jemaat setempat. Selain itu tentu seorang
pengkhotbah akan berdoa dengan lebih sungguh-sungguh kepada Tuhan
untuk memperoleh ilham baru dari Roh Kudus mengenai apa yang akan
disampaikan kepada jemaat.
Jika kelak saya diperayakan oleh Tuhan untuk melayani jemaat Tuhan
sebagai gembala atau pendamping gembala, saya akan berusaha menerapkan
liturgi yang Alkitabiah di dalam gereja tempat saya melayani dan
sebisa mungkin mengembalikan liturgi-liturgi yang sudah hilang karena
perkembangan gereja masa kini yang cenderung menyukai moderenisasi
dibandingkan hal-hal yang bersifat klasik. Selain itu saya juga akan
berusaha untuk membuat jemaat memahami bahwa liturgi gereja memiliki
makna yang dalam sehinggah jemaat Tuhan lebih menghargai dan
menghayati ketika menjalankan peribadatan di gereja maupun merayakan
ketika hari-hari raya besar Kristiani seperti Paskah dan hari
Pentakosta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seseorang di segani dan di hormati bukan karena apa yang di perolehnya, Melainkan apa yang telah di berikannya. Tak berhasil bukan karena gagal tapi hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan hanya orang gagal yang merasa dirinya selalu berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan

BERITA TERKINI

« »
« »
« »
Get this widget

My Blog List

Komentar